Senin, 12 Desember 2016

Mantri Mangrove dari Madura

Selasa, 13 Desember 2016


Mohammad Syahril


Oleh : Agnes Swetta Pandia & Iqbal Basyari

Tanpa berucap sepatah kata pun, Mohammad Syahril (45) memungut bungkus makanan dan memasukannya ke tong sampah. Ia lantas bercerita soal pentingnya menjaga Taman Pendidikan Mangrove di Desa Labuhan, Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur.

"
Kesadaran membuang sampah di tempatnya masih sangat rendah, terutama di kalangan pengunjung yang bukan pelajar atau mahasiswa," kata Syahril saat berbincang di kawasan mangrove di Desa Labuhan, Sabtu (19/11/2016) siang itu.

Lelaki itu tekun membersihkan kawasan itu. "Ini contoh pengunjung yang tidak taat kebersihan, padahal sudah disediakan tempat sampah," lanjutnya.

Bisa dibilang, Syahril adalah "mantri" yang merawat hutan mangrove di Desa Labuhan. Dia terlibat langsung dalam pelestarian hutan seluas 6,64 hektar lebih yang berada di dekat beberapa sumur minyak PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO) itu. 

Berkat sentuhannya, kawasan yang sebelumnya tandus kini sudah hijau, bahkan menjadi tempat berkembangnya berbagai jenis flora dan fauna.

Saat ini, ada sekitar 17 jenis mangrove yang tumbuh baik di area itu, antara lain rhizopora, sonneratha, bruguira, dan avicennia. Ada pula hutan pohon cemara laut sepanjang 1,5 hektar yang melindungi rumah penduduk dari terpaan angin laut.

"Area yang dulu tidak ada kehidupan, kini menjadi habitat ikan dan udang sejak tanaman mangrove tumbuh subur," katanya.

Terjaganya kawasan hutan mangrove tersebut menarik berbagai jenis burung, seperti burung blekuk dan bangau, untuk bersarang di situ. Bahkan, kawanan burung gajahan dari Siberia transit di tempat tersebut sebelum melanjutkan migrasi ke wilayah lain.

Tempat itu tidak hanya menjadi tempat flora dan fauna berkembang. Penduduk sekitar pun mulai kecipratan rezeki setelah hutan itu menjadi objek wisata, tempat belajar sambil bermain. Tak kurang dari 400 pengunjung datang ke situ, terutama pada akhir pekan. Para peneliti, terutama dari kalangan mahasiswa, juga menjadikan tempat itu sebagai obyek kajian ilmiah.

Mantan TKI
Bagaimana Syahril menyulap kawasan yang dulunya tempat peternakan ayam dan rutin diterjang laut pasang itu menjadi hutan mangrove? Dulu, lelaki asal Bangkalan itu pernah merantau sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia selama setahun. Selama enam tahun berikutnya, ia bekerja sebagai petambak udang di Jawa Barat.

Meski mengadu nasib di daerah lain, ternyata hati Syahril tetap tertambat di kampung halamannya. Maka, pada 2008 ia kembali ke desanya yang berjarak sekitar 50 kilometer dari Jembatan Suramadu itu.

Lalu, apa yang ia temukan di tanah kelahirannya? Ternyata, kondisi pesisir pantai utara Madura di desanya tak berubah sejak ditinggalkan para petambak udang pada 1990-an. Pantai itu tetap gersang dan tak memiliki nilai ekonomi.

Prihatin dengan keadaan itu, Syahril tergerak untuk menghijaukannya. Ia mulai menanam pohon bakau (Rhizopora sp) di area yang tak lagi dilirik warga sebagai sumber penghidupan. Atas usahanya itu, ia kemudian dipercaya menjadi ketua Kelompok Tani Mangrove Cemara Sejahtera.

Mohammad Syahril
Lahir:
Bangkalan, 7 Desember 1971
Istri:
Funiya (46)
Anak:
Haminah (16), Siti Fatimah (7)
Pendidikan:
SDN Parereh
SMPN 1 Tanjungbumi
SMAN 1 Tanjungbumi
Pekerjaan:
Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia (2000-2001)
Petambak Bandeng (2002-2008)
Ketua Kelompok Tani Mangrove Cemara Sejahtera (2014-sekarang)

Kepercayaan itu membuatnya tidak terpikir lagi untuk kembali merantau. "Kalau tidak ada hutan mangrove ini, bisa jadi saya kembali menjadi TKI seperti warga lain," katanya.

Sebagai ketua kelompok, Syahril selalu berada di garis terdepan untuk mengembangkan area hutan mangrove. Segala hal diurusinya, mulai dari mengawasi ekosistem mangrove dari penduduk sekitar, menanam aneka tanaman mangrove, mengingatkan pengunjung untuk menjaga kebersihan, hingga menyalakan sirene tanda berakhirnya kunjungan ke kawasan itu pada pukul 17.00 WIB.

"Orang di sini menyebut saya sebagai mantri kesibukan karena saya mengurusi segala hal meski ada anggota lain dalam kelompok," katanya. Ia hafal nama dan jenis mangrove yang dikembangkan di kawasan itu. Pria berkumis yang gemar memakai topi hijau itu sering kali dipanggil anggota kelompoknya untuk diminta pendapat. 

Program itu kian berkembang pada 2014 ketika PT PHE WMO menggandeng penduduk setempat untuk mengembangkan kawasan tersebut menjadi area konservasi mangrove. Mereka diberi bibit dan pelatihan cara menanam mangrove, seperti di Probolinggo, Tuban, dan Bali.

Tantangan
Meski pelestarian tanaman mangrove itu demi kepentingan masyarakat, tak sedikit warga sekitar yang tidak sepaham dengan Syahril. Belum semua warga memahami pentingnya melestarikan area tersebut.

Alhasil, lelaki itu pun harus berhadapan dengan warga yang mencari nafkah dengan berburu ikan, kepiting, dan burung di tanaman mangrove yang tumbuh subur.

"Bukannya tidak boleh mencari rezeki di sini, tetapi harus memperhatikan keberlanjutan ekosistem," katanya.

Ia mengingatkan, ada tanaman atau hewan yang tidak bisa disentuh dan ada yang bisa diambil untuk dimanfaatkan sebagai ladang rezeki. Namun, masih ada warga mencari ikan dengan meracuni area tersebut sehingga banyak ikan mati.

Bahkan, ada warga yang mencari pakan sapi dengan menebang tanaman mangrove dan mencari kepiting dengan linggis yang bisa merusak akar tanaman mangrove.

Sebagai orang asli Madura, Syahril paham betul karakter masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, saat mengingatkan warga yang mengambil tangkapan yang bisa merusak lingkungan, dia menggunakan cara yang lembut dan rendah hati. Dia selalu memulai dengan kata "tolong", bukan "jangan".

"Meskipun niatnya baik, kalau salah dalam penyampaian bisa berakibat fatal," katanya.

Dia rajin mengampanyekan pelestarian lingkungan kepada anak-anak sekolah dasar yang berkunjung. Lewat anak-anak sekolah, ia berharap pesan tersebut sampai ke orangtua masing-masing.

Berkat ketekunan Syahril, hutan di Desa Labuhan, Kecamatan Sepulu, Bangkalan, itu berkembang menjadi Taman Pendidikan Mangrove. Berbagai fasilitas penunjang telah dibangun di situ, seperti tempat parkir, menara pandang burung, jembatan, dan pemondokan.

Jika awalnya Kelompok Tani Mangrove Cemara Sejahtera berjumlah sembilan orang, kini anggotanya bertambah menjadi 45 orang. 

Mereka adalah orang-orang yang menggantungkan nafkah dengan berjualan serta menjadi tukang parkir, pemandu wisata, dan penarik perahu. Setiap orang yang menjadi bagian dari kawasan itu otomatis menjadi anggota kelompok sehingga semuanya merasa memiliki dan bersama-sama turut melestarikan hutan itu.

Kini, penduduk Desa Labuhan tak lagi mendulang nafkah di negeri jiran sebagai TKI, tetapi memilih tinggal di desanya. Kawasan mangrove itu ternyata bisa menjadi sumber penghasilan baru bagi mereka.

Berkat hutan itu, warga mampu membangun kehidupan melalui berbagai usaha. Mereka menjadi berdaya dengan menjadi petani, tukang parkir, hingga menjadi "polisi" yang menjaga seisi kawasan hutan mangrove tetap aman dari tangan-tangan jahil. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kran Air Penunjang Kegiatan Ibadah di MTsN 3 HSS

 Sabtu, 22 November 2025 Kran air untuk penunjang kegiatan ibadah di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 3 Hulu Sungai Selatan (HSS), berlokas...