Kamis, 25 September 2025
Di tengah rimbunnya hutan dan kebun rakyat di Desa Angkinang Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, tumbuh sebuah pohon langka yang menyimpan cerita dan rasa: Kalangkala.
Buah yang mungkin asing bagi sebagian orang Indonesia ini merupakan bagian dari kekayaan hayati lokal yang mulai terlupakan. Padahal, kalangkala tidak hanya unik secara visual dan rasa, tapi juga memiliki potensi ekonomi dan budaya yang patut diangkat.
Apa Itu Kalangkala?
Dalam bahasa Banjar, buah ini dikenal sebagai kalangkala, sementara secara ilmiah pohonnya bernama Garcinia celebica. Kalangkala masih satu keluarga dengan manggis, dan termasuk dalam genus Garcinia, yang banyak tumbuh di hutan tropis Asia Tenggara.
Buah kalangkala memiliki bentuk yang sangat khas: saat sudah matang berbentuk bulat kecil, dengan bagian bawah berwarna hijau dan bagian atas merah muda cerah—terlihat seolah memakai "topi". Warna yang mencolok ini membuatnya mudah dikenali di antara dedaunan hutan.
Rasanya? Asam segar, dengan sedikit rasa manis. Buah ini biasa dikonsumsi langsung, dijadikan campuran sambal, atau dimakan bersama garam dan cabai oleh masyarakat lokal.
Pohon Kalangkala: Tinggi, Kuat, dan Tahan Lama
Pohon kalangkala bisa tumbuh tinggi menjulang hingga belasan meter, seperti yang tumbuh di sekitar kampung saya. Kayunya keras dan tahan lama, meskipun tidak umum digunakan untuk bahan bangunan karena fokus utamanya adalah buahnya.
Pohon ini mulai berbuah setelah cukup tua, dan musim buah biasanya terjadi menjelang musim kemarau.
Potensi Ekonomi dan Budaya
Sayangnya, kalangkala kini mulai jarang ditemukan, bahkan di desa-desa sekitar. Banyak anak muda yang bahkan tidak mengenal buah ini, karena kalah pamor dengan buah-buahan modern yang tersedia di pasar swalayan. Padahal, jika dikelola dengan baik, buah kalangkala bisa menjadi potensi ekonomi alternatif:
Dijual sebagai buah segar di pasar lokal.
Diolah menjadi sambal botolan, manisan, atau sirup.
Dijadikan bagian dari agrowisata desa, terutama bagi wisatawan yang mencari pengalaman lokal dan otentik.
Tak hanya itu, kalangkala juga bisa menjadi simbol pelestarian lingkungan dan identitas budaya Banua (Kalimantan Selatan). Mengangkat kembali buah ini berarti menjaga hubungan kita dengan alam, leluhur, dan rasa lokal yang otentik.
Ajakan untuk Melestarikan
Sebagai warga Desa Angkinang Selatan, saya merasa terpanggil untuk mengenalkan kembali buah ini ke masyarakat luas. Kalangkala adalah warisan kita bersama—yang tumbuh di tanah kita, dirawat oleh alam, dan bisa memberi manfaat bagi generasi mendatang.
Saya mengajak siapa pun yang masih memiliki pohon kalangkala di sekitar rumah atau hutan desa, untuk menjaganya. Jangan ditebang, jangan dibiarkan punah. Sebaliknya, mari tanam kembali, manfaatkan, dan kenalkan pada dunia.
Penutup
Di tengah gempuran modernisasi dan globalisasi, penting bagi kita untuk tidak melupakan apa yang tumbuh di halaman sendiri. Kalangkala bukan sekadar buah—ia adalah bagian dari identitas kita sebagai masyarakat Banua. Mari jaga, lestarikan, dan banggakan.***
Foto pohon dan buah kalangkala saya ambil langsung dari kampung halaman di Desa Angkinang Selatan.
Ditulis oleh : Akhmad Husaini,
Pemerhati budaya lokal & warga Desa Angkinang Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar