Warga suku Dayak di Pegunungan Meratus,
Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) punya tradisi menyimpan
padi yang berorientasi pada antisipasi mandiri. Tempat penyimpanan atau lumbung
padi itu disebut lampau.
Sampai sekarang, tradisi menyimpan hasil
panen di lampau tersebut masih
dipertahankan. Warga Balai Tamburasak, Parlin mengatakan, tiap musim panen,
selepas aruh adat, masing-masing
warga menyimpan hasil panen baru tersebut di lampau.
Di dalamnya terdapat lebih dari satu
wadah untuk meletakkan padi yang disebut lulung,
yang terbuat dari kelopak kayu damar. Bentuk lampau mirip dengan rumah adat. Namun di lampau selalu dipasang janur yang oleh masyarakat setempat disebut tihang bandira.
Menurut Parlin, itu sebagai simbol
permohonan mereka kepada Yang Maha Kuasa dan roh leluhur agar memberkahi hasil
pertanian.
Mulyadi, warga lainnya di Desa Haruyan
Dayak menjelaskan, tiap warga Dayak Meratus, memiliki lumbung padi yang disebut
lampau tersebut. Meski pun jarang
mengalami gagal panen, mereka tetap menghargai padi sebagai bahan pangan pokok
yang harus disimpan. “Sebagai antisipasi masa-masa sulit, jika gagal panen,”
ujarnya.
Sudah menjadi tradisi pula, imbuh dia, lampau tak boleh kosong dan harus selalu
diisi padi. Masa penyimpanan padi gogo itupun bisa dua sampai tiga tahun.
Sebagai bukti bahwa warga Meratus sangat menghargai padi, mereka pun tak memperjualbelikan
dan lebih mengutamakan untuk dikonsumsi dikalangan mereka.
“Bukannya tak boleh dijual. Tetapi hampir
tak ada yang mau membisniskan padi hasil panen di ladang dalam skala besar
seperti di perkotaan atau desa lainnya di luar suku adat kami. Itu karena kami
sangat menghargai hasil panen kami yang sakral,” terang Mulyadi.
Saat ini, warga di pegunungan Meratus
sedang menantikan hasil panen mereka. Bagi warga setempat, setiap proses
bertani, mulai menanam, hingga memanen selalu disambut dengan syukuran atau aruh adat. (hanani)
Sumber
: Banjarmasin Post, Edisi Selasa (23/02/2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar