Siapakah sebenarnya orang
yang benar-benar kaya di antara kita?
DALAM
sebuah bukunya, KH Mustofa Bisri bercerita tentang dua kakak-beradik yang
nasibnya jauh berbeda. Peruntungan dua bersaudara ini teramat jomplang.
Bagaikan matahari dengan
rembulan, bak siang dengan malam, tak ada sama sekali persamaan. Yang kakak
kaya raya, tapi yang adik miskin tak terkira.
Anehnya, si adik justru selalu
memberikan apa saja yang dimilikinya jika kebetulan ada orang lain yang lebih
membutuhkannya. Sedangkan si kakak tak pernah memberikan apa-apa kepada orang
lain dan bahkan selalu merasa dirinya belum cukup kaya.
Suatu hari si adik datang dengan
teramat geram. “Abang ini benar-benar keterlaluan. Aku, adikmu yang melarat
ini, tak pernah kau perhatikan. Jangankan diberi bantuan cuma-cuma berupa
sandang pangan, dipinjami uang untuk modal berdagang pun tak pernah abang
lakukan. Terus terang, belum pernah aku melihat orang sekikir abang,” ujarnya
dengan nada berang.
Tapi si abang malah menjawab
dengan tenang. “Kau yang keterlaluan, menuduh aku yang bukan-bukan. Aku tidak
kaya seperti yang kau kira, juga tidak pelit sebagaimana yang kau duga,”
ujarnya.
Setelah itu, sambil tersenyum
penuh kemenangan, si kakak menyatakan, jika ia punya kekayaan sampai Rp 1
miliar (ukuran kaya belasan tahun silam, pen) maka yang separonya akan
diberikannya kepada adiknya.
“Percayalah, kamu pasti aku beri
sebanyak setengah miliar. Coba, bagaimana mungkin kau bisa menuduh orang yang
memberimu sebanyak setengah miliar sebagai orang yang kikir,” katanya sambil
tertawa.
Si adik tentu saja tak mampu lagi
berkata. Ia lantas pamit sambil menggerutu di dalam hatinya yang paling dalam.
“Dasar pelit tak ketulungan, mau memberi saja menunggu sampai kaya raya tak
terkira,” batinnya.
***
Kisah di atas mengingatkan saya kepada seorang janda yang sehari-hari hidup
menderita. Hampir tiap hari ia meminjam uang kepada para tetangganya, sekadar
untuk membeli ikan dan beras satu dua kilogram.
Padahal, kakak sulungnya seorang
doktor dan pejabat ternama di pusat pemerintahan sana. Memang si kakak ini
belum bisa disebut kaya raya, tapi sekadar membantu menghidupi seorang adik
yang kebetulan menjanda apalah susahnya?
Tapi itu tentunya cuma satu
contoh kasus saja. Sebab, di sekeliling kita tak sedikit orang yang bersikap
serupa. Jangankan menolong lain orang, membantu keluarga sendiri saja selalu
penuh perhitungan.
Bahkan sering menyalahkan bahwa
keluarga yang kesusahan itu memang salahnya seorang, tak gigih menimba
pengetahuan dan tak penuh semangat melakukan pekerjaan. Bahkan, ada yang tega
menyebut kemiskinan seseorang karena kemalasan.
Soalnya adalah, kebanyakan orang
baru merasa berkewajiban membantu sesama jika merasa dirinya sudah benar-benar
kaya. Celakannya, kebanyakan orang baru merasa benar-benar kaya jika sudah
punya rumah mewah seperti istana, punya mobil lima buah, dan punya tabungan
bermiliar-miliar rupiah.
Padahal, sejatinya, orang yang
benar-benar kaya adalah orang yang mampu membantu apa saja kepada orang yang
benar-benar memerlukan pertolongan. Itu saja, sederhana.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar