![]() |
| Nasir |
Oleh
: Rhama Purna Jati
Nasir (39) tahu betul susahnya jadi
nelayan. Meski telah bekerja keras, hasil yang diperoleh sering kali sangat
minim. Suatu hari ia melirik usaha pengolahan terasi. Lewat bumbu penyedap
beraroma tajam itu, ia mengubah nasibnya dan sejumlah nelayan di sekitarnya.
Aroma terasi udang yang menyengat
tercium di seantero rumah Nasir di Dusun Sei Sembilang, Desa Sungsang,
Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Sabtu (26/11/2016).
Hari itu, Nasir bersama tujuh
karyawannya tengah mengaduk adonan terasi di atas terpal besar. Karyawan
lainnya menggiling olahan terasi atau memasok udang yang telah dicuci untuk
ditumbuk. Semua orang tampak sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Sebelum menjadi pembuat terasi,
laki-laki berusia 39 tahun itu seorang nelayan. Bahkan, ia telah berlayar di
kawasan Sei Sembilang untuk mencari udang sejak berusia 15 tahun. Selama
menjadi nelayan, ia mengaku pendapatannya sangat minim.
"Sehari saya dapat Rp 10.000-Rp
15.000, bahkan tidak jarang pulang tanpa hasil," ujar pria yang tidak
mengenyam pendidikan formal ini.
Seperti warga lainnya di Dusun Sei
Sembilang, Nasir tetap menjalani profesi nelayan lantaran mereka tidak bisa
menggeluti pekerjaan lainnya. "Zaman dulu tidak ada sekolah, jadi
anak-anak hanya memiliki kemampuan untuk mencari ikan," katanya.
Pada 2008, ia kedatangan seorang
pengepul terasi dari Pangkal Pinang, Bangka Belitung. Ia mengajak Nasir bekerja
sama untuk mengolah terasi. Ajakan itu langsung disambut Nasir, apalagi
pekerjaan mengolah terasi bukan hal asing baginya. Dulu, hampir semua anggota
keluarga besar Nasir adalah pembuat terasi. Namun, mereka tidak memiliki metode
khusus untuk membuat terasi yang berkualitas tinggi.
Nasir pun belajar dari awal bagaimana
membuat terasi udang yang berkualitas. Berkali-kali ia berusaha, berkali-kali
pula gagal. Ia, misalnya, terlalu banyak mencampurkan garam sehingga terasi
yang dihasilkan tidak padat. Ia juga belum menemukan proses penjemuran yang
tepat sehingga olahan terasi cepat basi.
Meski begitu, ia tetap nekat menjalankan
usaha ini sambil terus belajar dari kegagalan. Setelah empat tahun belajar dan
bereksperimen, pada 2012 ia menemukan racikan bahan dan metode pembuatan terasi
yang tepat.
"Untuk menghasilkan terasi yang
bagus, ternyata proses pencampuran garam dan udang harus seimbang,"
ujarnya.
Selain itu, udang yang digunakan harus
segar dengan komposisi 50 kilogram udang dicampur dengan 10 kilogram garam.
Proses pencampuran, penjemuran, dan penumbuk-an juga harus diperhatikan betul.
Terasi harus dijemur selama lima jam
dengan suhu yang sesuai. Saat dijemur, jangan sampai olahan terasi tercampur
dengan air hujan.
Proses pencucian udang harus menggunakan
air asin sehingga nantinya campuran olahan udang dan garam tidak rusak. Apabila
olahan terasi tercampur air hujan, maka te-rasi harus ditumbuk sehingga uap air
hujan dapat dikurangi.
"Penumbukan pun harus dilakukan
dengan metode khusus sehingga rasa khas terasi tidak hilang," ujarnya.
Yang terpenting adalah terasi sama sekali tidak boleh menggunakan bahan
pengawet.
Dengan racikan dan pengolahan yang
tepat, terasi buatan Nasir dikenal lezat sehingga digemari banyak orang. Terasi
buatannya dipasarkan di Pangkal Pinang, Palembang, hingga Jakarta. Bahkan,
pengusaha dari Arab Saudi sudah menawarkan untuk bekerja sama. Namun,
perusahaan itu meminta agar ada sertifikat halal pada produk terasi buatan
Nasir.
"Saat ini, saya sudah dalam proses
mengajukan (sertifikat halal) ke Majelis Ulama Indonesia," ucapnya.
Saat ini, Nasir memproduksi setidaknya 3
ton terasi setiap hari. Dengan produksi sebesar itu, dia menyerap udang dari
nelayan sekitar 6 ton per hari. Nasir biasanya membeli udang dari nelayan
seharga Rp 10.000 sampai Rp 12.000 per kilogram. Setelah diolah menjadi terasi,
ia menjual ke pasar seharga Rp 35.000 per kilogram.
"Dari hasil memproduksi terasi
udang, saya bisa membeli kapal dan menyekolahkan kedua anak saya," tambah
Nasir dengan nada bangga.
Merangkul
Nelayan
Nasir
Lahir:
Sungsang II, 4 April 1977
Istri:
Wulandari (20)
Anak:
Julita (9), Patan (8)
Nasir tidak mau sejahtera sendirian.
Karena itu, ia merangkul nelayan di dusunnya dalam rantai produksi terasi
udang. Ia bersedia menampung semua udang yang dipasok nelayan dari daerah Sei
Sembilang, Sungsang, dan sekitarnya.
"Berapa pun udang yang nelayan
dapatkan akan saya serap," katanya.
Dengan cara itu, kata Nasir, target
produksi akan terjamin. Selain itu, nelayan senang karena udang yang mereka
tangkap sudah pasti ada pembelinya. "Saat ini, sudah ada 12 nelayan yang
bermitra dengan saya sebagai penyalur udang. Ini belum termasuk nelayan yang
datang dari tempat lain," katanya.
Nelayan yang bermitra dengan Nasir
memperoleh penghasilan sekitar Rp 200.000 sampai Rp 300.000 per hari. Namun,
saat ini, ujar Nasir, pasokan udang dari nelayan berkurang lantaran cuaca buruk
dan embusan angin barat. Biasanya, pada Desember sampai April, ketersediaan
udang menurun. Kondisi baru akan membaik pada April.
"Selama tidak ada bahan baku, ya,
kami berhenti berproduksi," katanya.
Untuk mengantisipasi masa paceklik bahan
baku, Nasir meningkatkan produksi terasi saat pasokan udang melimpah. Nasir
tidak takut terasinya akan busuk. Menurut dia, jika terasi dikelola dengan
baik, waktu kedaluwarsanya akan lama. "Te-rasi yang saya buat dapat
bertahan hingga enam bulan," ujarnya.
Selain menyerap pasokan udang, Nasir
juga merekrut pekerja dari kalangan nelayan agar mereka memiliki penghasilan
tambahan selain dari mencari udang atau ikan di laut.
Nasir tidak pelit berbagi ilmu membuat
terasi kepada para pekerjanya. Ia bahkan mendorong mereka untuk membuka usaha
pengolahan terasi sendiri sehingga bisa diajak bekerja sama memasok terasi ke
sejumlah daerah.
Kepala Dusun 5 Desa Sungsang, Banyuasin,
Yunan Alwi mengatakan, usaha pengolahan terasi buatan Nasir sejauh ini cukup
membantu para nelayan di desa itu. Dia berharap, usaha terasi itu terus
berkembang dan melibatkan lebih banyak nelayan.
Nama
Banyuasin
Meski Nasir membuat terasi di Dusun Sei
Sembilang, Banyuasin, te-rasi buatannya di pasar dikenal sebagai terasi bangka.
Pasalnya, hingga sekarang terasi olahannya dikemas di Bangka Belitung.
"Terasi udang memang berasal dari
Banyuasin, tetapi pengemasan ada di Bangka. Tidak heran terasi yang dikenal
adalah terasi bangka, bukan terasi banyuasin," tuturnya.
Kini, Nasir berupaya agar pengemasan terasi
dilakukan di Banyuasin. Beberapa waktu lalu, katanya, sejumlah petugas dari
berbagai instansi terkait seperti Balai Pengawasan Obat dan Makanan serta Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Banyuasin datang ke pabriknya.
"Mereka siap membantu agar terasi
yang saya buat membawa nama Kabupaten Banyuasin," ujarnya.
Terasi buatan Nasir di pasaran diberi
merek Terasi Toboali. Dengan dorongan banyak pihak, ia sedang berupaya mengubah
merek Terasi Toboali menjadi Terasi Banyuasin.
Jika itu terjadi, diharapkan terasi
buatan Nasir bisa mengangkat nama Banyuasin. Keuntungan turunannya adalah
konsumen yang memesan te-rasi langsung ke Sei Sembilang akan semakin banyak.
"Saya harap proses penggantian nama
terasi ini dapat terjadi paling lama pertengahan tahun depan," kata Nasir.
Lewat terasi, Nasir bisa mengangkat
taraf hidupnya dan memberikan rezeki kepada nelayan sekitarnya. ***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar