Senin, 25 April 2022
Seorang gadis tengah bersandar pada dinding kasurnya sambil membaca novel terbaru yang dia beli beberapa hari lalu di toko buku.
Jam sudah menunjukkan pukul 22.30 WIB tak membuat ia mengantuk, gadis tersebut tetap kekeuh pada pendiriannya untuk menyelesaikan novel yang beberapa jilid lagi akan mencapai ending.
Gadis tersebut ialah Jessica Veranda Malik Ibrahim, dengan santai ia membaca sampai akhirnya cerita berakhir, kemudian ia menutup bukunya.
"Gue gak terlalu suka sama si tokoh utama! Masa dibully diam aja, harusnya kan ngelawan! Apalagi waktu dia dihina sama keluarganya, bisa-bisanya dia diam aja." Gerutunya kesal pada diri sendiri.
Bagaimana tidak kesal, akhir dari kisah di novel ini menunjukan sad ending. Karena sang tokoh utama Safira yang mengalami depresi dan berakhir bunuh diri.
Itu semua disambut bahagia oleh orang-orang yang membenci Safira apalagi ibu tiri dan kakak tirinya, mereka sangat bahagia karena pewaris tunggal dari keluarga Adithama telah pergi untuk selama-lamanya dan mereka dapat menguasai harta Adithama.
Setelah tuan Leonard Catlon Adithama meninggal dunia setahun sebelum meninggalnya Safira Catlon Adithama.
Dengan tangan meremas kesal sampul buku berwarna abu-abu tersebut, ia mencoba melampiaskan kekesalan.
"Kalau gue ada di posisi Safira, gue akan buat orang yang menghina itu tunduk sama gue! Dan disini kebanyakan temannya berkhianat apalagi si Kania itu yang udah dianggap seseorang paling berharga dihati Safira, malah dengan teganya menusuk dari belakang. Varo sebagai cowok yang disukain Safira, malah dengan kebodohannya malah mau-maunya pacaran sama si gila Kania itu!" Gerutunya lagi.
Ia terus menggerutu, tangannya bahkan sudah menekan-nekan pada sampul buku saking kesalnya.
Apalagi di novel juga diceritakan alasan Safira bunuh diri adalah meninggalnya orang yang ia sayang yaitu bundanya berlanjut pula pada ayahnya.
Pengkhianatan sahabat nya sendiri Kania Alexander, ditinggalkan oleh orang yang ia sukai Alvaro Fairuz, hinaan dari keluarganya dan juga pembullyan.
"Gue gak peduli lagi, bikin kesel aja mending tidur aja udah ngantuk." Ucapnya dengan wajah masam, mood nya tiba-tiba saja menurun drastis.
Setelah itu ia menarik selimut menutup hingga leher jenjangnya, dan akhirnya ia pun tertidur.
Jessica terbangun dari tidurnya, lalu turun dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi untuk bergegas menuju sekolah.
Meski ia terlahir dalam keluarga terpandang, ia tetap disiplin. Apalagi pekerjaan orang tuanya membuat ia harus bisa mandiri ditengah kesiapan nya sebagai anak tunggal.
Kadang ia kecewa kepada kedua orang tuanya, mengapa mereka tidak pernah bisa membagi waktu antara keluarga dan juga pekerjaan.
Itulah penyebab ia menjadi gadis pembangkang dan kasar seperti saat ini, ia hanya ingin kedua orang tuanya memperhatikannya.
8 menit kemudian.
Ia telah siap dengan seragam sekolahnya, baju dikeluarkan, rok di atas lutut dan juga rambut yang di kuncir kuda, semua begitu kontras dengan wajah seksinya.
Keluar kamar dan berjalan menuju meja makan, ia dapat melihat seorang wanita paruh baya sedang mengoleskan selai cokelat pada roti.
"Non ayo makan!" Ajak wanita paruh baya tersebut.
Dengan langkah pelan menuruni tangga ia berjalan mendekat pada wanita yang telah mengurus nya sedari kecil, seorang yang begitu ia sayang melebihi dirinya sendiri.
"Bi udah berapa kali aku bilang, kalau berdua panggil Jessi aja karna bi Ina lebih tua dari Jessi" Ingat Jessica lembut.
Wanita paruh baya tersebut menggelengkan kepalanya pelan, tangan keriputnya mengelus pelan tangan sang anak majikan yang kini telah tumbuh besar.
"Itu nanti namanya gak sopan non, karna non ini majikan saya." Ucap bi Ina sopan takut menyinggung.
"Bi, aku udah anggap bi Ina itu kayak ibu aku sendiri! Aku sayang banget sama bibi dan aku gak mau dibilang gak menghormati orang yang lebih tua." Ucapnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca, ia kembali mengingat bagaimana wanita paruh baya tersebut rela dibentak dan di caci maki oleh ibu kandung nya.
Seorang yang ia anggap akan menjadi sumber dari terlimpahnya kasih sayang yang begitu ia harapan dari usia belia, namun ia malah ditampar oleh kenyataan. Jika sang ibu malah memilih tumpukan dokumen sebagai benda yang begitu disayang melebihi anak kandung nya sendiri.
"Jangan nangis ya non eh maksudnya Jessi! bibi gak suka kalau Jessi sedih, bibi juga sayang sama nak Jessi" Ucap bi Ina sambil menghapus satu tetes air mata Jessica yang meluncur dengan bebasnya.
Sadar akan situasi, ia dengan cepat menghapus kasar air mata dan mengganti dengan senyum andalannya. Senyum manis yang penuh akan duka.
"Makasih ya bi, bibi selalu ada buat aku, jangan pernah ninggalin aku seperti Mama sama Papa ya Bi!" Pintanya dengan sesekali mengusap air mata bi Ina yang juga ikut jatuh tanpa diminta.
"Bibi juga berterimakasih karena nak Jessi udah baik sama bibi, bibi gak akan ninggalin nak Jessi, dengan syarat nak Jessi harus hapus air mata ini." Bi Ina berucap lirih karena tangisnya.
"Iya aku bakal turutin apapun kemauan bibi, boleh peluk gak bi? Aku kangen, bibi ambil cuti nya kelamaan " Pintanya sesekali terkekeh geli.
Bi Ina tersenyum tipis, ia begitu menyayangi anak dari sang majikannya bagai anak nya sendiri, baginya Jessica adalah pengobat dari segala duka akan rasa kehilangan putra nya.
"Boleh kok nak, tapi makan dulu biar bisa kesekolah!" Tegas bi Ina.
"Aye aye kapten!" Seru Jessica memeluk bi Ina dengan mulut penuh roti.
Setelah puas dengan pelukan hangat seseorang yang telah ia anggap ibu sambung, ia mulai melonggarkan pelukannya.
"Udah ya aku sekarang mau berangkat dulu." Ucap Jessica, tangannya meraih punggung tangan kanan wanita paruh baya tersebut dan lalu mengecupnya.
"Iya nak Jessi, hati-hati ya." Titah bi Ina yang langsung di angguki nya ketika sudah berjalan menjauh
"Iya bi, aku pamit dulu ya, Assalamu'alaikum." Ucapnya ketika sudah berada pada depan pintu mobil.
"Waalaikumsalam." Jawab bi Ina dengan anggukkan kepala, pertanda setuju dengan keberangkatan gadis tersebut.
Entah mengapa perasaan Bi Ina terasa gelisah pada Jessica, hatinya begitu gelisah saat mobil Jessica sudah menghilang dari pekarangan rumah.
Sedangkan dilain sisi, setelah Jessica naik kedalam mobil hitam miliknya, ia mulai melajukan mobil tersebut dengan kecepatan sedang. Namun tanpa ia sadari sebuah mobil truck dengan kecepatan tinggi mengarah pada mobil miliknya.
Awalnya ia mengira itu hanya perasaannya saja, tetapi ketika mendengar suara klakson dari mobil truck yang melaju cepat tersebut. Ia pun tersadar dan segera membanting stir kearah kiri.
Namun semuanya terlambat, mobil truck itu telah menabrak mobil miliknya. Membuat mobil tersebut berguling tidak karuan.
Dengan kesadaran yang mulai menipis, ia sempat memegang kepalanya dengan kuat kala merasakan darah segar terus mengucur deras, tak bisa dipungkiri kini ia sudah tak kuat lagi.
Sebelum kesadarannya menghilang, ia dapat melihat banyak petugas medis menghampiri mobil sebelum kesadarannya diregut paksa oleh kegelapan.
Ber Transmigrasi
Seorang gadis terlihat berdiri disisi kanan Brankar rumah sakit, ia sedang berusaha menggapai tubuhnya yang entah mengapa tak bisa ia raih.
Jessica lah gadis itu, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana tubuhnya yang terbaring dibrankar rumah sakit dengan bantuan alat Ventilator.
Tidak lama dari itu terdengar bunyi nyaring dari layar monitor yang sudah memperlihatkan garis lurus, membuat para perawat berlarian mencoba untuk menyelamatkan tubuh lemah yang terbaring dibrankar tersebut.
Ia seolah tertarik oleh waktu, sekarang ia berada pada pemakaman umum. Ia bahkan dapat melihat jelas ada orang tuanya, bi Ina, dan juga sahabat masa kecilnya.
Dafina Iren Robertson sahabat yang selalu menerima ia apa adanya, bahkan ketika ia berbuat jahat sekalipun Fina tetap berada disisinya.
Ia juga dapat melihat mereka semua memakai baju serba hitam tengah menangis didepan batu nisan bertuliskan Jessica Veranda Malik Ibrahim, seketika itu juga ia menitikan air mata dengan gelengan tak percaya.
Ia sudah meninggal.
"Maafin Mama nak, mama gak bisa menjadi seorang ibu yang baik buat kamu, mama menyesal, andai waktu dapat diputar kembali mama akan selalu berada disisi kamu sayang." Isak sang Mama dari Jessica, Alina Veranda Malik Ibrahim.
Terlihat seorang pria paruh baya meusap lembut bahu sang istri dengan mata yang juga tertuju pada sebuah makam didepannya.
"Maafkan Papa juga nak, papa tidak bisa menjadi seorang yang baik buat kamu, papa merasa gagal menjadi kepala keluarga, sama seperti mama mu papa hanya bisa berandai jika waktu dapat diulang kembali." Lirih pria paruh baya tersebut, Farel Veranda Malik Ibrahim ayah kandungnya.
Sedangkan Jessica hanya mampu menundukkan kepala dengan bulir air mata yang juga ikut jatuh serempak diwajah cantiknya.
"Semua itu hanya kata andai yang tenggelam bersama luka dan juga beribu kenangan." Jessi berucap sendu, tak bisa dipungkiri ia juga ikut merasa sedih kepada sikap kedua orang tuanya. Mengapa baru sekarang mereka memahaminya, mengapa setelah kepergian dirinya kedua orang tuanya baru menyadari kesalahan mereka.
Matanya terus menyusuri setiap orang yang berada di pemakaman, setelahnya matanya langsung terpaku pada sosok gadis yang kini ikut berjongkok mengelus batu nisan.
"Jeje kenapa tega ninggalin Fifi disini sendirian, dimana janji Jeje buat selalu ada buat Fifi." Isak tangis penuh kepiluan itu berhasil menggetarkan hati para pelayat, Fina bahkan mengacuhkan panggilan kedua orangtuanya. Ia hanya ingin memeluk sahabatnya,apakah itu sebuah kesalahan.
"Fifi ada salah ya sama Jeje makanya Jeje ninggalin Fifi? kalau itu alasan Jeje pergi, Fifi minta maaf, cuman satu permintaan Fifi, plis kembali." Gadis itu meraung tak karuan kala badannya terangkat kepelukan seorang pemuda.
Jessica ingin mendekat kearah Fina namun ketika ia mencoba menggapai hanya hembusan angin yang menembus tangannya, ia menatap miris semua hal yang berada disekitarnya. apakah semua akan berakhir semenyedihkan ini.
Pemuda itu mengeratkan pelukan pada gadis didekapan, hati nya ikut hancur lebur melihat sang tunangan menangis sesenggukan dengan keadaan begitu kacau.
Ia tahu persahabatan keduanya begitu terikat erat, kehidupan keduanya yang tak jauh berbeda membuat keduanya bisa saling melengkapi.
Tanpa diduga karena terlalu shock, Fina pun pingsan membuat pemuda tersebut panik dan berlari menggedong tubuh gadisnya memasuki mobil.
Kini hanya tersisa bi Ina dan juga Jessica yang masih menangis.
Bi Ina berjongkok didepan batu nisan milik Jessica.
"Nak Jessi jika waktu dapat diputar kembali bibi tidak akan pernah membiarkan kamu menaiki mobil itu, ingat ketika kamu meminta bibi berjanji untuk gak ninggalin kamu, Bibi yang harusnya meminta janji itu." Lirih bi Ina dengan isak tangisnya.
"Nak, bibi pamit dulu, nanti Bibi akan sering kesini." Bi Ina berdiri dari jongkoknya meninggalkan Jessica yang terus menangis.
"Aku juga ingin bersama kalian semua disini, tetapi mungkin ada rencana lain yang diinginkan Tuhan."
Setelah itu ia pun menutup matanya dan kembali tertarik, tetapi tarikan ini terasa lebih menyakitkan dari sebelumnya.
Perlahan tapi pasti tirai mata indah itu sedikit demi sedikit mulai terbuka dengan beberapa kali terlihat mengerjab, menyesuaikan cahaya yang masuk pada retina mata miliknya.
Gadis itu ia lah Jessica Veranda Malik Ibrahim, ia membuka matanya dengan nyawa yang belum sepenuhnya terkumpul. Bahkan dapat terlihat dipenglihatannya, seorang wanita paruh baya yang tengah menangis sesegukan disisi kiri brankar rumah sakit miliknya.
Mencoba memberanikan diri untuk membuka suara walau terasa sakit pada tenggorokannya.
"Bi Ina?" Panggilnya ragu dengan raut wajah penuh tanda tanya.
Wanita paruh baya tersebut mengangkat kepalanya dengan pandangan penuh hari kala kembali dapat mendengar suara sang anak majikan
"Bi Ina, siapa itu non nama saya kan Bi Ida?" Tanya Wanita berpangkat kepala pelayan tersebut dengan wajah penuh kebingungan.
Jessica kembali teringat apa yang terjadi pada dirinya sebelumnya, tanpa setetes air mata jatuh dipipi chubby miliknya. membuat pelayan tersebut panik seketika.
"Non Safira kenapa nangis? ada yang sakit, dimana yang sakit Non? sini biar bibi panggilin Dokter!" Panik bi Ida lalu berdiri hendak memanggil dokter tetapi dengan cepat dicegah oleh Jessica.
"Tunggu nama saya Safira ya?" Pertanyaan yang keluar dari bibir mungil nan indah itu berhasil membuat badan wanita paruh baya yang bernama Bi Ida tersebut menegang dengan ekspresi wajah terkejut.
"Non lupa sama nama non sendiri?!" Bi Ida bertanya tak percaya.
Jessica terdiam sambil mengingat nama yang sebelumnya tak sengaja terdengar di indra pendengarannya, setelah mengingat nama tersebut badannya menegang, ia ragu kalau itu nama yang sama sehingga ia mencoba langsung bertanya pada bi Ida.
"Safira Catlon Adithama apa itu nama panjang saya?" Tanya Jessica ragu, sedangkan bi Ida menghembuskan nafas lega. ia kira nona nya lupa ingatan.
"Saya kira non lupa ingatan, saya udah panik, iya emang bener nama non Safira, emang kenapa non?" Ucap bi Ida menjelaskan sekaligus bertanya.
Kepala Jessica langsung terasa pening, ternyata benar ia bertransmigrasi masuk kedalam novel, bukankah semuanya terasa mustahil.
Melihat wajah pucat sang nona membuat wanita paruh baya tersebut segera mengambil gelas dan menuangkan air putih didalamnya, tangan tersebut dengan pelan membantu sang nona yang kesulitan untuk minum.
"Bi Ida aku boleh minjem cermin." Pinta Jessica memohon.
"Tunggu sebentar ya Non." Jawab bi Ida mengambil cermin yang sebelumnya berada didalam meja loker.
Setelah menerima cermin ditangannya, ia meraba pada wajahnya dengan ekspresi melongo tak percaya. Kulit putih, mata bulat yang indah, hidung mancung tetapi mungil, pipi yang berisi bukan terlihat gemuk tetapi malah terlihat menggemaskan, dan yang terakhir bibir mungil berwarna pink yang menambah kesan menggemaskan.
Sangat berbeda dengan wajahnya sebelum memasuki raga Fira, bisa dibilang fitur wajah miliknya adalah sebaliknya.
"Bi kalau boleh tahu kenapa aku ada disini, dan udah berapa lama?" Tanyanya penasaran, yang langsung di angguki bi Ida.
"Non kecelakaan waktu mau kesekolah, kata murid disana yang bibi dengar non korban tabrak lari. Non udah koma 2 minggu disini." Jelas bi ida dengar raut khawatir sekaligus lega karena anak dari majikannya ini telah sadar dari koma.
Ia terdiam kala mendengar penjelasan dari wanita paruh baya tersebut, ingatannya menerawang pada bagian cerita dimana sosok kedua antagonis yang menjadi alasan seorang Safira terbaring lemah di tempat tidur pasien.
Ibu tiri dan kakak tiri Safira.
Ia tersenyum sinis di kala rencana demi rencana terancang jelas didalam pikirannya, ia bukan gadis naif yang hanya akan diam ketika ditindas. Ia lebih suka bermain-main dan membuat mereka tunduk dibawah kakinya, itulah sifat dari seorang Jessica Veranda Malik Ibrahim.
Sedangkan bi Ida hanya mampu mengerutkan kening pertanda kebingungan dengan keterdiaman dari sang nona. Merasa sang nona yang tak lagi memerlukan keberadaannya, membuat wanita paruh baya tersebut memutuskan untuk berpamitan.
Setelah kepergian bi Ida berhasil membuat Jessica kembali berpikir, memutuskan mengacau dalam alur cerita mungkin membuat banyak resiko bermunculan. Dengan berat hati ia harus mulai menjalankan peran sebagai Safira, namun bukan dengan sifat naif Safira tetapi dengan sifat pemberontak miliknya.
"Selamat datang pada kehancuran, tunggu kedatanganku!" Gertak Jessica lirih dengan tatapan tajam.***
BIODATA PENULIS
Noor Maulidatul Hasanah lahir di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, 20 Maret 2007. Anak pasangan Kaspul Anwar dan Siti Zahra ini biasa disapa Mida atau Lida. Saat ini tengah menjalani masa akhir pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 3 Hulu Sungai Selatan (HSS), tepatnya Kelas IX C MTsN 3 HSS Tahun Pelajaran 2021/2022. Menggeluti dunia tulis-menulis sejak di bangku Kelas VIII. Senang membaca novel berjenis fantasi, dan itu berpengaruh pada tulisannya. Mida tinggal di Desa Taniran Kubah, Kecamatan Angkinang, Kabupaten HSS, Kalimantan Selatan.