Jum'at, 31 Mei 2013
SEJARAH
MAKAM
Saya membaca Sejarah Makam Datu Muhammad Rais yang
terletak di Loknyiur Desa Bamban Kec. Angkinang Kabupaten Hulu Sungai Selatan
(HSS).
Loknyiur
merupakan salah satu anak desa yang terletak di bagian utara Desa Bamban
Kecamatan Angkinang. Jaraknya kurang lebih 10 kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten HSS.
Sementara dari jalan raya Trans Kalimantan sekitar 2 kilometer. Dengan
karakteristik geografis tanah rawa dan sungai. Sungai terkenal itu bernama
Sungai Martajiwa. Di bantaran sungai Martajiwa terdapat sebuah makam tua dengan
sebuah nisan tanpa nama. Sejak nenek moyang dulu tidak tahu pasti makam siapa
itu.
Dengan
ketidaktahuan dan ketidakpastian itu muncul berbagai cerita tanpa dasar dan alasan
yang kuat untuk menjelaskan keberadaan makam tersebut. Diantaranya yang pernah
mengemuka menyebutkan makam tersebut hadirnya bersamaan dengan datangnya banjir
besar di sungai Martajiwa. Hingga hadirlah makam tersebut di bantaran sungai
itu.
Dulunya
di pinggir sungai Martajiwa tumbuh sebatang beringin besar yang rindang dengan
akarnya melebar di permukaan tanah. Terlihat sebuah nisan yang terbuat dari
kayu ulin tertancap di sela-sela akar pohon beringin yang mengisyaratkan bahwa
itu sebuah makam yang tidak tahu pasti siapa penghuninya.
Cerita
ini bertahun-tahun lamanya dan hampir terlupakan ditelan masa hingga pergantian
zaman hingga sekarang ini. Namun kadangkala ada muncul keanehan atau peristiwa
ganjil yang mengisyaratkan bagi orang yang tertentu dapat melihat benda asing
di sekitar makam berupa binatang atau benda hidup lainnya. Seperti buaya putih,
ular putih, kucing putih, dsb. Konon katanya sampai 41 jenis benda hidup aneh
yang berbeda dengan kehidupan biasanya.
Penampakan
makhluk aneh tersebut biasanya diiringi dengan hujan lebat dan angin kencang.
Hingga mengakibatkan banjirnya sungai Martajiwa. Yang aneh sedalam dan sebanjir
apapun juga sungai Martajiwa mengalirkan airnya, tetap tidak akan
menenggelamkan nisan yang tertancap di atas makam tersebut.
Pernah
terjadi pada empat orang anak muda Desa Loknyiur pada masa lalu. Yakni Rusli
(Utuh Rulli), Anggur, Basuni, dan Aini. Keempat anak muda ini sedang asyik bagarit (berburu). Karena tidak mendapat
binatang buruannya maka sasaran emosionalnya adalah menendang dan memukul nisan
dari makam tadi.
Yang
menendang adalah Basuni (Asun), Aini, dan Anggur hanya sedikit memukul.
Sementara Rusli tidak ikut melakukan hal seperti mereka. Tak lama kemudian
Basuni dan Aini mendapat musibah dan langsung meninggal dunia. Sedangkan Anggur
menderita penyakit lemah dan tidak sekuat sebagaimana masih muda dulu lagi.
Sedangkan Rusli karena tidak ikut melakukan perbuatan tersebut tidak mendapat
dampak dari perbuatan masa lalu.
Dilain kesempatan ada seorang anak muda yang iseng dan
nekad mencabut sebuah nisan makam yang terbuat dari kayu ulin. Lalu dipotongnya
untuk dibuat mainan gasing. Tidak berapa lama orang yang nekad mengambil nisan
tadi mendapat musibah meninggal dunia. Atas peristiwa tadi hingga sekarang makam
tersebut tersisa hanya satu nisan yang masih utuh tertancap di atas pusaranya.
Sekitar tahun 1999 Desa Loknyiur kedatangan rombongan
tamu dari Martapura Kabupaten Banjar. Mereka datang naik mobil taksi Colt
L-300. Rombongan tersebut diterima langsung oleh Rusli (Utuh Rulli) yang
dianggap sebagai tetuha kampung.
Rombongan itu menanyakan dimana letak makam keramat.
Rusli tidak pikir panjang lalu menunjuk makam yang ada di bantaran sungai
Martajiwa. Rombongan minta ijin untuk diantar ke makam yang pada waktu itu
hanya bisa dicapai dengan naik jukung untuk sampai ke lokasi makam.
Sesampainya disana rombongan melakukan ritual dengan
iringan do’a beserta dzikir, tasbih, tahmid, dan tahlil. Selesai melaksanakan
acara tersebut, para penziarah langsung minta kembali. “ Mohon dan tolong makam
ini dijaga dan dirawat sebaik-baiknya karena makam ini termasuk makam yang
diberi keramat oleh Allah SWT,” ujar para penziarah kepada Rusli sebelum
meninggalkan makam.
Diawal tahun 2002 datang dua orang yang berasal dari
Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST). Salah seorang mengaku sebagai guru
pada salah satu pesantren di Barabai. Sementara yang satunya lagi mengaku
pensiunan Kepala PU HST. Keduanya tidak mau menyebutkan nama.
Lantas mereka juga bertanya kepada Rusli dimana disini
ada makam Datu yang punya keramat. Seperti semula Rusli menjawab dan
menunjuk makam yang ada di bantaran
sungai Martajiwa. Kedua orang tadi sama halnya dengan rombongan yang datang
dari Martapura dalam arti bersama-sama ziarah dengan iringan do’a serta dzikir,
tasbih, tahmid, dan tahlil. Selesai ziarah kedua orang tersebut langsung
kembali. Sebelum meninggalkan makam sempat berpesan kepada Rusli mohon makam
itu dijaga dan dirawat sebaik-baiknya. Karena makam itu diberi keramat oleh
Allah SWT.
Di sekitar makam ada tersimpan benda bersejarah dan
mempunyai nilai yang tinggi. Orang yang dimakamkan itu bernama Datu Muhammad
Rais.
Kemudian kedua orang tersebut sempat mengatakan kepada
Rusli kalau memang mendapat petunjuk mereka akan datang kembali. Rupanya mereka
berdua mendapat petunjuk, dua hari kemudian mereka datang lagi dengan
perlengkapan seadanya siap untuk melakukan penggalian berdasarkan intuisi,
naluri dan mata hatinya.
Sehingga pada keesokan harinya, tepat pada jam tujuh pagi
mereka berdua didampingi oleh Rusli memulai mengerjakan dengan
perhitungan-perhitungan sekitar 5 meter sebelah timur dari nisan tadi posisi
yang harus digali. Dengan penuh kehati-hatian sekrup dan sundak secara deras
memancar di setiap sudut dan sisi lobang.
Konon katanya lobang yang digali tersebut adalah sebuah
sumur tua yang airnya secara turun-temurun tidak akan pernah kering dan mampu
memberikan makna kehidupan bagi orang-orang kampung masa lalu. Air tersebut juga
mampu memberikan kesembuhan dengan berbagai jenis penyakit yang diderita orang
pada saat itu.
Proses penggalian sudah dilaksanakan dan terus diupayakan
hingga menghabiskan waktu yang cukup lama, namun upaya tersebut mendapat
kendala yang cukup berat untuk dilanjutkan. Mungkin belum dapat ijin dan restu
dari Yang Kuasa sehingga tidak membuahkan hasil seperti apa yang mereka
harapkan. Akhirnya terpaksa dihentikan.
Pada tahun 2002 pula, datang rombongan dengan menggunakan
5 (lima) buah
mobil taksi Colt L-300. Rombongan itu datang secara terorganisir berlabelkan massa penziarah makam Wali
Songo yang kebanyakan berasal dari Martapura. Namun diantaranya ada juga yang
berasal dari Sungai Danau, Tanah Bumbu.
Tersebutlah yang namanya Baseri yang asal-usulnya berasal
dari Loknyiur dan bermukim di Sungai Danau. Ketika rombongan Baseri berziarah ke
Makam Wali Sunan Ampel di Surabaya, tanpa diduga ada salah seorang penjaga
makam langsung menyapa dan berucap, “ Hei Saudara ! Kenapa berziarah jauh-jauh
datang kesini dengan banyak menghabiskan uang dan tenaga. Sementara makam datu yang
ada di kampung kamu sendiri belum pernah diziarahi.”
Bagai disambar petir tersontak bathinnya menganalisis
kata-kata orang tersebut. Seraya ia mengucap istighfar tiga kali. Dilatar
belakangi retorika tersebut munculah ide para penziarah untuk datang ke
Loknyiur sebagai bagian dari program perjalanan mereka guna melengkapi
pengalaman hiudp dan sisa-sisa petualangannya. Karena dengan segudang
pengalaman berziarah, rombongan mereka sempat mengajak warga masyarakat
Loknyiur untuk bersama-sama melaksanakan haulan secara kecil-kecilan dalam arti
aruh basalamatan seadanya.
Pada tanggal 7 Oktober 2004 lagi-lagi Loknyiur kedatangan
sebanyak 3 (tiga) orang mengaku berasal
dari Palingkau, Kalimantan Tengah. Ketiga orang tersebut terdiri dari dua orang
perempuan dan satu laki-laki. Kedua orang perempuan tadi bernama Irus dan Idah
masih dalam satu keturunan yang sama didampingi laki-laki yang bernama Hadran
dengan panggilan akrabnya.
Berdasarkan silsilah dari garis keturunan ketiga orang
tersebut, ternyata juga masih berdarah Loknyiur yang sekian lama berdiam di
kampung orang. Dari silsilah tersebut, Idah, Inur, dan Hadran datang membawa
kisah pengalaman hidupnya yang mungkin orang lain tidak pernah mengalaminya.
Idah menceritakan bahwa ada saudara kandungnya yang sejak
bayi menghilang (gaib) entah dimana dan siapa yang membawanya sehingga tidak
tahu dimana rimbanya hingga sekarang ini. Tapi sewaktu-waktu muncul menemuinya
dengan meminjam raga Idah dan
saudara-saudara kandung lainnya, diantaranya akhir-akhir ini mengajak untuk
berziarah ke makam tersebut. ***