![]() |
| Mohammad Syahril |
Oleh
: Agnes Swetta Pandia & Iqbal Basyari
Tanpa berucap sepatah kata pun, Mohammad
Syahril (45) memungut bungkus makanan dan memasukannya ke tong sampah. Ia
lantas bercerita soal pentingnya menjaga Taman Pendidikan Mangrove di Desa
Labuhan, Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur.
"
Kesadaran membuang sampah di tempatnya
masih sangat rendah, terutama di kalangan pengunjung yang bukan pelajar atau
mahasiswa," kata Syahril saat berbincang di kawasan mangrove di Desa
Labuhan, Sabtu (19/11/2016) siang itu.
Lelaki itu tekun membersihkan kawasan
itu. "Ini contoh pengunjung yang tidak taat kebersihan, padahal sudah
disediakan tempat sampah," lanjutnya.
Bisa dibilang, Syahril adalah
"mantri" yang merawat hutan mangrove di Desa Labuhan. Dia terlibat
langsung dalam pelestarian hutan seluas 6,64 hektar lebih yang berada di dekat
beberapa sumur minyak PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE WMO)
itu.
Berkat sentuhannya, kawasan yang sebelumnya tandus kini sudah hijau,
bahkan menjadi tempat berkembangnya berbagai jenis flora dan fauna.
Saat ini, ada sekitar 17 jenis mangrove
yang tumbuh baik di area itu, antara lain rhizopora, sonneratha, bruguira, dan
avicennia. Ada pula hutan pohon cemara laut sepanjang 1,5 hektar yang
melindungi rumah penduduk dari terpaan angin laut.
"Area yang dulu tidak ada
kehidupan, kini menjadi habitat ikan dan udang sejak tanaman mangrove tumbuh
subur," katanya.
Terjaganya kawasan hutan mangrove
tersebut menarik berbagai jenis burung, seperti burung blekuk dan bangau, untuk
bersarang di situ. Bahkan, kawanan burung gajahan dari Siberia transit di
tempat tersebut sebelum melanjutkan migrasi ke wilayah lain.
Tempat itu tidak hanya menjadi tempat
flora dan fauna berkembang. Penduduk sekitar pun mulai kecipratan rezeki
setelah hutan itu menjadi objek wisata, tempat belajar sambil bermain. Tak
kurang dari 400 pengunjung datang ke situ, terutama pada akhir pekan. Para
peneliti, terutama dari kalangan mahasiswa, juga menjadikan tempat itu sebagai
obyek kajian ilmiah.
Mantan
TKI
Bagaimana Syahril menyulap kawasan yang
dulunya tempat peternakan ayam dan rutin diterjang laut pasang itu menjadi
hutan mangrove? Dulu, lelaki asal Bangkalan itu pernah merantau sebagai tenaga
kerja Indonesia (TKI) di Malaysia selama setahun. Selama enam tahun berikutnya,
ia bekerja sebagai petambak udang di Jawa Barat.
Meski mengadu nasib di daerah lain,
ternyata hati Syahril tetap tertambat di kampung halamannya. Maka, pada 2008 ia
kembali ke desanya yang berjarak sekitar 50 kilometer dari Jembatan Suramadu
itu.
Lalu, apa yang ia temukan di tanah
kelahirannya? Ternyata, kondisi pesisir pantai utara Madura di desanya tak
berubah sejak ditinggalkan para petambak udang pada 1990-an. Pantai itu tetap
gersang dan tak memiliki nilai ekonomi.
Prihatin dengan keadaan itu, Syahril
tergerak untuk menghijaukannya. Ia mulai menanam pohon bakau (Rhizopora sp)
di area yang tak lagi dilirik warga sebagai sumber penghidupan. Atas usahanya
itu, ia kemudian dipercaya menjadi ketua Kelompok Tani Mangrove Cemara
Sejahtera.
Mohammad Syahril
Lahir:
Bangkalan, 7 Desember 1971
Istri:
Funiya (46)
Anak:
Haminah (16), Siti Fatimah (7)
Pendidikan:
SDN Parereh
SMPN 1 Tanjungbumi
SMAN 1 Tanjungbumi
Pekerjaan:
Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia
(2000-2001)
Petambak Bandeng (2002-2008)
Ketua Kelompok Tani Mangrove Cemara Sejahtera
(2014-sekarang)
Kepercayaan itu membuatnya tidak
terpikir lagi untuk kembali merantau. "Kalau tidak ada hutan mangrove ini,
bisa jadi saya kembali menjadi TKI seperti warga lain," katanya.
Sebagai ketua kelompok, Syahril selalu
berada di garis terdepan untuk mengembangkan area hutan mangrove. Segala hal
diurusinya, mulai dari mengawasi ekosistem mangrove dari penduduk sekitar,
menanam aneka tanaman mangrove, mengingatkan pengunjung untuk menjaga
kebersihan, hingga menyalakan sirene tanda berakhirnya kunjungan ke kawasan itu
pada pukul 17.00 WIB.
"Orang di sini menyebut saya
sebagai mantri kesibukan karena saya mengurusi segala hal meski ada anggota
lain dalam kelompok," katanya. Ia hafal nama dan jenis mangrove yang
dikembangkan di kawasan itu. Pria berkumis yang gemar memakai topi hijau itu
sering kali dipanggil anggota kelompoknya untuk diminta pendapat.
Program itu kian berkembang pada 2014
ketika PT PHE WMO menggandeng penduduk setempat untuk mengembangkan kawasan
tersebut menjadi area konservasi mangrove. Mereka diberi bibit dan pelatihan
cara menanam mangrove, seperti di Probolinggo, Tuban, dan Bali.
Tantangan
Meski pelestarian tanaman mangrove itu
demi kepentingan masyarakat, tak sedikit warga sekitar yang tidak sepaham
dengan Syahril. Belum semua warga memahami pentingnya melestarikan area
tersebut.
Alhasil, lelaki itu pun harus berhadapan
dengan warga yang mencari nafkah dengan berburu ikan, kepiting, dan burung di
tanaman mangrove yang tumbuh subur.
"Bukannya tidak boleh mencari
rezeki di sini, tetapi harus memperhatikan keberlanjutan ekosistem,"
katanya.
Ia mengingatkan, ada tanaman atau hewan
yang tidak bisa disentuh dan ada yang bisa diambil untuk dimanfaatkan sebagai
ladang rezeki. Namun, masih ada warga mencari ikan dengan meracuni area
tersebut sehingga banyak ikan mati.
Bahkan, ada warga yang mencari pakan
sapi dengan menebang tanaman mangrove dan mencari kepiting dengan linggis yang
bisa merusak akar tanaman mangrove.
Sebagai orang asli Madura, Syahril paham
betul karakter masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, saat mengingatkan
warga yang mengambil tangkapan yang bisa merusak lingkungan, dia menggunakan
cara yang lembut dan rendah hati. Dia selalu memulai dengan kata
"tolong", bukan "jangan".
"Meskipun niatnya baik, kalau salah
dalam penyampaian bisa berakibat fatal," katanya.
Dia rajin mengampanyekan pelestarian
lingkungan kepada anak-anak sekolah dasar yang berkunjung. Lewat anak-anak
sekolah, ia berharap pesan tersebut sampai ke orangtua masing-masing.
Berkat ketekunan Syahril, hutan di Desa
Labuhan, Kecamatan Sepulu, Bangkalan, itu berkembang menjadi Taman Pendidikan
Mangrove. Berbagai fasilitas penunjang telah dibangun di situ, seperti tempat
parkir, menara pandang burung, jembatan, dan pemondokan.
Jika awalnya Kelompok Tani Mangrove
Cemara Sejahtera berjumlah sembilan orang, kini anggotanya bertambah menjadi 45
orang.
Mereka adalah orang-orang yang menggantungkan nafkah dengan berjualan
serta menjadi tukang parkir, pemandu wisata, dan penarik perahu. Setiap orang
yang menjadi bagian dari kawasan itu otomatis menjadi anggota kelompok sehingga
semuanya merasa memiliki dan bersama-sama turut melestarikan hutan itu.
Kini, penduduk Desa Labuhan tak lagi
mendulang nafkah di negeri jiran sebagai TKI, tetapi memilih tinggal di desanya.
Kawasan mangrove itu ternyata bisa menjadi sumber penghasilan baru bagi mereka.
Berkat hutan itu, warga mampu membangun
kehidupan melalui berbagai usaha. Mereka menjadi berdaya dengan menjadi petani,
tukang parkir, hingga menjadi "polisi" yang menjaga seisi kawasan
hutan mangrove tetap aman dari tangan-tangan jahil. ***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar