BERBEDA
Beda ruang beda biaya. Ini saya alami sendiri. Keluarga saya berada di ruang biasa sebuah rumah sakit.
Satu kamar berisi 3 pasien. Ruangan jadi kian sempit kala banyak keluarga pasien yang datang maupun menunggui.
Fasilitas tentu terbatas. WC satu buah. Ada kipas angin. Kalau mau tidur harus berbagi tempat. Bisa mengatur ruang.
Konsentrasi pasien dalam menjalani perawatan jadi terganggu. Kala keluarga pasien tak kebagian tempat tidur di dalam. Terpaksa out berada dipelataran rumah sakit. Resikonya rela digigit nyamuk dan kedinginan. Tentu hal ini tak mereka inginkan.
Beda dengan ruangan VIP. Pelayanan cukup bagus. Sebanding dengan biaya yang mahal permalamnya. Diruangan ada televisi, lemari, WC, kulkas, dsb. Mirip ruangan hotel. Didalamnya terang terus. Karena hanya ada satu pasien dan beberapa anggota keluarga yang menunggui.
Tapi apapun juga rumah sakit tetap rumah sakit. Senyaman-nyamannya di rumah sakit tetap tidak senikmat di rumah sendiri juga. Beban mental harus dijalani.
Kandangan, 2011
KAPAN SELESAI ?
Sudah beberapa hari ini setiap sore saya pergi ke sawah yang ada di Putat. Jaraknya sekitar 300 meter dari rumah saya. Saya menyelesaikan tugas menanam padi sekitar 10 borongan dengan orangtua.
Keluarga saya tidak mampu mengupah orang lain. Jadi dikerjakan sendiri. Tapi ada baiknya juga saya jadi ada kerjaan tiap hari. Daripada ungkang-ungkang kaki tidak karuan.
Seperti biasa pulang kerja di sekolah, saya shalat, nonton teve, dan makan siang. Setelah itu melepas pakaian. Ganti tilasan ke sawah. Ambil topi dan tutujah. Saya berangkat jalan kaki menelusuri jalan berliku.
Jalan yang dilewati aneka keadaan. Ada semak belukar, lumpur, lalu ke Tembok Rel.
Tiba di sawah langsung beraksi. Karena padi sudah siap yang dicabut orangtua saya tadi pagi. Satu rumpun padi dibagi 5 batang kecil lalu ditanam. Dengan cara tanah ditumbuk dengan tutujah. Menanamnya kita harus berada di depan dengan 3 batang dalam barisan. Sambil mundur ke belakang. Biasanya agar rata harus memakai tali.
Bila kondisi cuaca para mentari saya berhenti. Lalu mencari tempat yang teduh untuk beristirahat.
Pekerjaan ini memang sangat melelahkan. Saya berharap segera selesai agar pikiran tenang. Dapat mengerjakan tugas yang lain. Semoga !***
Kandangan, 22-01-2012
MALAM
Lelah sore tadi terbawa akibatnya pagi ini pinggang sakit. Malas bapuat. Malam kian larut. Semakin dingin. Aku sendiri disini. Bau tak sedap menyulut di sekitar saya. Suara binatang makin menghembus. Meratapin nasib diri. Pasrah berbalut nisbi.
Kenapa aku bisa begini ? Kada sing duitan. Senang menyendiri. Senang melamun. Meretas nasib dan asa.
Kalau ingin tidur, tidurlah. Bukan kesenangan yang saya butuhkan sekarang. Tapi makan, lapar. Ngantuk sih.
Sekarang sapaannya pura-pura. Terpaksa berat hati melakukannya. Dalam ungutan saya malam ini : saya ingin maungut seungutnya. Biarkan malam terus larut. Saya ingin pergi saja.
Saya perlu ketenangan. Bukan tempat ribut seperti ini. Muyak mendengarnya. Mengganggu tidur orang lain.
Seekor lalat malam ini mengerumuni telingaku. Ada yang dia cari. Saya kedinginan.***
Kandangan, 14-01-2012
HENDRAJAT SETIAWAN
Kelas VII sudah banyak melakukan pelanggaran tata tertib sekolah. Naik kelas VIII ini tingkahnya kian meresahkan.
Diduga, menurut penuturan teman-temannya, ia suka mengkonsumsi narkoba. Suka merokok dan miras.
Problem keluarga merupakan faktor penyebabnya. Di rumah ia tinggal dengan ayah dan neneknya. Ibunya sudah lama berpisah. Yang ada ibu tiri. Tapi tinggal berpisah dengan ayahnya.
Jadi mungkin kurang diperhatikan. Menyebabkan ia berani dengan guru. Melawan bila ditegur. Kelakuan nakal sudah ada sejak ia duduk di bangku SD.
Mudah-mudahan ada perubahan. Di bidang olahraga HS jago main bola. Sering mewakili sekolah pada pertandingan tingkat Kab. HSS.
Suka mengganggu teman. Ingin cari perhatian. Terakhir ia menghisap kaleng cat supaya mabuk. Semoga datang taufik dan hidayah-Nya. Berupa jalan kebenaran.***
Kandangan, 2012
PERHATIAN
Saya mengharapkan ada perhatian dari Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan terhadap kami, para penulis. Kami minta dihargai. Karya kami dibeli. Dibantu dalam menerbitkan karya.Saya pun terus bermimpi. Suatu saat penulis HSS cukup dikenal masyarakatnya. Semua pihak memberikan perhatian. Tidak kalah dengan para pejabat. Kemana-mana selalu dikawal. Karya-karya kami dipampang di jalan-jalan protokol. Kami cukup memberi andil dalam kehidupan masyarakat HSS.
Kandangan, 2012
BERUSAHA APA ?
Apa usaha yang bisa saya lakukan untuk menghasilkan duit tiap hari ? Bila seperti ini, saya hidup dalam kemiskinan terus.Malas kerja. Tapi mau ada terus duit. Susah. Pinginnya beternak ayam kampung. Tapi dananya tidak ada.
Tapi memulainya sulit. Tapi saya tidak ingin menyerah dulu. Mencoba saja belum.***
MAULIDIRRASUL
Peringatan Maulidirrasul di tempat saya identik dengan pesta makan. Pelaksanaannya super mewah bila digelar se kampungan. Undangan bakal membludak mendatangi rumah pengundang. Jauh-jauh hari tuan rumah maulid mengundang keluarga, sanak famili, rekan kerja, dsb.
Pada hari H pelaksanaan tamu lebih dulu datang ke rumah pengundang untuk mengikuti maulid. Ada barjanzi dan habsyi. Setelah selesai di rumah dilanjutkan ke tempat ibadah baik langgar atau masjid sebagai tempat penyelenggara utama.
Setelah shalat Dzuhur acara baru selesai. Tamu kembali ke rumah pengundang untuk santap siang.
Peringatan maulid benar-benar menguras perekonomian bagi yang menggelarnya. Minimal Rp 2 juta dikeluarkan dana setiap menggelar even ini. Sementara bagi yang diundang (kaum wanita) biasa membawa gula dan teh untuk pengundang.
Tuan rumah penggelar maulid beberapa kali menyuguhi aneka masakan kepada undangan yang hadir.
Pertama saat masuk ke dalam rumah biasanya disuguhkan kue tradisional. Selesai pembacaan habsyi / barjanzi disuguhi dengan nasi kuning.
Setelah pulang dari langgar / masjid disuguhi nasi dan lauk serta nasi sop. Kesan saya terhadap kegiatan maulid di tempat yang pernah saya datangi identik dengan makan-makan. Dan cenderung mengarah kepada mubazir. Tuan rumah yang menggelar pasti orang yang berduit. Kalau tidak PNS atau pedagang. Yang punya uang berlebihan.
Keluarga saya selama ini hanya menjadi undangan maulid saja. Datang dan makan. Hanya seputar itu saja.***
Kandangan, 2012
MANDALA DAN AMBUTUN
Duh indahnya melihat pemandangan kawasan Mandala dan Ambutun, Kecamatan Telaga Langsat. Suasana yang asri. Terlihat deretan pohon karet usia muda.
Bagus digunakan sebagai lokasi syuting film atau sinetron. Tenang dan damai terasa.
Pagi ini saya melintas disana sendirian. Tempat ini punya kenangan tersendiri yang tak bisa dilupakan. Tempat saya belajar naik motor. Saya diajari teman. Karena lokasinya sunyi. Jadi saya tidak malu. Tua-tua belum bisa basapida mutur.
Juga setiap ada waktu dan kesempatan saya kerap kesana. Sunyi dan damai adalah pilihan saya. Wadah yang bagus untuk menenangkan pikiran.***
Kandangan, Januari 2012
MENYELAMI KEHIDUPAN MASYARAKAT BANJAR
Masyarakat Banjar dikategorikan dalam dua kelompok besar yakni Banjar Kuala dan Banjar Hulu. Wilayah tradisional masyarakat Banjar Kuala adalah Kabupaten Banjar dan Tanah Laut serta kota Banjarmasin sekarang ini, sementara masyarakat Banjar Hulu menghuni kabupaten yang ada di Banua Enam. Sekarang ini kedua kelompok tersebut sudah bercampur baur dalam lokasi tempat tinggal, dan perbedaan antara keduanya hanyalah dalam aksen berbahasa saja.
Masyarakat Banjar Kuala pada umumnya dan sejumlah komunitas yang menghuni daerah aliran sungai Nagara amat akrab dengan sungai dan danau. Perahu baik yang masih tradisional (jukung) maupun yang bermesin (klotok), adalah alat transportasi yang dominan untuk berbagai komunikasi ekonomi dan sosial. Pasar terapung di Banjarmasin salah satu perwujudan fungsi sosial ekonomi perahu tersebut.
Masyarakat Banjar Hulu pada umumnya amat akrab dengan daratan dan dataran yang kering. Sampai dengan awal Perang Dunia II, pedati yang ditarik sapi (garubak sapi) serta sepeda amat dominan dalam peri kehidupan masyarakat Banjar Hulu terutama sebagai alat angkut barang-barang komoditas seperti karet dan angkutan orang. Pada masa jayanya konvoi garubak sapi mencapai ibukota kabupaten dan provinsi sekarang ini untuk membawa hasil-hasil pertanian dari pedesaan. Garubak sapi ini baru menjadi alat angkutan yang langka ketika truk-truk prahoto dan mobil angkutan perdesaan mengambil alih fungsinya.
Pada zamannya sepeda bukan hanya sebagai atribut status sosial masyarakat Banjar Hulu, tetapi juga sebagai alat angkutan keluarga dan barang dagangan. Ketika sepeda motor ikut serta meramaikan jalan-jalan pedesaan di Kalimantan Selatan, sepeda motor segera mengambil alih fungsi sepeda dan sekaligus menjadi alat angkutan umum dan barang dagangan. Melalui proses adaptasi dan akulturasi yang lama masyarakat Banjar Hulu terangkat kedudukannya dari masyarakat peramu dan peladang berpindah yang egalitarian. Sisa-sisa paham tersebut terlihat di dalam perilaku penghormatan yang tinggi terhadap martabat manusia. Yang tua dan yang muda selalu merunduk dan mengulurkan tangan kanan dihadapan kelompok orang lain bila yang bersangkutan akan melewatinya.
Di dalam budaya agraris yang lebih kompleks itulah mereka mengembangkan berbagai aktivitas ekonomi, sistem sosial dan bahkan sistem nilai serta sistem teknologi tradisional yang serasi agar tantangan alam yang sering tidak bersahabat dapat dijawab dengan berhasil. Di kawasan pasang surut dan bertanah gambut masyarakat Banjar Hulu yang pada umumnya petani itu, mengembangkan teknologi drainase yang disebut handil dan tatah. Di atas galur dan galangan itu mereka menanam berbagai tanaman komoditas seperti jeruk, rambutan, nenas, kelapa, semangka, labu, dan palawija lainnya. Sampai dengan pertengahan tahun 70-an semangka dan labu Nagara pada musim tertentu masih membanjiri Banjarmasin dan ibukota kabupaten lainnya di Kalsel.
Di kawasan yang berawa-rawa sepanjang tahun, khususnya di daerah Alabio, masyarakat Banjar mengembangkan keahlian khusus beternak itik. Ternak tersebut hidup bebas di rawa-rawa sepanjang hari dan kembali sendiri masuk kandang menjelang sore. Itik-itik itu tampaknya amat akrab dan terbiasa dengan tuannya sehingga bila si pemelihara berganti ternak tersebut akan melancarkan protes dengan tidak bertelur pada esok harinya.***
MENYUSURI SUNGAI
MENDAKI BUKIT
Upaya memahami perilaku budaya masyarakat Banjar yang kini menghuni kawasan berawa pasang surut dan dataran aluvial, tidaklah lengkap bila belum ditelusuri sungai-sungai dan didaki bukit-bukitnya. Secara geografis, di kawasan yang bergunung dan berbukit-bukit itulah – dengan jumlah lebih kurang 1% dari seluruh penduduk Kalsel – ditemukan komunitas yang masih bersahaja kehidupannya, terpencil dan belum tersentuh peradaban modern. Komunitas itu disebut orang Bukit. Karena banyak unsur yang sama dalam struktur bahasa dan kosakata dengan urang Banjar Hulu, begitu pula dengan legenda tentang asal-usul, mantera, tarian sakral (tandik) dan sejumlah peralatan upacara yang simbolik sifatnya, maka dapat disimpulkan bahwa mereka itu dapat disebut orang Banjar Arkais yang berasal dari kawasan pesisir Kalsel ini.Setelah menelusuri jalan setapak dan terkadang memunggal gunung, menyisir tebing, meniti jembatan bambu atau menapak arus kali, barulah kita tiba di rumah panjang ini. Seluruh warga bubuhan berdiam di ruang-ruang sendiri yang disebut bilik, dirumah panjang ini, rumah yang amat sederhana bahan bangunannya tetapi kelihatan unik dan eksotik. Di bilik masing-masing dibalai itulah sekitar 20 atau 30 keluarga batih tinggal selama bulan-bulan upacara keagamaan, adat dan kemasyarakatan. Semua warga menghuni balai selama musim diam. Saat istirahat panjang ini berlangsung lebih kurang tiga bulan yakni antara Agustus hingga Oktober. Selama musim kerja huma umumnya keluarga-keluarga tersebut diam di pondok-pondok di ladang. Musim kerja berlangsung antara Desember hingga Agustus.
Di kawasan hutan tropis di pegunungan Meratus itulah masyarakat Bukit mengembangkan kebudayaan huma. Di dalam kebudayaan huma ini berkembang dengan mantap religi huma. Selama aktivitas huma berlangsung keyakinan keagamaan mereka nyatakan dalam bentuk aneka upacara, termasuk sembilan upacara keagamaan. Tiga diantaranya dianggap paling penting yakni : bamula, basambu umang dan bawanang. Bamula adalah upacara menanam padi. Dalam upacara ini semua warga balai berpakaian bagus berwarna-warni. Pada beberapa tempat digelar tarian atau tandik kurung-kurung. Basumbu umang adalah upacara memelihara, melindungi dan menyembuhkan rumpun-rumpun padi dari segala gangguan hama dan penyakit. Bawanang atau sering pula disebut aruh ganal adalah upacara menyucikan kembali padi, alam sekitar dan manusia sehingga hubungan harmonis antara manusia dan alam sekitar, Tuhan dan sesama tercipta kembali. Bawanang terdiri dari serangkaian upacara menghadirkan roh nenek moyang, roh alam dan Tuhan. Ini dilakukan dalam sebuah kenduri akbar yang juga menerima sesajen dan disamping memberkati kehidupan komunitas balai untuk saat ini dan dimasa depan. Sejumlah tarian (tandik) sakral digelar pada kesempatan tersebut. Upacara keagamaan bawanang ini biasanya berlangsung dalam bulan-bulan September dan Oktober.
Selama musim diam, ketika sekalian orang tinggal di balai, pembagian tugas warga ditetapkan bersama dan dipimpin oleh kepala balai. Waktu yang digunakan pula oleh kaum laki-laki untuk merenovasi balai dan membuat alat dan perlengkapan upacara. Menyediakan beras dan wadah-wadah teranyam dari rotan atau bambu serta sesajen menjelang tibanya upacara, dilaksanakan oleh para isteri dan anak gadis. Semua pekerjaan dilakukan secara bergotong-royong tanpa pamrih. Balai biasanya terbagi atas dua bagian yakni bagian induk dan beranda yang disebut juga palataran manyangga.***
BARITO PUTERA
Untuk pertama kali saya menyaksikan pertandingan Divisi Utama Liga Indonesia antara Barito Putera vs PSMP di Mojokerto. Yang disiarkan secara langsung oleh ANTV.Dalam pertandingan ini Barito sebagai tim tamu menang 3-2. Saya bangga melihat hal ini. Ada secercah harapan kebangkitan sepakbola di Kalimantan Selatan. Menang dikandang lawan adalah sebuah hal yang membanggakan. Poin 3 pun diraih.
Suatu saat nanti saya berharap Barito naik kasta sepakbola nasional seperti era tahun 90-an dulu.
Barito saat bertanding melawan PSMP mengenakan jersey warna kuning dipadu warna lain. Dibagian muka ada logo Barito dan PT Hasnur. Di bagian belakang ada tulisan nama pemain dan logo Media Kalimantan. Pemain yang memperkuat Barito : Sartibi Darwis, Mediansyah, dsb.***
Kandangan, Januari 2012
PUKAT
Untuk kedua kali saya pinjam buku Pukat karya Tere Liye di Kantor Perpustakaan Dokumentasi dan Arsip Daerah (KPDAD) HSS, Senin (19/03/2012).Bukunya setebal 348 halaman. Diterbitkan oleh Republika. Cetakan 1/Maret 2010.
Pada sinetron Anak Kaki Gunung di SCTV dengan tokoh bocah adalah Burhan. Sementara di novel Pukat ada Burlian. Pada cover terdapat ilustrasi kambing, seorang anak, dan kereta api.
Buku ini berukuran 20,5 x 13,5 cm. Editor Riski Amelia. Desain cover : Maro Wolvie. Tata Letak : Nn Alfian. Percetakan : Tama Printer Indonesia. Pada halaman iii tertulis “ Lagi-lagi untuk Mamak-ku wanita nomer 1 dalam hidupku....”
Terdapat 24 judul bab. Buku ini buku ke 3. Serial Anak-Anak Mamak. Misteri Terowongan Kereta, Kau Anak yang Pintar, Pelangi Hatiku, Bertepuk Sebelah Tangan, Pertengkaran 1, Pertengkaran 2, Kambing dan Ayam, Perpisahan, Kaleng Kejujuran 1 , Kalelng Kejujuran 2, Kaleng Kejujuran 3, Kaleng Kejujuran 4, Teka-Teki Wak Yati, Seberapa Besar Cinta Mamak 3, Seberapa Besar Cinta Mamak 4, Renovasi Masjid, Harta Karun Kampung, Untung Rugi, Pipa Pembuangan Terkotor 1, Pipa Pembuangan Terkotor 2, Petani Adalah Kehidupan 1, Petani Adalah Kehidupan 2, Petani Adalah Kehidupan 3, Wak Yati Pergi, Amsterdam – Jakarta 14 Tahun Kemudian.
Pada Misteri Terowongan Kereta halaman 1 tertulis “ Kalian tahu kenapa binatang ini disebut kereta api ?” Bapak bertanya sambil takjim menatap langit-langit gerbong ke sebuah kipas angin karatan yang tidak berfungsi lagi.
Dalam cerita ini ada tokoh Pukat berusia 9 tahun. Burhan 7 tahun. Sipahutan teman Pak Syahdan.
“ Jangan pernah membenci Mamak kau, jangan sekali-kali. Karena jika kau tahu sedikit saja apa yang telah ia lakukan demi kau, Amelia, Burhan dan Ayuk Eli, maka yang kau tahu itu sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa sayangnya kepada kalian....”
Meski dibesarkan dalam kesederhanaan, keterbatasan, berbaur dengan kepolosan dan kenakalan, Mamak selalu menanamkan arti kerja keras, kejujuran, harga diri serta perangai tidak tercela. Dan disini, kasih sayang keluarga adalah segalanya. Selamat datang di dunia anak-anak yang tidak pernah kalian bayangkan.
Kembali Tere Liye meluncurkan buku yang menggetarkan. Dalam bahasa yang enak dan mengalir indah, Pukat mengajak kita untuk memahami nilai kejujuran, persahabatan, dan kreativitas, yang dikemas dalam sebuah kecerdasan spiritual yang jernih. (Kak Seto, Ketua Komnas Anak)
Mimpi Pukat merupakan mimpi sebagian besar anak Indonesia. Harta karun terbesar bangsa ini adalah anak-anak yang pantang menyerah dalam mewujudkan mimpinya. (Niam Masykuri, Editor in Chief Majalah Parent Guide dan Hippo)
Sebuah kisah yang mengharukan sekaligus penuh bersitan hikmah. Layak dikoleksi sebagai bacaan keluarga. (Ahmadun Yosi Herfanda, Ketua Komunitas Sastra Indonesia)
Memangnya om Tere bikin buku ya ? Yang Talha tahu Oom Tere suka jahilin Talha nggak nulis buku. (Talha, 5,5 Tahun, pemeran Delisa dalam film “Hafalan Shalat Delisa”)
Pagi ini aku dan Burlian menemani Mamak ke pasar Kalangan. Pasar ini istimewa, hanya dibuka selama empat jam, sejak pukul enam pagi dan itupun hanya seminggu sekali, setiap hari Kamis, di kota kecamatan. Jangan bayangkan ada bangunan bertingkat, lantas lapak-lapak permanen seperti pasar di kota besar ; pasar Kalangan hanya lapangan luas, lantas pedagang membawa tikar, terpal atau alas lainnya, sembarang menghamparkan jualan. (hal.231)
Langit mulai gelap, hujan sepertinya akan turun. Aku tidak lagi terlalu mendengarkan ujung kalimat Bapak. Kepalaku sekarang dipenuhi dengan ratusan bantahan. Lamat-lamat menatap kanopi hutan. Suara elang melenguh dikejauhan. Rombongan sapi melintas di depan rumah. Tetapi tidak ada perdamaian diantara kami. (hal.99)
Akan ada empat novel Serial Anak-Anak Mamak tahap pertama. Burlian (Nov’ 2009), Pukat (Feb’ 2010), Eliana (Okt’ 2010), dan Amelia (Feb’ 2011). Novel-novel ini hanya berkutat tentang dunia mereka. Dunia anak-anak. Besar sekali keinginan saya memberikan pilihan bacaan yang memiliki standar moralitas, kebaikan, kasih sayang keluarga, kesederhanaan yang tetap dibungkus dengan kepolosan, kenakalan dan keterbatasan anak-anak.
Buku-buku ini tentang anak-anak Mamak yang tinggal di kampung pedalaman. Tidak akan ada cerita masa remaja atau dewasa mereka. Karena terus terang saja, bagi saya itu sudah tidak menarik lagi. Bantu saya untuk menyebarkan betapa mas anak-anak adalah kesempatan emas untuk menumbuhkan kejujuran, harga diri, etos kerja serta perangai yang baik. Kita bisa merubah carut-marut banyak hal dengan mendidik generasi pengganti yang lebih baik.
Saya bisa dihubungi lewat e-mail:darwisdarwis@yahoo.com, kalian juga bisa menghubungi profile Darwis Tere Liye di situs facebook, goodreads, dsb. Jika kalian kesulitan mendapatkan 11 buku-buku Tere Liye, silakan kunjungi http://tbodelisa.blogspot.com
Salam hangat dari keluarga kami. Anggrek Garuda, 18 Januari 2010.***
Kandangan, 19 Maret 2012
SINGGASANA DAN KUTU BUSUK
Buku ini saya kembalikan 26 Maret 2012. Tebal buku ini 385 halaman. Terbit tahun 2004. Diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama. Memuat 67 judul esai. Pengantar Wisdom dan Keutamaan Budi.
Zaman Sontoloyo, Lelakon, Kang Saridin, Anjing, Manusia Merdeka, Bayi, Otoriterianisme, Populis, Keadilan dan Gizi Peradaban, Eyang, Gamelan Surgawi, Para Wali Politisi dan Mesin Cuci, Bocah, Istighosah dan Isti-Isti Lain, Jiwa, Baru dan Bau, Fatal Attraction, Manusia dan Anjing, Tukang Parkir Beo dan Politisi, Kerinduan, Raja Senyum dan Raja Humor, Keris dan si Cakil, Tombo Ati, Lawan, Mimipi, Ting, Memuja dan Menista, Sang Maha Yogi, Tobat, Surban Kaum Rohaniwan, Tuna Susila, Wong Pintar Wong Nista Wong Bijak, Agama Ageming Aji, Bohong, Kitab, Tahun 2004 dan Topeng Kita, Kuburan, Kemenangan, Khotbah, Singgasana dan Kutu Busuk, Slamet, Babad Senayan, Si Miskin, Batu Hitam Jambul Ubanan, Kita Belum Pernah Dewasa, Lansia dan Lupa, Kusir dan Kuda, Panggung Pocong dan Para Penari Tayub yang Mabuk, Jiwa Agung Rusia, Islam Jembatan dan Barat, Sastra dan Pembesar Jiwa, Ndoro Bupati, Nyus, Pijat dan Salawat, Para Wali dan Para Politisi, Makan, Orang-Orang Tercinta, Jiwa-Jiwa yang Tak Pernah Merdeka, Kaji dan Kajen, Bebusukan.
Jangan meletakkan uang receh terlalu dekat dengan mata, karena Anda tak akan bisa melihat uang yang besar dibelakangnya. (Mike Markkula) (hal.IX)
Rimbanya perpolitikan kita terus bergolak dan kaum politisi menari-nari seperti orang kesurupan demit, dan disana-sini hasut-menghasut terjadi dan orang saling menghardik atas nama agama, kebenaran, demokrasi, dan Tuhan. (hal.13)
Beliau memiliki seorang nujum yang waskita. Inilah nasihatnya “Baginda jangan hiraukan kutu busuk. Hiraukan para kawula dan negara. Kutu busuk cuma menggigit, tapi tak mematikan. Jangan seekorpun Baginda bunuh. Sebab pembunuhan itu yang mereka cari, agar orang bisa menyebut Baginda pembunuh dan dinobatkan mereka menjadi syuhada atau martir. Waspadalah akan taktik busuk mereka. Jangan bikin anak kucing menjadi seolah harimau sebesar kerbau.”
Bagi Kang Sobary, tiap orang yang duduk diatas singgasana memanggul etika untuk selalu peduli pada para kawula seluruh negara. Ia berkata :
“Betapa besar wibawa orang berpangkat, yang sudi mengunjungi dan bertanya tentang perikehidupan para kawulanya. Kunjungan mereka membuat para kawula merasa, hidup ini masih ada yang memimpin. Dibawah hujan kesulitan sehari-hari setidaknya tetap terasa bagi para kawula bahwa masih ada payung yang melindungi nasib mereka.”
Saya gembira kalau dalam hidup ini kita bisa bersikap apa adanya. Dalam politik tak ada golongan yang merasa paling benar. Kita bebas bermimpi tentang segala yang baik bagi negara dan bangsa. Dan habis bekerja tekun dan jujur untuk mewujudkan mimpi itu.
Keadaan akan makin membaik kalau kita rendah hati, tidak sok ahli, tidak sok kuasa. Mari kita bangun mimpi, tapi jangan mimpi sendiri-sendiri. Kita tak lagi punya mimpi bersama. Apalagi mengenai hal-hal besar bagi negeri kita. (hal.137)
Di NTT orang mengejek diri sendiri. Katanya NTT = Nasib Tak Tentu, dan jalan keluarnya cuma harapan. Maka NTT pun beralih arti Nanti Tuhan Tolong.
Apa kata orang Jakarta di gedung DPR / MPR ? Maka bicara kekuasaan dana kekuasaan, tetap mereka lupa memberi jiwa yang adil, yang manusiawi dan damai pada kekuasaan tadi. (hal.79)
Kuburan – tanah - sering menghardik kita, agar kita tak mengkhianati hidup, dan jabatan, dan tak kelewat pecicilan dimuka bumi, sebab sehebat apapun kita, suatu saat akan menyatu kembali dengan tanah. Dari tanah, kita kembali ke tanah. Maka, hidup harus dibuat lebih bermakna dan tulus agar dalam kubur kita tak menjadi forgettenally, sendiri, sumpek, dan sunyi.
Kuburan itu penting. Tapi orientasi jangan terlalu berat ke sana. Maka mari kita bacakan kitab suci bagi yang hidup-dan bukan dikuburan- agar hidup terasa lebih baik. Dan mati lebih berseni. (hal.244)
Mohammad Sobary lahir di Bantul, Jogjakarta, 7 Agustus 1952. Mimpinya dulu adalah menjadi ahli agama ; untuk itu ia ingin sekolah di PGA dan IAIN. Tapi nasib melemparkannya ke Sekolah Pekerjaan Sosial Atas, kemudian ke UI di Depertemen Sosiologi. Sekarang ingin sekali masuk dunia pesantren.
Intelektual muda keluaran Monash, Australia ini amat tertarik pada kehidupan orang kecil. Itulah yang membuat dia pernah bekerja di Christian Childrens Fund tahun 1978-1979 ; dan sampai tahun 1983 bekerja pada Divisi Komunikasi Yayasan Indonesia Sejahtera, sebuah LSM di Jakarta. Sebagai kolomnis tulisannya menyebar melalui berbagai media, baik harian maupun majalah. Novel anak pernah juga digelutinya. Karyanya dibidang ini misalnya Dalam Pengejaran di BPK Gunung Mulia, tahun 1974. Disamping tugas utamanya sebagai peneliti masalah-masalah sosial di LIPI sejak tahun 1984 sampai sekarang, Sobary juga mengasuh rubrik Asal Usul di Kompas bersama Mahbub Djunaidi. Hasil penelitian lapangan tentang kehidupan ekonomi dan budaya tukang ojek di Tanjung Pinang, “Between Ngoyo and Nrimo : Cultural Values and Economic Behavior Among Javanese Migrants in Tanjung Pinang” diterbitkan oleh Centre of South East Asian Studies, Monash University, Australia, 1986.***
Kandangan, 20-03-2012
MUSHALA MTsN ANGKINANG
TERANCAM AMBROL
Karena proses alam tanah kian hari terkikis berakibat bangunan mushala MTsN Angkinang yang berada beberapa meter dari tepi sungai Angkinang terancam ambrol akibat tanah yang rumbih.
Apalagi musim hujan yang berdampak banjir tentu kian terkikis. Warga sekitar berharap ada upaya pihak sekolah untuk mengatasi hal ini. “Misalnya diberi siring dengan kayu galam,” ujar Kusasi, warga setempat.
Selain itu pihak Pemkab HSS perlu turun tangan. Karena ini berada di kewengangan mereka. Misalnya upaya agar tanah area sungai tidak semakin meluas rumbihnya.
Padahal puluhan tahun silam diatas tanah yang terkikis pernah berdiri warung sekolah. Kini proses alam itu kian memprihatinkan. Tiap beberapa meter tanah menghilang. Dikhawatirkan menimbulkan musibah bagi warga setempat maupun lingkungan sekolah.
Semua pihak bisa turun tangan. Bahu-membahu menuntaskan masalah yang satu ini.
Abdurrahman, selaku Pgs. Kepala MTsN Angkinang ketika dihubungi memeberikan komentar. “ Dana kami terbatas. Mengadakan rapat komite sekolah untuk mengatasi masalah ini akan kami lakukan dalam waktu dekat,” ujarnya.
Pihak Dinas PU HSS dikonfirmasi hal ini mereka beralasan bisa saja pihak sekolah membuat proposal laporan kepada mereka. “ Jadi kami bisa menagatasi apa saja yang bisa dibantu,” kata staf Dinas PU HSS.
Anggota DPRD HSS, H Akhmad Fahmi berharap hal ini secepat mungkin diatasi. “Jangan sampai muncul korban baru bereaksi,” ujar Fahmi yang juga alumni MTsN Angkinang.***
MENGHINDARI LUBANG
UFIK TERJATUH DI JALAN
Korbannya diketahui bernama Ufik warga Desa Kayu Abang, Kecamatan Angkinang. Korban datang dari arah Kandangan mau pulang ke rumah. Ia memakai sepeda motor Vixion pinjaman dari temannya. Papah. Terjadi di tikungan tajam. Diduga mau menghindari lubang menganga di tengah jalan. Juga diduga kondisi korban dipengaruhi narkoba. Dengan kecepatan cukup tinggi. Mungkin karena ia terjatuh ke aspal.
Ufik tak sadarkan diri. Kepalanya mengeluarkan darah cukup banyak. Terbentur ke aspal. Oleh warga dibawa ke teras eks Kantor Kepala Desa Angkinang Selatan, beberapa meter dari TKP.
Tak lama kemudian aparat Polsek Angkinang datang. Untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut Ufik dibawa ke rumah sakit menggunakan mobil patroli Polsek Angkinang.
Menurut saksi mata, sebelum Ufik datang dengan menggas motornya cukup tinggi. Tak berapa lama terdengar suara orang jatuh ke aspal. Ternyata Ufik.
Pihak kepolisian sempat kesulitan menghubungi pihak keluarga Ufik. Beberapa kali kali nomor telepon seluler dihubungi tak juga mengangkat.
Sementara di dompet Ufik terdapat beberapa buah tanda pengenal. Banyak nama. Hingga membingungkan polisi dan warga yang ingin menolongnya.
Sekitar setengah jam baru pihak keluarga datang. Langsung disuruh ke rumah sakit di Kandangan. Sementara motor Vixion diamankan ke Mapolsek Angkinang, yang berjarak sekitar 100 meter dari TKP.
Berangkat dari kejadian ini ada masalah yang cukup mengganjal. Yakni keberadaan lubang yang menganga di tengah jalan.
Pihak berwenang agar mengatasi hal ini. “ Jangan sampai korban berjatuhan. Apalagi ini jalan trans Kalimantan. Cukup vital. Malu dong daerah kita punya jalan jelek,” tutur Iban, warga Angkinang.
Pihak berkompeten baik di Kabupaten Hulu Sungai Selatan maupun di Provinsi Kalimantan Selatan agar memperhatikan hal ini. “ Jangan rahat lalu, tapi kada maitihi kaya apa jalannya. Kada tahu lubangnya ganal banar,” ujar warga lainnya.***
PANAR DAN NGANU
Saya tidak tahu arti sebenarnya dua kosakata tersebut. Namun sering saya dengar saat komunikasi warga. Kata panar saya temui berdasar tuturan anak murid saya di MTsN Angkinang. Yang sebagian besar dituturkan orang yang berasal dari Desa Tawia, Kecamatan Angkinang. Padanan kata bahasa Banjar dari kata panar adalah banar. Sehingga agak lucu didengar saat diucapkan. Contohnya : Baik panar (baik sekali). Talalu panar (terlalu sekali) , dsb.
Sementara untuk kata nganu saya dapatkan dari penuturan orang Bamban, Kecamatan Angkinang dan Longawang, Kecamatan Telaga Langsat. Seperti halnya kata panar, kata ini juga sulit untuk diartikan. Apalagi aksennya cukup berirama saat diucapkan.
Saya ingin terus meneliti arti kata-kata tersebut. Ingin tahu kebenaran berbahasa di masyarakat Banjar.***
Kandangan, 2011
PASAR BUAH
Buka siang malam. Ada beragam jenis buah yang dijual. Ada rambutan, durian, kapul, manggis, dsb. Terdapat beberapa petak tempat berjualan. Buah itu kemungkinan bukan asli dari Bakarung. Tapi ada yang mengirim dari daerah lain. Tapi hanya sebagai tempat penjualan saja.
Tapi Bakarung sudah kadong identik dengan pusat penjualan buah. Supaya buah itu tetap berproduksi. Pasaar buah itu tetap menggeliat setiap hari.
Yang selama ini saya ketahui pembeli buah-buah tersebut bukan warga sekitar namun pengguna jalan yang bepergian jauh. Orang-orang berduit, kantong tebal, naik mobil mewah. Kebetulan mereka lewat Bakarung.***
Kandangan, 2011
UNIKNYA MAWARUNG
DI PAHULUAN
Dua bangku panjang yang disusun mengitari bagian depan dan samping meja warung hampir tanpa celah karena dipadati tidak kurang 10 pengunjung. Saat Acil Anah sibuk melayani pembeli, sang suami menyeduh teh panas dan kopi pesanan lainnya. Mawarung, begitu orang Banjar menyebutnya, merupakan kebiasaan atau tradisi turun-temurun sarapan pagi sembari nongkrong di warung.
Interaksi sosial terjadi di ruang ini. Para pengunjung, terutama pengunjung tetap, menjadikan warung sebagai tempat bertukar informasi dan gosip. Mulai kisah kehidupan, lelucon, gosip, dsb.
Di Banjarmasin, ibukota Kalimantan Selatan, tradisi mawarung kini semakin terkikis oleh zaman. Namun di kabupatennya, seperti di Banua Enam atau Pahuluan mawarung tetap lestari.
Di wilayah ini, sebagian datang ke warung hanya mengenakan kain sarung membalut tubuhnya. Kebiasaan lainnya adalah jongkok di atas bangku sambil makan dan merokok. Di warung memang tak melulu harus makan, bila saja hanya memesan secangkir kopi atau segelas teh dingin (sebutan untuk teh hangat). Ada juga teh lapas alias teh tanpa gula. Warung-warung tradisional itu biasanya menyajikan aneka kue khas Banjar seperti pais, apam, kalalapun, babungku, wajik, gagatas, bingka, dsb.
Warung itu sudah penuh dengan pengunjung. Matahari belum muncul. Beberapa buah bangku panjang yang terbuat dari kayu ada dikiri-kanan warung itu sudah tak tersisa lagi. Senda gurau kerapkali meningkahi aktivias di warung. Tak ada gundah gulana. Itulah keseharian yang dapat kita lihat di pedesaan Pahuluan atau Banua Enam, Kalimantan Selatan.
Di warung bukan saja disajikan makan tapi bisa juga secangkir kopi atau secangkir teh hangat. Ada juga teh lapas untuk menyebut teh tanpa gula. Merekalah yang merangkai gambar kehidupan sehari-hari di pedesaan Pahuluan. Sesekali kita akan menemukan pengunjung yang masih membelit tubuhnya dengan tapih.
Udara pagi cukup dingin. Shalat Subuh baru saja selesai dikerjakan. Syamsinah (68) sudah beranjak dari kediamannya. Ia melangkahkan kaki menuju sebuah warung yang berada di tepi jalan. Dari rumahnya berjarak sekitar 5 meter. Di pagi buta itu Nenek Inah –begitu ia biasa disapa- warga Lokpaikat, Kabupaten Tapin seperti biasa akan melakoni kebiasaan yang telah lama ia lakukan. Yakni mawarung. Warung yang didatangi nenek 4 anak 6 cucu ini terbuat dari kayu. Bangunannya sederhana sekali. Atapnya terbuat dari daun rumbia. Kental nuansa pedesaan di pahuluan. Sementara pengunjung lain mulai berdatangan. Kebanyakan yang datang orang dewasa dan tua.
Di warung mereka ngobrol ngalur-ngidul soal kehidupan. Juga sebagai ajang silaturrahmi. Keunikan lokal ini mungkin tak akan ditemukan di daerah perkotaan.
Tradisi ini semacam kewajiban yang tak terhentikan setiap hari. Betapa akrabnya hidup mereka. Sebuah interaksi kebersamaan yang akan melahirkan kesatuan. Mereka sangat menikmati sajian yang ada di warung. Menyenaangi yang hangat-hangat. Ada guguduh, pais, cincin, lamang, katupat balamak, dsb.
Mereka tahan berjam-jam berada di warung. Lupa akan pekerjaan. Ritual wajib sebelum pergi ke tempat kerja.
Nenek Sinah mengaku mawarung sudah puluhan tahun. Ia akan merasa kesepian bila sehari tidak mawarung. Dari mawarung Nenek Sinah mengaku mendapat informasi kejadian di kampung dan informasi lainnya yang teraktual saat ini.
Sementara Abdurrahman (70) warga Haruyan, Kabupaten HST punya kebiasaan sebelum pergi ke sawah lebih dulu mawarung. Ia akan mendatangi warung yang berseberangan dengan rumahnya. Ia tahan berjam-jam berada disana. Apa saja yang dibicarakan di warung ? “ Biasanya yang dibicarakan soal yang ada di kampung sampai yang baktual di negara kita,” ujar Abdurrahman.
Arini Nor Oktavia, warga Desa Bakarung, Kecamatan Angkinang, Kabupaten HSS, mengaku jarang pergi ke warung saat pagi hari. Padahal letaknya bersebelahan dengan rumahnya. “Karena di rumah mama sudah menyediakan makanan dan minuman sebelum berangkat ke sekolah,” ujar siswi kelas VIII B MTsN Angkinang ini.
Sejak kapan budaya mawarung ini terjadi di Pahuluan ? “ Waktunya tidak bisa disebutkan. Tapi ada sejak lama, karena merupakan kebiasaan hidup warga yang sudah mentradisi,” ujar Aliman Syahrani, budayawan HSS. Sisi negatif mawarung, menurut penulis novel Palas ini, pekerjaan yang dilakoni bakalan terbengkalai bila si pawarung betah berlama-lama di warung. Sementara sisi positifnya suasana silaturrahmi akan terbangun. “Juga warga akan bertambah wawasan, dari tidak tahu menjadi tahu,” pungkas Aliman.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar