Senin, 15 Februari 2010

Lestari Banuaku

Senin, 25 Oktober 2010


Tradisi Yang Mulai Ditinggalkan

Oktober 13, 2009 oleh myrasta

Pengantar:

Pada petani di Kalimantan Selatan, khususnya didaerah Pahuluan, memiliki tradisi yang sangat menggambarkan budaya kebersamaan, persaudaraan, tolong menolong dan gotong royong. Tradisi yang dilakukan saat Batanam (mulai menanam padi) dan Mangatam (memanen padi) itu disebut Baarian oleh urang Banjar Pahuluan atau disebut Bahandepan oleh urang Banjar Kuala. Saat ini, tradisi itu mulai ditinggalkan. Seiring dengan modernisasi, orang lebih senang mengupah buruh dalam mengerjakan sawahnya. Lebih mudah memang. Namun tanpa disadari, hal itu justru secara perlahan menenggelamkan sebuah tradisi. Sebuah tradisi yang sarat dengan makna kebersamaan, persaudaraan, tolong menolong dan gotong royong. Tak heran, karena kini orang cenderung lebih apatis dan tak peduli.

***

Ba-arian, Kearifan Lokal Urang Banua

ba-arian; bergotong royong menanam padi
ba-arian; bergotong royong menanam padi

Batanam, mangatam, bersama-sama bergantian. Menghemat upah dan mempererat persaudaraan


Mentari mulai beranjak naik. Pagi itu, sekitar pukul 09:00, tujuh petani terlihat bergerombol menanam padi disepetak sawah. Dua orang lainnya, nampak duduk dipematang. Asyik berbincan sambil menikmati segelas kopi dan wadai (kue-red) pais pisang.

Sambil bekerja, para petani itu terlibat obrolan seru. Sesekali terdengar tawa mereka memecah pagi yang beranjak siang. Dua orang terlihat manyungkal (mencabut/mencongkel menggunakan parang-red) padi muda, memotong sebagian akarnya dan melemparkan kepada rekannya yang lain. Sementara, lima orang lain sibuk menanam padi menggunakan asak (alat menanam padi, biasanya dibuat dari kayu ulin-red).

“Barapa borongan (hitungan luas sawah-red) sudah nih kita dapat (Sudah selesai berapa borongan kita ini?-red),” ujar salah satu dari mereka dengan logat Rantau yang kental. “Parak ai sabalas borongan (Hampir 11 borongan-red),” salah satu dari dua orang yang duduk dipematang menyahut. “Isuk kawa kita ni manggawi ampunku pulang (Besok kita bisa mengerjakan punyaku- red),” yang lain menimpali sambil menghentikan aktivitasnya sejenak.

Itulah sepintas gambaran beberapa petani di Rantau, Kabupaten Tapin, saat sedang menanam padi secara bergotong royong atau dalam bahasa Hulu Sungai disebut Ba-arian dan Ba-handepan oleh orang Banjar Kuala.

Ba-arian atau Ba-handepan, merupakan sebuah bentuk local ingenius (kearifan local). Biasanya Ba-arian dilakukan saat prosesi batanam (bertanam padi) dan mangatam (memanen padi). Prosesi ini dilakukan bergantian dari satu sawah ke sawah yang lain, milik petani yang ikut Ba-arian. Sawah yang didahulukan digarap adalah sawah mereka yang sudah siap.

Pada masyarakat Banjar di Hulu Sungai dan Kuala, prosesi Ba-arian atau Ba-handepan masih dianut masyarakat. Dengan cara ini, petani bisa menggarap sawah mereka tanpa harus mengeluarkan banyak biaya.

“Tahun ini upah ba-tanam Rp14 ribu saborongan. Naik dari Rp12 ribu tahun samalam (sekarang biaya upah menanam padi Rp14 ribu per borongan. Naik dari Rp12 ribu tahun kemaren-red),” ujar Ariansyah, warga Kota Rantau.

Semua orang yang mempunyai sawah berhak ikut Ba-arian. Syaratnya cuma satu, bagi yang sawahnya kena giliran digarap, harus menyediakan makan siang dan snack berupa kue tradisional lengkap dengan kopi atau teh manis.

Selain sebagai bentuk kegotongroyongan, Ba-arian juga merupakan bentuk solidaritas sosial yang tinggi dikalangan urang Banua. Irama kekeluargaan ini masih kental dirasakan pada masyarakat pedesaan, Hulu Sungai dan Banjar Kuala. Namun seiring zaman, pada masyarakat perkotaan, inguhnya mulai memudar. Seiring dengan keheterogenan masyarakat kota.

Meski masyarakat Hulu Sungai identik dengan watak keras pada urang Rantau dan Kandangan, namun dari kearifan lokal yang mereka anut, tergambar tingkatan kekeluargaan dan kekerabatan yang tinggi. Sayangnya, bersamaan dengan itu, kini orang lebih senang mengupah buruh tani untuk mengerjakan sawahnya. Sehingga, pelan tapi pasti kearifan yang terkandung dalam prosesi Ba-arian, menipis.

“Tangahari sudah nah, sadang ai kita makanan. Ba’da Dzuhur kita sambung pulang (sudah siang, kita makan dulu. Selepas Dzuhur disambung lagi-red),” ujar salah satu petani itu, yang sepertinya pemilik sawah. Ajakan itu mendapat sambutan gembira dari kawannya yang lain. Pekerjaan sementara dihentikan. Waktunya sekarang untuk berserah diri kehadapan sang Kholiq.

Begitulah, meski tergerus zaman, Ba-arian tetap salah satu alternatif penghematan biaya yang menguntungkan. Walau kini sudut pandangnya sedikit bergeser. Bila dulu Ba-arian dilakukan atas dasar gotong royong, kini untuk sebuah penghematan semata.



Warisan Tanpa Pewaris Oleh Rusmanadi
Senin, 23 Agustus 2010 14:51 WITA | Pariwisata & Lingkungan Hidup | Dibaca 109 kali
Warisan Tanpa Pewaris Oleh Rusmanadi
Secara bergantian, empat orang lelaki Dayak Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan itu mengayunkan tongkat bambu panjang di tangan kanan mereka.

Ayunannya bergerak naik turun dengan irama teratur dan konstan, membuat ujung bambu yang dibentuk sedemikian rupa, mengeluarkan nada-nada indah.

Saat seorang dari mereka berpindah posisi, yang lain segera menggantikannya. Begitu pula dengan posisi bambu yang kadang diayunkan dengan tangan kanan, terkadang dengan tangan kiri.

Ayunan-ayunan tongkat bambu yang berfungsi layaknya alat musik itu, membentuk sebuah lubang kecil pada tanah ketika pangkalnya dihentakkan. Begitu lubang terbentuk, dengan cekatan kaum wanita memasukkan benih padi ke dalamnya.

Itulah kesenian khas masyarakat adat Dayak Meratus yang mengiringi prosesi menanam padi atau biasa di sebut "manugal".

Sebuah prosesi kebudayaan dan tradisi berupa tarian dengan disertai hentakan-hentakan batang bambu yang mampu menghasilkan nada-nada indah itu, merupakan pengiring kegiatan bercocok tanam yang disebut 'Bahilai'.

Masyarakat adat Dayak Meratus tak memerlukan organ atau biola untuk dapat menciptakan komposisi-komposisi musik yang memikat.

Mereka yang dekat dan hidup berdampingan dengan alam, amat pandai beradaptasi dan memanfaatkannya, bahkan dalam urusan bermusik sekalipun.

Melalui media sebatang bambu yang pada bagian ujungnya dibuat sedemikian rupa agar menghasilkan bunyi, bagian pangkalnya difungsikan sebagai alat pembuat lubang pada tanah.

Prosesi itu dilakukan bukan tanpa maksud dan tujuan. Bukan pula sekedar bersenang-senang atau pengusir rasa lelah belaka.

Lebih jauh lagi, padi bagi masyarakat adat Dayak Meratus adalah sesuatu yang suci, sedang huma yang digarap adalah ibu pertiwi tempat mereka menggantungkan harap. Karena itu, proses menanam padi dilakukan dengan keceriaan, kegembiraan dan beribu pengharapan.

Tapi jangan harap menemukan pemandangan indah nan eksotik itu lagi sekarang ini. Datanglah ke kawasan Kecamatan Batang Alai Timur (BAT) misalnya dan bertanyalah kepada pemuda Dayak di sana.

Tahukah mereka dengan Bahilai? Mohon jangan kecewa bila jawabannya adalah 'tidak tahu'.

Keadaan kini telah berubah. Gempuran ilmu dan teknologi dengan beragam kemudahannya, membuat 'facebook' mungkin lebih dikenal oleh mereka.

'Bahilai' kini tinggal sebuah kata yang pernah diucapkan dan kenangan bagi para tetua masyarakat adat Dayak Meratus di sana.

Menyedihkan memang, ketika sebuah kebudayaan luhur yang luar biasa dan tidak semua orang dapat melakukannya, harus tersingkir dan terkalahkan oleh zaman.

'Bahilai' kini bagi masyarakat adat Dayak Meratus hanyalah sebuah warisan yang ironisnya tidak seorang pun mewarisinya.

Kondisi itu menimbulkan keprihatinan seorang Mido Basmi, tokoh adat Dayak Meratus di Desa Hinas Kanan.

"Saat ini, budaya dan kesenian adat Dayak Meratus seperti Tari Bagintor, Bakanjar dan Babansai hanya digelar saat ada Aruh Bawanang atau upacara adat lainnya, yang pelaksanaannya terkadang hanya sekedar simbol ritual adat, tanpa makna," ujarnya sambil menghela napas, tercekat.

Paling menyedihkan tentu saja adalah nasib 'Balihai' yang tak lagi dikenal generasi muda Dayak Meratus.

Prihatin akan punahnya budaya dan kesenian adat, mendorong ia membentuk sebuah kelompok seni yang mengajarkan berbagai kesenian dan prosesi adat kepada generasi muda Dayak Meratus.

Namun sayangnya hal itu tak bertahan lama dan bahkan kelompok itu bubar sebelum padi tugalan sempat tercicipi.

Saat pengelola kelompok seni tersebut, pernah ia mencoba meminta bantuan kepada pemerintah daerah setempat untuk pengadaan kostum.

Namun permintaan itu tidak pernah ditanggapi meski yang diminta hanya sekedar baju 'kabaya' (kebaya), sarung dan 'kakamban' (selendang) sebagai perlengkapan panggung. Itu saja.

Seiring dengan bubarnya satu-satunya kelompok seni yang pernah ada itu, kini tak ada lagi upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya adat Dayak Meratus, hingga diambang kepunahan.

Juliade, koordinator Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, menganggap hilang dan tidak dikenalnya lagi kesenian serta budaya adat disebabkan dua faktor, yaitu internal dan eksternal.

Faktor internal disebabkan oleh masyarakat adat itu sendiri dan faktor eksternal berupa dukungan dari pemerintah daerah setempat.

"Faktor internal merupakan sikap dan kepedulian dari generasi muda Dayak Meratus yang kini enggan melestarikan kesenian dan budayanya sendiri," ujarnya.

Dalam hal ini, kemajuan ilmu dan teknologi ikut berperan menjadi salah satu pendorong sikap apatis pada generasi muda Dayak Meratus.

Kemajuan ilmu dan teknologi menyebabkan kesenian dan budaya serta pengaruh asing sangat mudah masuk untuk kemudian merasuk dalam diri generasi muda Dayak Meratus.

Lambat laun, hal itu mempengaruhi generasi muda Dayak Meratus untuk mengikuti budaya luar, termasuk gaya hidup.

Andai saja pengaruh asing yang masuk dijadikan penambah pengetahuan, tentu akan lebih arif dan bijaksana.

"Namun yang terjadi adalah, yang diikuti hanya 'style'-nya saja tanpa peduli apakah hal itu cocok atau tidak dengan keseharian dan budaya yang ada.

Sehingga yang terjadi sekarang ini, bahkan banyak dari mereka yang malu mengaku sebagai orang Dayak," ujar Juliade, menyayangkan.

Peran dan dukungan pemerintah daerah setempat juga dinilai sangat kurang, bila tidak ingin dikatakan tidak ada sama sekali.

Hal itu diperparah oleh lembaga-lembaga yang mengayomi masyarakat adat Dayak, yang justru lebih berorientasi pada perbaikan ekonomi, taraf hidup, lingkungan dan pengakuan dari masyarakat luar.

Bahkan, LPMA Borneo Selatan sendiri dalam hal ini juga memiliki program kerja yang lebih cenderung ke arah hal itu.

Penyebab dari kurangnya konsentrasi program untuk masalah kesenian dan budaya, sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan dan anggapan masyarakat luar terhadap masyarakat adat, di mana mereka seringkali dianggap tertinggal, terkebelakang dan primitif.

Mido Basmi pun mengatakan hal serupa. "Akhirnya lembaga dan masyarakat adat disibukkan oleh upaya serta keinginan untuk membuktikan keberadaan mereka sehingga melupakan urusan lain di luar itu," ujarnya.

Begitu pula dengan masyarakat adat yang telah terpelajar, mereka lebih terkonsentrasi kepada satu titik masalah hingga nilai budaya dan seni tertinggalkan.

Ada secercah harapan ketika kemudian LPMA Borneo Selatan kemudian merencanakan penambahan divisi baru di tubuh lembaga mereka.

Mereka akan membentuk divisi khusus untuk menangani masalah kesenian dan budaya adat dengan harapan, Dinas Pendidikan setempat dapat memasukkannya sebagai materi dalam kurikulum muatan lokal.

Menyoal masalah itu, Kadisdik HST, Agung Parnowo, mengaku hanya dapat mengakomodasi bila memang hal itu diprogramkan oleh Dinas Pemuda Olah Raga Seni Budaya dan Pariwisata (Disporabudpar) setempat.

"Dalam kurikulum, kita hanya mengajarkan budaya Indonesia secara global, termasuk budaya masyarakat adat Dayak. Namun bila Disporabudpar bisa memprogramkannya secara khusus, tidak tertutup kemungkinan hal itu bisa dilakukan," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Disporabudpar HST, Muhammad Yusuf mengaku saat ini pihaknya tengah melakukan pendataan tentang potensi kekayaan daerah, termasuk seni dan budaya.

"Kita tengah menyusun program pengembangan seni, budaya dan pariwisata daerah yang di dalamnya termasuk seni dan budaya masyarakat adat, sehingga dapat diketahui kesenian dan budaya apa yang dapat dikembangkan atau perlu penanganan," ujarnya.

Namun, hal itu dapat terwujud bila masyarakat adat setempat ikut berperan serta menginformasikan dan mendukungnya.

Sekarang, terpulang kepada masyarakat adat Dayak Meratus itu sendiri, adakah sebuah keinginan dalam diri mereka untuk melestarikan adat istiadat, seni dan budaya nenek moyang?

Bila memang ada terbersit keinginan itu, harapan kiranya dapat dilambungkan mengingat peluang yang diberikan pihak Disporabudpar HST.

Setidaknya tak salah bila masyarakat adat menagih janji di kemudian hari. Walaupun untuk sementara ini, pemuda Dayak Meratus nampaknya lebih menikmati jelajah 'facebook' dibandingkan ikut "batandik" (prosesi adat berupa tarian).


Selera Soto Banjar Oleh Syamsuddin Hasan
Selasa, 24 Agustus 2010 14:03 WITA | Pariwisata & Lingkungan Hidup | Dibaca 28 kali
Selera Soto Banjar Oleh Syamsuddin Hasan
Kalimantan Selatan yang terdiri atas 13 kabupten/kota dengan penduduk hampir 3,5 juta jiwa, memiliki berbagai makanan khas, di antaranya soto Banjar.

Bagi orang luar daerah Kalimantan Selatan (Kalsel) atau Kota Banjarmasin khususnya, mungkin hanya mengenal sebutan soto Banjar.

Padahal, kalau dicermati secara seksama, sebenarnya ada beragam produk soto Banjar yang kelihatannya serupa, tapi tak sama.

Sebagai contoh, di Banjarmasin, ibukota Kalsel, terdapat beberapa produk aoto Banjar yang terkenal dan punya "merk" sendiri-sendiri, di antaranya Soto Yani-Yani, Soto Abang Amat, Soto Bawah Jembatan, Soto Kuin/Kuintana dan Soto Kampung Melayu.

Selain itu, yang tergolong lama ada atau sejak tahun 1960-an sudah eksis, yaitu Soto Pal Satu di Jalan A. Yani dan Soto Pekapuran yang dulunya terkenal dengan ayam "bapukah" (potongan besar/tanpa diricih).

Memang bahan dasar produk Soto Banjar itu sama, baik yang diolah urang Banjar di perantuan maupun mereka yang tinggal di Kalsel, yaitu terdiri atas nasi atau ketupat, ayam serta secukupnya rempah-rempah seperti buah pala, lada dan lainnya.

Demikian pula halnya soto Banjar yang diolah orang yang tinggal di Banjarmasin, bahan dasarnya sama dengan mereka yang mengolah di daerah Hulusungai atau "Banua Anam" Kalsel.

Begitu pula, misalnya soto Banjar yang ada di Barabai, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalsel, mungkin beda rasa dengan soto Banjar yang di Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Kalteng).

Dari masing-masing produk itu ada pula kekhasannya, baik dalam segi muatan rempah atau bahan lainnya maupun dalam penyajian, guna menarik perhatian serta selera konsumen.

Namun, sebagai salah satu ciri khas soto Banjar yang asli, menggunakan ayam kampung, serta tanpa penyedap seperti vetsin.

Tapi terkadang ada pula yang menggunakan ayam ras atau jenis daging lain, karena harga ayam kampung jauh lebih mahal. Apalagi saat menjelang lebaran, harga ayam kampung bisa dua kali harga ayam ras.

"Persoalan rasa ini tergantung selera atau kesukaan masing-masing orang, sehingga tak bisa menjadi ukuran dari ciri khas Soto Banjar. Karena ada orang suka agak rasa lemak dan ada pula yang senang dengan rasa yang biasa-biasa saja," ujar Hj. Nurul Lathifah, seorang warga Banjarmasin.

Misalnya, ada orang yang senang dengan Soto Yani-Yani atau cuma suka Soto Abang Amat dan lainnya. Karena dari masing-masing produk itu punya cara mengolah dan menyajikan sendiri-sendiri, katanya.

Oleh sebab itu, jangan heran kalau dari masing-masing produk Soto Banjar tersebut berbeda rasa saat disantap, walau bahan dasarnya sama, demikian Nurul.


MENAKAR GETAH MERATUS Oleh Rusmanadi
Selasa, 28 September 2010 13:46 WITA | Pariwisata & Lingkungan Hidup | Dibaca 104 kali
MENAKAR GETAH MERATUS Oleh Rusmanadi
Jarum jam baru menunjukkan pukul 04.00 dini hari. Kegelapan pun masih menyelimuti wilayah pemukiman masyarakat adat Dayak Meratus di Balai Kiyu, Desa Hinas Kiri, Kecamatan Batang Alai Timur (BAT), Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.

Meski saat itu sang fajar masih enggan beranjak dari peraduan, namun tidak demikian halnya dengan Julak Maribut. Lelaki berusia lebih dari 70 tahun itu justru tengah bersiap-siap sementara sebagian warga kampung masih terlelap.

Sambil sesekali mengisap rokok kretek kesukaannya, Julak Maribut memasukkan satu persatu 'sangu' (bekal) dan perlengkapan yang akan dibawanya ke dalam sebuah wadah (butah) kecil.

'Butah' adalah wadah atau tempat untuk membawa sesuatu yang terbuat dari anyaman bambu. Butah memiliki dua tali dari kulit kayu layaknya sebuah ransel sehingga mudah dibawa kemana-mana.

Sekitar 30 menit kemudian, Julak Maribut beranjak. Ketika daun pintu di buka, hembusan angin dingin pegunungan Meratus segera menerpa wajahnya yang tirus.

Sedikit menggigil, Julak Maribut menyalakan senter dan mulai melangkah. Membelah gelap dan dinginnya pagi menuju ladang, tak jauh dari rumah kecilnya untuk memulai aktivitas 'mamantat' (menyadap) karet hari itu.

Begitulah aktivitas di saat subuh yang dilakoni oleh Juklak dan sejumlah warga masyarakat adat Dayak Meratus di sana. Hampir setiap hari mereka menjadi saksi terbitnya sang fajar di ufuk timur di kaki pegungunan Meratus sambil beraktivitas 'mamantat gatah batang para' (menyadap getah pohon karet).

Aktivitas 'mamantat' karet hanya dilakukan dari subuh hingga pagi. Setelah beranjak siang, mereka pun menuju warung minum untuk berbincang dan bergosip ria sebelum pulang ke rumah masing-masing saat menjelang makan siang.

"Mamantat bagusnya memang pagi-pagi karena kalau sudah siang 'gatah' (getah) karet cepat kering sehingga hasilnya tidak banyak," ujar Julak Maribut seraya bersantai di sebuah warung minum.

Di HST, karet merupakan komoditi unggulan ke dua setelah padi. Berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan (Dipertabun) setempat, dari sebelas kecamatan yang ada, semuanya memiliki kebun karet yang dikelola oleh masyarakat setempat.

Karet di HST merupakan Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) andalan. Dengan jumlah petani karet sebanyak 31.559 orang, mampu memproduksi karet mentah sebanyak 11.601,08 ton per tahun atau 842,98 Kg per Hektare (data produksi karet tahun 2009).

Dari seluruh total luas areal kebun karet milik rakyat di HST yang berjumlah 20.968 Hektare, 13 persen atau 2.690 Hektare di antaranya berada di wilayah BAT. Dari segi luas areal, BAT masih di bawah Kecamatan Batang Alai Utara (BAU) yang memiliki 3.085 Hektare kebun karet.

"Namun untuk tingkat produksi, kebun karet di BAT mampu menghasilkan 2.139,49 ton per tahun dan merupakan yang tertinggi se-HST," ujar Kepala Bidang Perkebunan, Dipertabun setempat, H Sofyan.

Berdasarkan hasil Riset Pengelolaan dan Pengembangan Hasil Hutan Non Kayu yang dilakukan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan tahun 2006 lalu, tercatat hampir seluruh penduduk BAT memiliki usaha utama sebagai petani karet.

"Dari 11 Balai Adat yang tersebar di empat desa di BAT, hanya tiga Balai yang penduduknya memiliki usaha utama sebagai petani padi sawah," ujar Koordinator LPMA Borneo Selatan, Juliade.

Mereka yang memiliki usaha utama sebagai petani padi sawah itu berada di Balai Juhu dan Haraan Paniyungan di Desa Juhu serta penduduk Balai Haraan Kiyu di Desa Hinas Kiri.

Sedang penduduk di Balai Apari dan Muara Linau di Desa Pambakulan memiliki dua usaha utama yaitu sebagai petani padi sawah dan karet.

Sementara, penduduk di Balai Batu Kambar dan Kiyu di Desa Hinas Kiri, penduduk di Balai Atiran, Kalampayan, Banyu Panas dan Sumbai di Desa Atiran, seluruhnya memilliki usaha utama sebagai petani karet.

Wilayah HST, khususnya BAT, sebenarnya memiliki kandungan potensi kekayaan alam yang berlimpah ruah. Berdasarkan data Dinas Perindustrian Pertambangan dan Energi setempat, sedikitnya terdapat 8.469.000.215 ton cadangan marmer di wilayah yang dihuni oleh mayoritas masyarakat adat Dayak Meratus itu.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pusat Sumberdaya Geologi (PSG), Departemen Pertambangan dan Energi Jakarta, BAT juga memiliki kandungan batu bara sebanyak 15 juta ton.

Kandungan batu bara yang terletak di Desa Hinas Kiri itu berada pada kemiringan 70 derajad dengan nilai panas antara 5.000 hingga 6.000 Kcal per kilogram. Dengan kandungan belerang sebanyak 0,5 persen dan 5 persen abu, batubara di daerah itu memiliki ketebalan 1 meter hingga 20 meter yang terdiri dari lima lapis.

Namun masyarakat adat Dayak Meratus di sana tidak tertarik untuk melakukan eksploitasi terhadap potensi kekayaan sumber daya alam tersebut. Mereka lebih tertarik 'mamantat gatah batang para' dan menolak dengan keras segala aktivitas pertambangan.

"Pertambangan tidak akan membuat kami kaya, tetapi justru akan merusak sumber mata pencaharian selama ini. Semua akan habis percuma dan tak ada lagi warisan untuk anak cucu kelak bila ada pertambangan di sini," ujar Julak Maribut seraya mengepulkan asap rokok kretek murahan.

Sebuah ketegasan sikap yang di pandang pengamat sosial budaya dan politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarmasin, Taufik Arbain sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat adat Dayak Meratus.

"Mereka mampu memilah dan memilih antara mana yang pantas dan tidak serta mana yang harus dilakukan dan tidak, untuk kelangsungan hidup sekaligus menjaga keseimbangan alam. Gambaran tingkatan toleransi yang tinggi ketika mereka sangat menghargai kelangsungan generasi penerus," katanya.

Belum Optimal
Namun sayangnya, di tengah kearifan masyarakat Adat Dayak Meratus untuk tidak mengeksploitasi sumber daya alam, pemanfaatan potensi karet ternyata juga masih belum optimal.

Getah karet hanya diolah secara tradisional dalam bentuk 'lump' (karet beku) yang bila dijual harganya masih rendah karena kualitasnya berada di bawah getah olahan dalam bentuk 'Rubber Sheet Smoke' (RSS) atau oleh masyarakat setempat disebut 'gatah lambaran'.

Bahkan tak jarang sebagian petani karet di BAT menjual hasil sadapan mereka dalam bentuk 'lateks' (karet mentah) yang nilai jualnya sangat rendah.

"Karet dalam bentuk 'lateks' biasanya dijual petani karet yang bekerja 'mamantat' di kebun orang lain," Juliade menjelaskan.

Berdasarkan data Dipertabun HST, saat ini harga karet di tingkat petani untuk jenis RSS sebesar Rp22.500 per Kg, Rp8.500-Rp9.500 untuk jenis 'lump' dan Rp2 ribu untuk jenis 'lateks'.

Teknik pengolahan tradisional, berpengaruh terhadap kualitas karet hasil olahan. Masih banyak petani yang menggumpalkan karet menggunakan tawas, air aki, dan TPS, padahal itu dapat merusak mutu.

Karet hasil olahan juga masih banyak yang mengandung bahan pengotor seperti tanah, lumpur, ranting dan daun kering. Kebiasaan masyarakat setempat yang merendam hasil karet olahan, juga membuat kadar air meningkat membuat kualitasnya rendah dan berimbas pada rendahnya harga.

"Bahkan ada saja petani berbuat curang dengan memasukkan plastik berisi air ke dalam gumpalan karet beku dengan tujuan agar lebih berat saat ditimbang," katanya menyayangkan.

Kondisi seperti itulah yang membuat perusahaan ban multinasional seperti Bridgestone, Michelin dan Goodyear, pada tahun 2009 lalu sempat lebih memilih membeli karet dari negara lain. Dan bahkan nyaris terjadi penolakan terhadap karet Indonesia.

Untuk itu, Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo), selaku asosiasi yang menaungi para pengusaha karet, merasa perlu mengeluarkan pemberitahuan.

Dalam pemberitahuan itu disebutkan, pengusaha karet jangan membeli bahan olah karet (Bokar) yang mengandung bahan pengotor seperti tanah, ranting, daun, lumpur, dan lain-lain. Pengusaha juga diimbau untuk tidak membeli karet yang bukan berasal dari pohon 'Hevea Brasiliensis'.

Bokar yang dibeli hanya digumpalkan atau dibekukan dengan asam semut (format) atau bahan penggumpal yang direkomendasikan oleh lembaga penelitian yang kredibel. Disebutkan pula, pengusaha hanya boleh membeli karet yang tidak direndam dalam air.

Pemberitahuan yang dikeluarkan Gapkindo sepertinya tidak main-main. Karena Gapkindo juga menyertakan sanksi terhadap pengusaha yang melanggar dengan ancaman akan dicabut Sertifikat Penggunaan Tanda SNI atau pencabutan Sertifikat Sistem Manajemen Mutu ISO 9000 series.

Bukan hanya pengusaha karet, pengumpul karet pun diancam pidana penjara maksimal lima tahun dan denda paling banyak Rp dua milyar rupiah. Ketentuan itu sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 18 Pasal 50 Ayat 1 tentang Perkebunan.

Miliaran Rupiah Dari Karet
Petani karet di BAT terdiri dari tiga kategori. Pertama adalah mereka yang memiliki kebun sendiri, tidak memiliki kebun tapi mengerjakan milik orang lain dan tidak memiliki kebun dan berprofesi sebagai buruh.

Buruh penyadap karet biasanya mengerjakan kebun milik siapa saja, sedang mereka yang mengerjakan kebun orang lain dengan sistem pinjam pakai bekerja di satu kebun saja dan disebut 'pangangarun'.

Sistem pinjam pakai kebun karet itu disebut dengan istilah 'mangangarun atau mangaruni'. Pada sistem ini, hasil karet dibagi antara pemilik dengan 'pangangarun' dengan perhitungan 30 persen untuk pemilik dan 70 persen untuk 'pangangarun'.

Sistem ini dijalankan atas dasar kepercayaan. Terkadang, pemilik kebun mengharuskan 'pangangarun' menjual hasil kebun kepada mereka sehingga besaran produksi dapat dikontrol dengan jelas.

Penjualan hasil karet tidak dilakukan langsung ke pabrik pengolahan tetapi melalui jasa makelar sebagai pengumpul. Transaksi kebanyakan dilakukan di dalam wilayah desa atau Balai Adat masing-masing karena para pengumpul biasanya adalah penduduk setempat.

"Sebuah Balai yang mampu menjual hasil di wilayahnya sendiri menunjukkan akses pasar yang baik karena masyarakat dimudahkan dalam menjual hasil kebun mereka," kata Juliade.

Para pengumpul di tingkat desa atau Balai Adat kebanyakan adalah pemilik kebun dalam jumlah besar yang meminjamkan sebagian kepada kerabatnya, juga tidak semuanya menjual karet langsung ke pabrik. Sebagian dari mereka ada yang menjual lagi kepada tengkulak dari desa lain atau dari kota.

Rantai perdagangan seperti itu dapat terjadi karena kemudahan akses jalan, meski tidak semuanya dalam keadaan mulus.

Data LPMA Borneo Selatan dari hasil Riset Pengelolaan dan Pengembangan Hasil Hutan Non Kayu Tahun 2006 menyebutkan di BAT terdapat satu ruas jalan aspal, empat ruas jalan semen dan lima ruas jalan setapak yang bisa dilalui kendaraan.

Masih berdasarkan hasil riset tersebut, hasil dan jumlah hari 'mamantat' biasanya berbeda antara saat musim hujan dengan musim kemarau. Saat musim hujan, hasil 'mamantat' per hari diketahui 136 persen lebih banyak dibandingkan hasil 'mamantat' di saat musim kemarau.

Akan tetapi, jumlah hari saat 'mamantat' di musim hujan seringkali hanya dapat dilakukan satu kali sedang saat musim kemarau bisa sampai tiga hari dalam satu minggu.

Dengan perhitungan musim hujan bisa mencapai delapan bulan dan kemarau bisa mencapai empat bulan lamanya, diketahui jumlah hari 'mamantat' berjumlah 74 hari dan menghasilkan 3.746 Kg per harinya untuk total seluruh petani karet yang ada di sana.

Bila dikalikan dengan harga karet saat itu yang hanya Rp4 ribu per Kg, maka dalam satu tahun petani karet di BAT mampu menghasilkan Rp1,2 Miliar.

Bila dikalikan harga 'lump' terendah saat ini, dengan kisaran jumlah hari dan hasil yang sama, maka hasil yang di dapat dalam satu tahun adalah sebesar Rp2,4 Miliar atau per satu orang petani karet mampu menghasilkan uang sebesar Rp888 juta per tahun.

Sebuah angka yang fantastis dan dapat dipastikan hasil sebenarnya justru lebih dari Rp2,4 Miliar tersebut. Karena patokan hasil dan jumlah hari masih mengacu pada hasil riset 2006 atau sudah tertinggal empat tahun yang lalu.

Kepastian bahwa hasil itu lebih besar lagi dapat ditunjang oleh berbagai upaya yang dilakukan Dipertabun setempat dalam mengembangkan potensi karet, khususnya bibit unggul.

Data Pengembangan tahun 2009 menyebutkan, di HST terdapat 5.500 Hektar lahan yang sangat potensial untuk pengembangan karet bibit unggul, yang sebagian berada di wilayah BAT.

"Di BAT tercatat memiliki potensi luas lahan terbesar, yaitu seluas 885 Ha dan pengembangannya sudah mulai dilakukan sejak 2007," ujar H Sofyan.

Secara keseluruhan, sejak 2007 lalu, Dipertabun HST mampu melakukan pengembangan seluas 1.500 Hektare dari total keseluruhan luasan potensi lahan yang ada. Begitu pula pada tahun 2008 dan tahun 2009, berturut-turut telah dilakukan pengembangan bibit karet unggul seluas 1.500 Ha.

Tahun 2010 ini, telah dilakukan upaya pengembangan bibit karet unggul di lahan potensial yang ada dengan total seluas 1.000 Hektar.

Bukan hanya itu, juga dilakukan optimalisasi dan pembangunan jalan produksi perkebunan untuk menunjang kelancaran arus pendistribusian hasil kebun, khususnya karet.

"2010 ini, diprogramkan pembangunan enam jalan produksi perkebunan di lima kecamatan," katanya.

Kenyataan tentang upaya pengembangan dan optimalisasi jalan produksi perkebunan yang telah dilakukan, tentu berimbas langsung pada peningkatan luas lahan dan tingkat produktivitas.

Belum lagi penerapan teknologi pengolahan yang coba diterapkan kepada petani karet melalui penggunaan 'Deorub' sebagai bahan pengolah karet ramah lingkungan, yang mampu mempercepat waktu pengeringan dan pembekuan "blanket" sehingga sangat efisien.

Saat ini, di seluruh wilayah kecematan di HST telah berdiri kios-kios khusus penjual Deorub sehingga petani karet sangat dimudahkan dalam upaya peningkatan mutu hasil karet olahan.

Karena itulah, sangat mungkin bila untuk wilayah BAT saja hasil olahan karet bisa lebih dari Rp2,4 Miliar per tahun. Mungkin saja Rp3 Miliar, Rp4 Miliar atau bahkan Rp5 Miliar dan itu baru untuk wilayah BAT saja.

Tak bisa dipungkiri memang, bila getah dari Meratus sungguh luar biasa.



Ibnu Hajar Dari Sudut Pandang Yang Berbeda

Mei 6, 2009 oleh myrasta

Pengantar:

Aku masih ingat betul. Dalam buku sejarah, sejak aku duduk dibangku SD hingga SMU, sepak terjang Ibnu Hajar selalu digambarkan dan dikatakan sebagai “Penghianat”dan “Pemberontak”. Namun anehnya, almarhumah ibuku justru menceritakan hal sebaliknya. Ibu yang seperti juga Ibnu Hajar, adalah urang asli Kandangan. Meski menurut pengakuannya tidak pernah bertemu langsung, namun dengan lugas ibu bercerita tentang suasana tempo doeloe kala pasukan yang dipimpin Ibnu Hajar meluluhlantakkan pasukan kolonial Belanda. Bahkan, dengan lantang ibuku pernah berkata, “Pemerintah kita telah melakukan kesalahan besar!”.

Wahai, akupun menjadi bingung. Untuk mendebat ibuku dengan pengetahuan yang didapat dari buku sejarah, jelas tak mungkin. Karena dibuku-buku sejarah itu hanya tertulis, “Ibnu Hajar Pemberontak” dan “Ibnu Hajar Penghianat”. Tidak kurang, tidak lebih. Titik.

Nyaris tidak ada literatur yang mengupas sepak terjang Ibnu Hajar secara keseluruhan. Ada memang, seperti yang ditulis Van Dijk, misalnya. Tapi kenyataannya, tulisan itupun menyudutkan dan cenderung menyimpang dari realita sejarah yang terjadi di bumi Antaluddin (sebutan untuk Kabupaten Hulu Sungai Selatan). Karena pada tulisannya, penulis Belanda yang nota bene pernah menjajah negara kita itu, dengan semena-mena menghubungkan Ibnu Hajar dengan agama.

1994, pertengahan. Saat melaksanakan Rain Forest Expedition bersama kawan-kawan Mapala Fisipioneer, FISIP UNLAM Banjarmasin, aku bertemu seorang mantan anak buah Ibnu Hajar. Satu malam penuh kami berbincang tentang sang tokoh.

Kini, 14 tahun setelah pertemuan itu, aku baru bisa menuangkannya dalam bentuk tulisan. Salah satunya, karena kini aku tinggal di Kota Barabai yang hanya berjarak sekitar 40Km dari Kota Kandangan. Hal itu memudahkan aku untuk melakukan investigasi tentang sosok Ibnu Hajar di kota kelahirannya.

Selain untuk Sinar Kalimantan, tulisan ini kupersembahkan untuk ibunda tercinta, Alm Bariah. Syukurlah dahulu aku tidak mendebat ibu. Karena kini ku tahu, ternyata yang ibu katakan dulu tidak salah….

* * *


Pahlawan Yang “Dinodai”

Bagian pertama

Kemerdekaan bangsa, awal kepahitan. Dilucuti, ditipu dan tertipu.

1960, disuatu siang. Dari pinggiran hutan dikaki pegunungan Meratus, jauh dari keramaian Kota Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, terdengar rentetan bunyi senjata yang ditembakkan.

Kaderi meloncat kaget. Keterkejutan membuatnya tak lagi sempat meraih senjata. Pikirannya hanya satu, menyelamatkan Ainah, istrinya. Cepat diraihnya tangan Ainah dan menariknya, berlarian diantara desingan peluru. Ainah yang berlari setengah terseret, tak sempat untuk sekedar protes. Ia hanya bisa memegangi sarungnya yang nyaris melorot.

Sambil meneriakkan Allahu’akbar, Kaderi terus menyeret istrinya. Melesat meniti sebatang kayu yang melintang diatas sungai kecil, masuk kedalam lebatnya hutan. Tidak, Kaderi tidak berlari, lebih tepat bila dikatakan ia sedang terbang. Hanya saja lebih rendah.

“Hanya Allah yang bisa menyelamatkan kami,” menerawang mata tua Kaderi mengingat peristiwa puluhan tahun silam.

Itulah penggalan cerita Kaderi, salah seorang anak buah Letnan Dua Ibnu Hajar, Komandan Pasukan Penggempur Divisi IV ALRI Pertahanan Kalimantan, yang dikemudian hari, tanpa ampunan dicap sebagai pemberontak oleh pemerintah.

Cerita itu sendiri dituturkan Kaderi sekitar pertengahan 1994. Ketika secara tak sengaja bertemu di rumahnya, di Desa Hampang, Kecamatan Batu Licin, Kabupaten Tanah Bumbu. Saat bertutur, ia berusia 82 tahun. Bisa jadi kini Kaderi telah tiada. Namun kisahnya tentang keheroikan seorang Ibnu Hajar, tak lekang dimakan waktu.

Semalam penuh Kaderi berkisah tentang sang Komandan yang sangat diseganinya. Raut mukanya memerah, ketika mengingat betapa oleh pemerintah Ibnu Hajar dicap sebagai pemberontak.

“Beliau tinggi besar, berkulit putih bersih. Seluruh badannya ba-rajah (dipenuhi rajah, red). Beliau bukan pemberontak! Beliau menjunjung tinggi syariat Islam dan kecewa atas kebijakan Soekarno dengan langkah demobilisasi yang tidak adil,” berkata Kaderi dengan lantang. Luar biasa, perkataan itu keluar dari mulut seorang warga biasa yang tinggal ditengah hutan, jauh dari peradaban modern.

Melihat jauh kebelakang, pasca kemerdekaan Republik Indonesia, sejarah banua ini mencatat sepak terjang para pejuang yang tergabung dalam Divisi IV ALRI. Dalam opreasi militernya, mereka berhasil membuat pemerintah Belanda merasa terancam. Kekuasaan dan pengaruh mereka, mencapai jauh kepelosok dan terasa hingga ke Banjarmasin. Keadaan ini, membuat Belanda kesulitan membuka hubungan dengan Pelabuhan Udara Ulin (Bandara Samsyudinnor sekarang, red).

Keberhasilan Divisi IV ALRI tak bisa dipisahkan dari peran tokoh-tokohnya, seperti Hasan Baseri, H Aberani Sulaiman, Gusti Aman, Aria, dan Budhi Gawis. Selain itu, terdapat nama-nama lain seperti Ibnu Hajar, H Damanhuri, Martinus, Daeng Lajida, Rusli Panangah dan Abdurrahman. Mereka-mereka inilah para komandan pasukan penggempur dari Divisi IV ALRI.

10 November 1949, atas kebijakan pusat Divisi IV ALRI dirubah menjadi Divisi Lambung Mangkurat. Hasan Baseri kala itu, tetap sebagai komandan. Namun, perubahan Divisi IV ALRI menjadi Lambung Mangkurat, membuat posisi Hasan Baseri mengalami mobilitas vertikal yang menurun.

Walaupun tetap sebagai komandan, Hasan Baseri tidak menjadi panglima untuk seluruh Kalimantan. Panglima Tentara dan Terotrium (VI) malah dijabat oleh orang pusat, Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala, mantan tentara KNIL. Sedang Hasan Baseri “hanya” dijatah sebagai Komandan Sub Wilayah III, yang meliputi wilayah Banjar (Dijk, 1983: 224).

Banyak mantan prajurit Divisi IV ALRI dimutasi ke Kalimantan Timur, Tenggara dan Barat. Sebagian bahkan dikirim ke Jawa Barat untuk menumpas Darul Islamiyah (DI). Selain itu, kader tokoh sentral banua (sebutan untuk wilayah Kalimantan Selatan, biasanya mengacu kepada penduduk, red) dicerai-beraikan ke berbagai daerah, agar tidak ada lagi sisa-sisa kewibawaan Divisi IV ALRI Pertahanan Kalimantan.

Termasuk Ibnu Hajar dan kawan-kawan, mereka disekolahkan militer ke Yogyakarta. Tragisnya, ternyata tempat itu telah ditutup setahun sebelumya. Entah kenapa pemerintah pusat mengirim pejuang ke sekolah yang sudah ditutup. Tipuan yang menyakitkan!

bersambung



Penggal Kepala Di Huma Atas Bukit

April 24, 2009 oleh myrasta

rumah-keluarga-muhtar-di-desa-papagaran2

harni memperlihatkan foto sang korban muhtar


Bagian Kedua

Berebut tanah garapan. Suka mengakui hak orang. Sok jago, kebal dan ditakuti. Perkelahian dianggap biasa.

Betapa kecewanya wanita tua itu ketika Harni pulang dengan tangan hampa. Walau Muhtar hanya menantunya, namun raut wajah tuanya tak mampu menyembunyikan rasa sedih dan kecewa.

“Saya sudah berusaha mencari sampai jauh ketengah hutan, tapi kepala itu tak jua ditemukan. Mungkin saja kepala itu sudah dipanggang dan dimakan oleh pelaku,” ujar Harni sambil meluruskan kaki dan menyeka keringat yang mengucur deras.

Desa Papagaran yang penduduknya mayoritas orang Dayak Meratus, memang masih kental dengan nuansa magis. Konon, agar tidak ditemui hantu korbannya maka sang pembunuh harus meminum darah korban. Dan agar sang korban tidak hidup lagi karena kekuatan ilmunya, maka kepala dan badan korban harus dipisahkan. Kepala itu harus dibawa ketempat yang jauh atau kalau perlu dimakan.

Walaupun nampak kecewa dan lelah, Harni dengan senang hati mengantar dan menunjukkan lokasi pembantaian. Untuk mencapai Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang berjarak sekitar 1,5Km, harus melewati jalan setapak didalam hutan dan menyusuri daerah perbukitan. Medan yang berat membuat perjalanan ini terasa sangat jauh. Jantung berdegup keras karena dipompa paksa demi perjalanan ini. Seakan mau pecah rasanya.

Setelah berjalan tertatih-tatih dan terjatuh lebih dari dua kali, sampailah disebuah bukit terbuka yang sedianya akan dijadikan ladang, tempat Muhtar bersama istrinya Siti Khadijah, berhuma. Namun sebelum impian untuk memanen padi dihuma atas bukit itu, malaikat maut keburu merenggut nyawa Muhtar diladang impian itu.

TKP pembunuhan terletak agak kebawah. Dekat tumpukan semak-semak dan ranting kering yang sedianya akan dibakar untuk perluasan lahan. Di TKP terlihat genangan darah yang sudah mengering, menyebarkan bau amis. Tak nampak ceceran darah disekitar tempat itu. Menandakan kepala Muhtar langsung putus hanya dengan sekali tebas dan tanpa perlawanan.

Menurut pengakuan Harni, perseteruan yang merenggut nyawa Muhtar dipicu perebutan tanah dengan SA, juga warga Papagaran yang masih kerabat jauhnya. Bukit yang akan dijadikan ladang oleh Muhtar adalah warisan ayahnya. Ketika akan dijadikan huma oleh Muhtar, malah diakui SA sebagai miliknya. SA yang marah melihat Muhtar menggarap tanah tersebut, lantas membunuhnya bersama-sama dengan ayahnya (AS) dan saudaranya (JJ).

Namun versi yang beredar dimasyarakat berbeda. Menurut warga, tanah itu adalah tanah adat yang boleh dikerjakan oleh siapa saja. Asalkan mau membuka dan membersihkannya, maka dia berhak atas tanah itu selama masih dikerjakan. Pengakuan Harni atas tanah itu sebagai warisan pastinya tidak bisa dibuktikan. Karena penguasaan atas tanah didesa itu tidak dilengkapi dengan sertifikat ataupun sekedar selembar surat segel.

Menurut informasi warga, tanah seluas kurang lebih 0,5 hektar yang akan ditanami padi oleh Muhtar, sedianya akan digarap SA. Dengan susah payah ia membuka dan membersihkan bukit itu. Namun sebelum ditanami padi, Muhtar mendahuluinya. Dan kejadian ini bukan yang pertama kalinya. Setidaknya, menurut warga, sudah tiga kali Muhtar mengakui sesuatu milik SA sebagai kepunyaannya.

“Sudah menjadi rahasia umum tentang kelakuan Muhtar yang suka mengakui sesuatau yang bukan haknya. Tanah, karet, pohon durian dan lain-lain, sering diakui sebagai miliknya. Bukan hanya diwilayah Papagaran, bahkan diwilayah lain seperti di Patikalainpun diakuinya,” ujar salah satu warga dengan nada jengkel.

Atas kelakuan Muhtar, warga hanya bisa memendam rasa jengkel dan marah. Muhtar yang seorang pendatang itu dikenal sebagai pribadi yang temperamental. Diduga, ia punya banyak untalan (ilmu kebal – red), sehingga banyak warga yang enggan berurusan dengannya. Tapi, Kamis rupanya hari sial bagi Muhtar. Ditangan SA, pada hari itu ia meregang nyawa.

Pernyataan warga tampak ada benarnya. Setidaknya hal itu terlihat dari keengganan warga untuk ikut membantu mencari kepala Muhtar. Warga terlihat tak acuh dengan peristiwa menggemparkan itu. Hanya Harni seorang diri yang tampak melakukan usaha pencarian. Sementara warga, tak seorangpun ikut membantu. Mereka lebih memilih mengerjakan ladangnya atau duduk-duduk diteras rumah sambil bergunjing.

Secara psikologis, peristiwa mutilasi yang tak biasa ini setidaknya akan menimbulkan terror, ketakutan dan menggemparkan warga Desa Papagaran. Namun kenyataannya, warga tenang saja seakan tak terjadi apa-apa. Boleh jadi karena memang rasa ketidaksukaan terhadap sosok Muhtar atau rasa jengkel mereka yang seakan terhapuskan.

M Husni Thambrin S.Sos, Camat Hantakan berpendapat lain. Walaupun berdasarkan informasi yang didapatnya dari kepala Desa Papagaran, ia tidak membantah kelakuan Muhtar. Namun sikap warga yang apatis dipandangnya lebih karena masyarakat Dayak Meratus sudah terbiasa dengan peristiwa perkelahian.

“Masyarakat biasa dengan kasus seperti ini. Walaupun memang untuk kasus mutilasi baru ini saja. Namun perkelahian cenderung dipandang biasa. Karena itu masyarakat memandangnyapun biasa pula,” ujarnya.

Terlepas dari motiv dibalik mutilasi itu, siapa yang benar dan siapa yang salah ataupun sikap apatis yang ditunjukkan masyarakat, berhati-hatilah bila ke Desa Papagaran. Bukan karena warganya tidak ramah atau jalan yang tidak aman untuk dilalui, tapi karena kondisi jalan yang sangat berat. Selip sedikit saja maka bersiaplah masuk jurang. Seakan nyawa jadi permainan dijalan ini. Jangan lupa untuk membawa cadangan bensin bila berkendaraan kesana. Karena harga bensin di Papagaran, mencapai Rp 12ribu perliternya.

Tamat



Belati Dibalik Pinggang

April 29, 2009 oleh myrasta

Pengantar:

Etnis Banjar, terdiri dari beberapa sub etnis. Memang betul bila etnis Banjar itu sendiri adalah etnis Dayak juga. Namun seiring masuknya Islam ke Kalimantan Selatan, etnis Dayak yang memeluk agama Islam disebut orang / urang Banjar. Etnis Dayak yang mengalami transpormasi budaya ini, pada perkembangannya berbaur melalui perkawinan dengan etnis lain seperti melayu, misalnya. Sehingga, etnis Dayak ini akhirnya membentuk etnis baru yang disebut etnis Banjar.

Sub-sub etnis Banjar dinamakan berdasarkan nama wilayah, seperti Kalua, Amuntai, Halabiu, Nagara, Kandangan dan Rantau. Masing-masing memiliki ciri khas tersendiri, terutama dari segi sifat dan tingkah laku.

Sub etnis Rantau dan Kandangan, dikenal bertemperamen keras. Bagi orang yang baru pertama ke Kota Rantau dan Kandangan, akan mengira orang-orang didua kota ini pemarah semua, karena gaya dan alunan bicara mereka yang keras dan nyaring. Bila kedaerah pedesaannya, lebih mengerikan lagi. Karena masyarakat pedesaan di dua kota itu (sebagian masyarakat perkotaannya masih menganut budaya ini), senantiasa menyelipkan senjata tajam bila keluar rumah.

Namun dibalik semua itu, orang Rantau dan Kandangan juga dikenal memiliki sikap dan pendirian yang keras. Tingkat solidaritas, kekerabatan, sosial kemasyarakatan dan kekeluargaan mereka sangat tinggi.

Aku sangat bersyukur ketika suatu hari redaksi memerintahkan untuk menulis tentang budaya dan perilaku membawa senjata tajam pada orang Rantau (untuk orang Kandangan ditulis Fatoy, rekan wartawan Sinar Kalimantan yang bertugas di kota itu). Namun karena orang Rantau dengan orang Kandangan sebenarnya satu sub etnis, maka tugas kami bagi. Aku menulis tentang perilakunya sedang Fatoy menulis tentang makna sajam bagi orang Kandangan dan Rantau.

Dengan segala keterbatasan dan tanpa maksud menghakimi, menggurui ataupun men-judge salah satu sub etnis tertentu, tulisan ini kubuat. Bahan tulisan kuperoleh dari hasil investigasi ke Kota Rantau dan sekitarnya selama tiga hari serta wawancara dengan nara sumber.

Agar tidak terasa membosankan, tulisan kubagi dalam dua bagian. Teman-teman yang membaca tulisan ini, mohon bisa memberikan kritik dan saran. Terima kasih.

* * *

*Sajam Dalam Perspektif Budaya dan Perilaku Urang Banua

Bagian Pertama

Diranah Banjar, terdapat beberapa sub etnis dengan budaya, perilaku dan kearifan lokal masing-masing. Sudah jamak disini, ketika muncul ketentuan baku yang entah mendapatkan legalitas dari mana, tentang pembagian keahlian berdasarkan sub etnis dan perilaku yang dianut. Bagaimana dimasyarakat Banjar, urang (penduduk, red) Rantau dan Kandangan diidentikkan sebagai pelindung, urang Barabai, Amuntai dan Nagara sebagai kaum pebisnis, urang Kelua sebagai ahli perkebunan dan urang Martapura sebagai imam.

Semua tak lepas dari budaya, perilaku dan kearifan lokal yang dianut setiap sub etnis yang ada. Salah satunya adalah perilaku (atau budaya?) urang Rantau dan Kandangan yang tak terpisah dari senjata tajam (disini dikatakan sebagai belati, karena sajam bermakna universal atas senjata, sedang urang kita banua mengistilahkan sajam yang sering dibawa, lebih spesifik lagi dengan sebutan belati atau balati bila dilafalkan dalam bahasa Banjar Pahuluan).

Sebelum berbicara tentang membawa belati sebagai suatu perilaku dan budaya masyarakat, perlu digarisbawahi bahwa urang Rantau dengan urang Kandangan adalah satu kesatuan sub etnis Banjar. Hal itu dibuktikan dengan kesamaan atau kemiripan budaya, bahasa dan ciri fisik.

Mereka menjadi berbeda ketika terpisahkan oleh batas teritorial administratif pemerintahan akibat dari pemekaran wilayah. Dari asal katanya, Rantau yang berarti perantauan, terlihat bila daerah itu dihuni oleh sub etnis terdekatnya yaitu Kandangan, bukan sub etnis yang berbeda. Atau misalnya dari segi bahasa, dimana terdapat kemiripan antara bahasa urang Rantau dengan bahasa urang Sungai Raya, Kandangan, dengan ciri bahasa yang cepat, tinggi dan keras.

Dalam hal membawa belati pada urang Rantau dan Kandangan, disebabkan dua aspek yang saling berhubungan, yaitu sosiologis kultural dan geografis. Secara sosiologis kultural, urang Rantau dan Kandangan memiliki keterlambatan dalam hal transpormasi budaya. Keterlambatan itu sendiri, disebabkan letak geografis wilayah Rantau dan Kandangan yang lebih kedaratan atau pedalaman.

Etnis Banjar yang mendiami daerah pesisir, seperti Banjar sendiri, Nagara, Amuntai dan Alabiu, mengalami transpormasi nilai budaya yang lebih cepat. Karena merekalah yang pertama berinteraksi dengan pihak luar. Berbeda dengan urang Rantau dan Kandangan. Letak geografis yang lebih kedarat, membuat sub etnis ini mempunyai tatanan hidup lebih keras dan toleransi budaya lebih kaku.

Kondisi itu akhirnya membentuk pola dan tatanan hidup yang harus disesuaikan dengan kondisi alam. Hal tersebut berpengaruh langsung pada pola mata pencarian, yaitu berkebun, berhuma dan berburu. Pola itu akhirnya mengharuskan masyarakat dari sub etnis ini senantiasa berlaku protektif dengan membekali diri dengan senjata tajam.

Hal tersebut dikuatkan oleh pandangan dari H Rody Ariadi Noor, seorang tokoh masyarakat Kota Rantau. Dikatakannya, budaya membawa belati pada urang Rantau karena patokan harga diri yang sangat tinggi dan sikap protektif terhadap keluarga.

“Tingginya patokan harga diri pada urang Rantau, menjadikan mereka terkadang over protektif terhadap keluarga. Bila ada keluarga atau kawan yang diganggu orang, mereka siap tampil untuk membela. Ini salah satu penyebab budaya belati yang melekat pada diri urang Rantau,” ujarnya.

Letak geografis dan pola hidup yang keras, memunculkan sebuah konsep bubuhan (kekerabatan, red). Dimana konsep bubuhan ini hanya terdapat pada urang Rantau dan Kandangan. Sedang pada sub etnis Banjar yang lain, seperti sub etnis Banjar pesisir dan Banjar sendiri, mempunyai igelilter atau tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap pengaruh luar.

Tuntutan pola pencarian yang mengharuskan mereka berinteraksi dengan pendatang, membuat sub etnis ini lebih terbuka terhadap transformasi budaya. Selain itu, pada sub etnis Banjar yang nota bene adalah kalangan istana ini, mengharuskan mereka menganut budaya sopan santun yang lebih kental.

Pola hidup berburu dan berkebun pada urang Rantau dan Kandangan, menjadikan resestensi kehidupan mereka kental dengan budaya membawa senjata tajam, dalam hal ini belati. Namun penggunaan belati disini, lebih merujuk kepada upaya untuk survive, karena kondisi alam yang keras.

Hal itu diperkuat pernyataan Madi, seorang warga Rantau yang sering membawa belati. Menurutnya, budaya belati pada urang Rantau semata untuk menjaga diri. “Bagi urang Rantau, belati adalah teman. Bila tidak membawa belati seakan tidak berteman. Karena menurut keyakinan mereka, hanya belati yang mampu melindungi bila sesuatu terjadi. Sedang kawan bisa saja lari,” ujarnya.

bersambung



Sajam Dalam Perspektif Budaya dan Perilaku Urang Banua

Bagian Kedua

Budaya ini, dikalangan urang Rantau dan Kandangan boleh saja dianggap biasa dan bukan tabu, karena faktor-faktor tadi. Namun kondisi ini, bagaimanapun juga memunculkan paradigma baru dikalangan sub etnis Banjar lainnya. Karena mereka tak bersentuhan dengan budaya ini, maka orang yang membawa belati dianggap sebagai urang harat (orang yang hebat, red) atau wani (berani, red).

Pada urang Rantau dan Kandangan, terjadi penilaian terbalik. Di sub etnis ini, justru budaya membawa belati menandakan yang bersangkutan kada harat atau kada wani (tidak hebat, tidak berani, red). Dalam perspektif mereka, urang nang wani dan harat (orang yang berani dan hebat, red) tidak mengandalkan keberadaan belati. Karena pada urang harat dan wani, tercakup kemampuan akan Kuntau (semacam Pencak Silat, red), jagau (jagoan, pemberani, red) dan taguh (kebal, red), sehingga tidak tergantung pada keberadaan sebuah belati.

Aspek geografis yang membentuk pola hidup, dipandang pengamat Sosial Kemasyarakatan dari FISIP UNLAM Banjarmasin, Taufik Arbain, sebagai faktor dominan pembentukan karakter keras dan budaya belati pada sub etnis Banjar ini.

“Konsep bubuhan yang ada pada urang Rantau dan Kandangan, disatu sisi memunculkan sikap solidaritas yang sangat tinggi. Hingga pada masyarakat Banjar, muncul pribahasa samuak saliur (pribahasa Banjar, artinya kurang lebih sama dengan senasib sepenanggungan, red) dan makanan dimuntung gin diluak sagan kawan (makanan dimulutpun diberikan untuk teman, red) bagi urang Rantau dan Kandangan atau kada titik banyu diganggaman (istilah bahasa Banjar untuk orang yang pelit, red) bagi urang Halabiu,” ujar Taufik yang juga pengamat politik dan Ketua Litbang Dewan Kesenian Kalimantan Selatan.

Karakteristik alam yang keras membentuk jiwa, budaya dan perilaku keras dan tegas pada urang Rantau dan Kandangan. Konsep bubuhan dengan letak pemukiman yang berjauhan, mengharuskan mereka berbicara dengan keras, tegas dan nyaring.

Budaya belati dan tingkat solidaritas pertemanan yang tinggi dikalangan urang Rantau dan Kandangan, memang tak bisa dipungkiri. Berbeda dengan sub etnis Banjar pesisir yang lebih berorientasi kepada bisnis. Yang mana pada sub etnis ini lebih mengutamakan perhitungan untung rugi dan tawar menawar.

Budaya belati semakin konkrit manakala urang Rantau dan Kandangan dihadapkan pada masalah yang prinsifil dan bersinggungan dengan harga diri. Mungkin tak banyak yang tahu, bahwa bangsa Belanda hanya mempercayakan pembukaan lahan perkebunan tembakau, sekitar abad ke-18, di Sumatra kepada urang Kandangan saja. Bukan kepada urang Jawa, Sulawesi atau sub etnis Banjar yang lain. Bagaimanapun juga, Belanda mengakui kehebatan urang Kandangan dalam merambah hutan. Peristiwa itu akhirnya membuka jalan migrasi bagi sub etnis Banjar lainnya ke Tembilahan, Riau dan Malaysia.

Tapi karena kerasnya karakteristik dan ketegasan sikap urang Kandangan, mereka enggan menjadi pekerja yang berada dibawah kekuasaan. Hingga mereka lebih memilih sebagai pekerja tanpa ikatan.

Kekerasan dan ketegasan yang ditampil urang Rantau dan Kandangan pulalah yang akhirnya memicu terjadinya migrasi mereka kebeberapa wilayah, seperti ke Kota Gambut misalnya. Ketika ditempat asal dikuasai oleh satu pihak, mereka lebih memilih madam (pindah/migrasi, red) daripada tunduk pada kekuasaan tersebut.

Akhirnya mungkin dapat ditarik satu benang merah, dimana perilaku dan budaya belati pada urang Rantau dan Kandangan, terbentuk karena keharusan untuk survive yang disebabkan oleh faktor geografis. Dimana hal tersebut, akhirnya menjadikan mereka lebih lambat dalam menerima transformasi budaya luar.

Kekuatan paradigma itu akhirnya terbawa hingga sekarang. Pertentangan aturan yang dibuat pemerintah, tak sanggup melunturkan nilai budaya nenek moyang mereka. Karena peran orang tua bahari yang menyuruh anaknya untuk membawa belati bila bepergian, lebih kental dan lebih kuat tertanam dari pada dogma pemerintah, yang bagi sebagian mereka dianggap sebagai penguasaan atau penaklukan dalam bentuk baru.

“Bawa balati tu nah mun bajalan. Mun ada apa-apa ngalih kaina. Lain mun urang nang wani, ayuha kada bagagaman (Bawa belati bila mau bepergian. Susah nanti kalau ada apa-apa. Kalau orang yang berani tidak apa-apa pergi tanpa senjata),”. Inilah dogma terbesar dan mendasar hingga membuat budaya belati melekat dengan erat dikalangan urang Rantau dan Kandangan.

Tamat

Mulai bahari ai sdh nang ngarannya Kandangan pasti Kandangan Cingai.

Kabupaten paling tuha di kalsel adalah Kandangan.(Cek bila perlu bukti)

Brigjen H. Hasan Basri adlah Bapak Gerilya Se Kalimantan dan Pahlawan nasional kedua Kalsel sesudah Pangeran Antasari yg di akui pemerintah. Dan beliau org Kandangan.

Antasari ada di Banjarmasin, Antaludin ada di Kandangan.
Di Banjarmasin Texasnya ada di Kelayan,di hulu sungai Texasnya ada di Kandangan.

Proklamasi kemerdekaan KALSEL dibuat dan dibacakan di Kandangan.Karena Kandangan Kotanya para Pejuang.

Patung Tentara ada di Kandangan.(coba cek patung di kota-kota yang lain di Kalsel)

BARIKIN YANG TAK LAGI BERGEMA

Tahukah anda dengan musik Panting atau seni tradisional Banjar lainnya? Bila tidak, rasanya adalah hal yang wajar. Karena kini, music tradisional sudah sangat jarang diperdengarkan dan digelar, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST).

Menyedihkan memang. Karena ternyata, di HST terdapat sebuah kampung seni tempat lahirnya seni tradisional dan pekerjanya. Namun semua itu kini serasa tak lagi berarti, seiring tenggelamnya seni tradisional dari permukaan. Melalui tulisan ini, setidaknya aku dapat mengemukakan kegelisahan tentang terpuruknya seni tradisional, bahkan ditanahnya sendiri. Ah, panggung mungkin memang bukan untuk seni tradisional.

***

Kampung Seni Itu Mulai Sepi

….. dengan Bismillah kami ucapkan, ala sayang

Panting dikatik baadung tangan

Lagu dialun nang dibawakan, ala sayang

Kisahnya nasib marista badan …..

Alunan nada lagu berjudul Kilir-Kiliran itu mengalun. Perlahan, sendu diiringi dentingan dawai Panting yang dipetik. Membelah malam Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST).

Merupakan hal biasa bagi warga desa itu, ketika malam-malam mendengar alunan musik tradisional. Dari yang mendayu-dayu seperti alunan musik Panting, hingga yang rancak seperti musik penggiring Wayang Gung (Wayang Orang; sebagian orang menyebutnya Wayang Gong-red) atau Kuda Gipang (juga dikenal dengan istilah Kuda Gepang-red). Alunan musik tradisional dimalam hari, bak tembang pengantar tidur bagi mereka. Begitulah, hal biasa oleh warga Desa Barikin yang mungkin tak biasa bagi sebagian orang.

Bagaimana tidak. Musik dan seni tradisional seperti mendarah daging bagi urang Barikin. Sejak Sultan berkuasa di tanah Banjar ini, seni begitu lekat dikehidupan mereka. Hingga kini, masih banyak dari mereka yang menggantungkan hidup dari berkesenian. Mulai menjadi Pamandaan, Pajapinan, Pawayangan, pembuat atau pengrajin alat musik tradisional, hingga mereka yang sekedar maangkat anggung (tukang bawa-red) peralatan musik itu.

Barikin, desa yang berjarak kurang lebih 20 Km dari Kota Barabai ke arah Banjarmasin itu, sedari dulu memang dikenal sebagai kampung seni. Tempat lahirnya seniman-seniman berbakat dibidang seni tradisional. Dari kampung itu pulalah lahir kesenian tradisional baru nang bangaran (yang dinamakan) musik Panting. Dari urang Barikinlah, tercipta rangkaian-rangkaian indah nada lagu musik Panting.

Era tahun 70-an ke bawah, seni tradisional berada dipuncak keemasannya. Ketika itu, musik dan seni belum memasuki rumah penduduk. Desa Barikin menjadi terkenal ke seantero negeri, bukan hanya Kalimantan Selatan, tapi hingga ke provinsi tetangga.

Nama Barikin sendiri terilhami polah warganya yang bila akan berangkat ke kampung atau daerah lain untuk memenuhi undangan pentas, senantiasa barikin (berhitung-red) terlebih dahulu. Banyak hal yang harus mereka rikin (hitung-red) dan pertimbangkan. Seperti hari baik untuk berangkat, untung rugi, musibah, dan lain-lain (disebut pula dengan istilah Babilangan-red). Hal itu dilakukan, karena dahulu transportasi tidak semudah sekarang. Hingga akhirnya kampung yang dulunya bernama Pinang Anggang, lalu berubah menjadi Campaka Baris itu, lebih dikenal dengan sebutan Barikin. Dan itu melekat hingga sekarang.

Kesenian tradisional di Barikin tempoe doeloe, ada dan berkembang seiring dengan datangnya budaya Gamelan atau Karawitan dari kerajaan Banjar. Menurut seorang tokoh seni Desa Barikin, Abdul Wahab Syarbaini, peristiwa itu seiring dengan pembangunan Candi Agung di Nagara Dipa atau Amuntai sekarang.

“Kala itu kesenian yang berkembang seperti wayang kulit, Wayang Gung, Kuda Gipang, tari tradisional, Japin, Mamanda dan seni yang mengandalkan gerak. Musik dan lagu tradisional, baru dikenal tahun 1976,” ujar pemilik Sanggar Seni Ading Bastari ini.

Musik dan lagu tradisional yang dimaksud Sarbai, begitu Syarbaini biasa disapa, adalah musik Panting. Dimana pada musik Panting, lebih mengandalkan suara musik dan lagu, bukan gerak seperti Wayang Gung atau Japin, misalnya.

Wayang Gung, adalah sebutan untuk seni Wayang Orang. Namun meskipun sama-sama dilakonkan oleh manusia, Wayang Gung berbeda dengan Wayang Orang. Perbedaan itu terletak pada pakem yang dibawakan. Bila Wayang Orang yang dimainkan adalah pakem Mahabratha dengan Pandawa Limanya, maka Wayang Gung biasa dibawakan dengan pakem Ramayana. Alur ceritanya, mengambil setting permusuhan antara kerajaan Pancawati pimpinan Prabu Rama dengan kerajaan Alengka yang dipimpin oleh Rahwana, Sang Raja Angkara Murka.

Begitu juga dengan Wayang Kulit, ternyata versi Banjar tidak sama dengan Wayang Kulit versi Jawa atau Bali. Meskipun pakem yang dibawakan cenderung sama, tetapi pada Wayang Kulit Banjar memiliki keistemewaan tersendiri. Penokohan dan alur cerita lebih fleksibel dan kreatif. Sang empunya hajat yang menggelar pertunjukan wayang, bisa memesan dan membuat sendiri alur cerita. Dengan catatan, tidak keluar dari pakem yang ada. Cerita dengan alur seperti itu disebut Carangan.

Begitu pula dengan penokohan. Pada Wayang Kulit Banjar dikenal tokoh Kaki atau Rikmabrangka. Tokoh itu dimunculkan dan diambil dari tokoh atau tacut (jagoan-red) daerah tempat pertunjukan wayang digelar. Penggambaran karakter Rikmabrangka bisa berupa tacut yang jagoan, pemabuk, pembuat onar, penjudi, dan segudang sifat jahat lainnya. Namun adakalanya, Rikmabrangka diambil dari karakter seorang tokoh ulama, guru atau tokoh masyarakat setempat yang berpengaruh, arif dan bijaksana.

“Dengan begitu, warga yang menonton akan senang. Karena ditengah pertunjukan muncul seorang tokoh dari desa mereka. Terlebih sang tokoh, sangat bangga ditampilkan dalam bentuk wayang,” ujar Lufi, anak sulung Sarbai yang kini mewarisi bakat ayahnya.

Seni Kuda Gipang, kurang lebih dengan kesenian Jaranan di Jawa. Namun pada Kuda Gipang, alur cerita lebih fleksibel dan sering ada penokohan yang meramaikan dengan tingkah dan dialognya yang lucu. Kuda Gipang didukung sejumlah peralatan selain kostum, seperti Gamelan, Kida-Kida, Sabuk, Jamang, Cabang, Katupung, Babun, Panting Pambawa, Panting Panggiring, Panggulung, Biola, Tarbang Paningkah, Kaprak, Gong dan Suling.

Kesenian Japin, menurut Sarbai terbagi dua. Yaitu Japin Pesisir dan Japin Pedalaman. Japin Pesisir, lebih dikenal dengan sebutan Musik Gambus yang diiringi tarian. Lagu-lagu yang dibawakan, bernafaskan Islam. Sedang Japin Pedalaman, diakui Sarbai sebagai Japin yang dikenal masyarakat Banjar sekarang. Pada Japin Pedalaman, lagu-lagu yang didendangkan berupa tembang Melayu Banjar.

Tahun 1976, Sarbai dengan Sanggar Ading Bastarinya mencoba memainkan musik Japin tanpa diiringi tarian. Sebagai pelengkap, dinyanyikanlah tembang-tambang Melayu Banjar. Setelah dimainkan dan didengarkan, ternyata sangat menawan. Karena itulah, setahun kemudian pada sebuah resepsi perkawinan di Barikin, Sarbai kembali memainkannya.

Saat itu, hadir beberapa tokoh seniman Kalsel. Antara lain Yustan Azidin, Marsudi BA, H Anang Ardiansyah dan H Bahtiar Sanderta. Semua yang mendengar terkejut sekaligus terpesona. Alunan musik penggiring Japin dipadukan dengan lagu Melayu Banjar, ternyata nyaman ditelinga.

“Karena melodinya dimainkan dengan alat musik Panting, maka menurut Yustan Abidin kala itu, sebaiknya dinamakan Musik Panting,” Sarbai mengenang peristiwa itu.

Ditahun itu pula, musik Panting mulai diperdengarkan ke khalayak. Sebagai penggiringnya, dinyanyikan lagu-lagu Melayu Banjar Pahuluan yang berirama slow. Baru setahun kemudian, Sarbai menciptakan lagu khusus untuk musik Panting. Lagu-lagu itu memiliki ciri khas berupa pantun dan berisi nasehat.

Diawal perkembangannya, musik Panting dimainkan hanya dengan tiga alat musik. Yaitu Panting sebagai melodi, Babun (Gendang) dan Gong. Baru tahun 1979, peralatan itu diperkaya dengan Talinting, Giring-Giring, Kulimpai (ketiganya merupakan alat musik tradisional Dayak Meratus), Suling dan Biola.

Kesenian ini mengalami perkembangan pesat. Tahun 1980, ketika panggung dangdut mulai memasuki hajatan yang digelar, musik Panting beradaptasi dan dilengkapi dengan penggunaan sound system. “Tahun 1981, hampir tiap kabupaten di Kalsel memiliki kesenian Panting. Sejak itu hingga tahun 1985, Panting berada di masa kejayaannya,” mata Sarbai menerawang.

Berkat dukungan Pemerintah Provinsi melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalsel, tahun 1985 Panting mulai diajarkan dibeberapa sekolah. Namun sayangnya, kini Panting dan seni tradisional lainnya kurang diminati. Di Barikin sendiri, hanya bisa maju dengan tersendat. Generasi muda Barikin lebih tertantang untuk menaklukkan Play Stations dibandingkan seni tradisional. Seiring dengan itu, lekuk dan goyangan penyanyi dangdut Elekton, lebih disukai sebagai penyemarak hajatan.

“Dalam sebulan paling banyak dua kali tampil. Tidak seperti dulu yang dalam satu bulan terkadang penuh,” ujar Lufi, miris.

Kondisi itu diperparah dengan ketidakpedulian Pemerintah Daerah Kabupaten HST. Diakui Sarbai, hampir tak pernah ada kepedulian dalam bentuk apapun untuk para seniman Barikin. Tidak bantuan kostum panggung, alat musik, uang pembinaan ataupun sekedar sebuah gedung sebagai tempat berlatih. “Tempat latihan kami dirumah masing-masing dan terkadang di Balai Desa,” berkata Sarbai lirih.

Kepala Disporabudpar HST, Zain Jailani mengakui bila seni tradisional saat ini sulit untuk berkembang. “Kami juga menerima masukan dari para budayawan. Dari mereka, muncul keprihatinan dengan nasib seni tradisional kita yang terancam punah,” ujarnya.

Menurutnya, kepunahan itu bisa saja terjadi karena tidak adanya pewaris yang melanjutkan kesenian tradisional. Beberapa penyebab sulitnya seni tradisional berkembang, salah satunya adalah kurangnya minat generasi muda terhadap seni tradisional itu. Selain itu, Disporabudpar terkendala masalah kurangnya pendanaan yang dapat dialokasikan untuk mengayomi para seniman.

Dan, kloplah sudah. Kurangnya minat generasi muda ditambah ketiadaan pendanaan dari pemerintah daerah setempat, semakin menghunjamkan Barikin sebagai kampung seni kejurang paling dalam. Yang terdengar kini di Barikin, lebih banyak deru mesin kendaraan dan mesin pengolahan karet yang berlomba mencetak rupiah. Tak lagi seperti dulu, ketika malam menjelang di Barikin yang diselimuti alunan music tradisional. Ah, kampung seni itu kini mulai sepi…

Selasa, 2 Maret 2010

KULINER(WADAI, MAKANAN, MASAKAN) KHAS BANUA

1. HSS (Dodol, ketupat kandangan, lamang)
2. HST (Apam,kacang jaruk)
3. Tapin (Rimpi)
4. Banjar (Kalalapun)
5. Tabalong (Paliat)


OBJEK WISATA FAVORIT DI KALIMANTAN SELATAN

1. Pasar Terapung Banjarmasin
2. Jembatan Rumpiang Barito Kuala
3. Pantai Takisung Tanah Laut
4. Pantai Batakan Tanah Laut
5. Loksado HSS
6. Pendulangan Intan Cempaka Banjarbaru
7. Pagat HST
8. Mu'ui HST
9. Candi Agung Amuntai
10.Pantai Gedambaan Kotabaru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi AHU : Watak Simbol Intonasi Perangai Jingga

 Jumat, 22 Maret 2024 Cerita guramang alasan manis kian sinis watak simbolis kehendak penawar lara senarai kehendak intim suara nurani ego k...