Yang aneh, makam Habib Husin ‘terkurung’ dalam Kantin Batu Pasar
Kandangan. Makan Husin merupakan satu-satunya makam yang ada di dalam
bangunan pasar zaman Belanda itu. Pada pusara berupa marmer putih ada
tulisan namanya dan tahun meninggalnya: 1893.
Sebagian badan makam itu diambil oleh pemilik kios untuk menaruh barang dagangan berupa sandal dan sepatu. Ada bunga setaman yang telah kering dan kain kuning bekas orang berziarah.
Sebagian badan makam itu diambil oleh pemilik kios untuk menaruh barang dagangan berupa sandal dan sepatu. Ada bunga setaman yang telah kering dan kain kuning bekas orang berziarah.
“Sadang maalih-alih kada bisa,” ujar seorang pedagang. Maksudnya,
sudah beberapa kali dicoba untuk memindah makam itu ke tempat lain, tapi
selalu gagal.
“Dulu, kalau talingkangi muak darah (Kalau ada yang melangkahi makam
muntah darah, red),” ujar Jumri, pedagang di sana sejak 25 tahun silam.
Menurut informasi yang diperoleh penulis, tadinya di lokasi
bangunan pasar ini terdapat masjid dan tempat pemakaman umum. Pemerintah
Belanda kemudian membangun pasar modern di Kandangan (yang kini
merupakan satu-satunya sisa peninggalan Belanda yang masih utuh di
wilayah Hulu Sungai. Sempat terbakar, tapi fondasi lantai dan dinding
masih utuh, red). Masjid baru sebagai pengganti dibangun di Jalan Mayjen
Soetoyo S (Teluk Masjid) pada tahun 1906 (sayang bangunan masjid
bersejarah inipun kini telah ‘hilang’ dalam renovasi sejak tahun 2005).
Makam-makam tua digusur dan dipindah ke alkah lain. Hanya makam Habib
Husin yang bertahan tak bisa dipindah!
“Menurut cerita, dulu di sana hutan, banyak kubur. Belanda kada kawa
maalih (memindah),” ujar Habib Ahmad bin Ali AlKaff, 70, warga Jalan R
Soeprapto, Sabtu.
“Kami tidak jelas siapa sesungguhnya beliau. Ada informasi, Habib
Husin orangtua dari habib-habib yang bermakam di Lumpangi. Abah pernah
berkata (Habib Husin) datuku,” ungkap Ahmad.
Yang dimaksud Ahmad para habib di Desa Lumpangi, Kecamatan Loksado
adalah 3 orang yang dikenal dengan nama Abubakar, Ahmad dan Muhammad.
Ketiganya berfam Assegaf. “Haulnya tiap buka haji dua hari (dua hari
setelah Idul Adha, red),” ujar dia.
Menurut kisahnya, habib di Lumpangi ini datang dari Banjar berjalan
kaki demi syiar Islam. “Kalau mau ziarah datanglah ke Balai Ulin,
Lumpangi. Banyak habib bermakam di sana,” ujar Abah Ijai, 60, warga
Simpang Pantai Langsat, Kecamatan Loksado ketika ditemui di Kantin Batu
Pasar Kandangan. Kampung Lumpangi berjarak sekitar 25 Km dari Kandangan.
Abah Ijai mengungkapkan saat kecil ia akrab dengan seorang tokoh
berkeramat (dari golongan habib) di Lumpangi yang ia kenal dengan
sebutan Surgi Abah Jabis. Waktu kecil ia sering menginjak badan belakang
habib untuk tindakan pemijatan.
“Sidin (beliau) pasaknya Lumpangi. Sidin kuat menyelam setengah hari
di liang dewata (teluk). Saat muncul sudah membawa ikan jelawat,” kata
Abah Ijai tentang habib yang memiliki jenggot panjang sampai sedada itu.
Ia mengenang, saat tinggal di Hilir Muhara Hatip, Surgi Abah Jabis
memiliki pohon durian. Saat durian itu jatuh dari pohonnya, buahnya
diambil masyarakat tanpa seizin pemiliknya. “Sidin hanya berkata: ayuha
bukan rezeki kita. Berulang kali itu terjadi (mengambil tanpa minta izin
pemiliknya), suatu hari pohon durian itu disambar petir dan mati.
Mungkin sidin kesal,” ujar Abah Ijai.
Kelebihan lainnya, kata dia, orang yang jalan berselisihan dekat
dengan tubuh Abah Jabis akan jatuh terpelanting. Abah Ijai tidak tahu
kenapa, ia hanya menduga itu mungkin kehebatan ilmu Surgi Abah Jabis.
Abah Jabis bermakam di Pamatang Gadung, Kandangan berdekatan dengan
cucunya, Ayip Ja’far. “Cucu-cucu sidin lainnya seperti Ma Ifah Sa’diyah,
Balikpapan dan Ma Ifah Rohayah, Pelaihari sudah meninggal dunia semua,”
kata Abah Ijai.
Hubungan antara habib yang tinggal di Loksado dan di pusat kota
terbangun dengan indah, saat orang-orang Loksado selalu menginap di
rumah Habib Hasan bin Thahir Alaydrus ketika mereka ada keperluan pergi
ke Kandangan.
“Rumah Habib Hasan selalu terbuka untuk orang-orang gunung. Kalau
mereka datang ke Kandangan dari Loksado, pasti bermalam karena dulu
belum ada kendaraan seperti sekarang. Mungkin ini karena hubungan baik
dan ada hubungan keluarga dengan habib-habib di Lumpangi,” kata Ahmad
AlKaff yang rumahnya bertetangga dengan Habib Hasan.
Habib Hasan (1880-1968) digelari Habib Ingut karena memiliki kumis
yang melintang. Ia tinggal di depan terminal taksi jurusan
Kandangan-Banjarmasin. Hasan yang merupakan cucu Pangeran Syarif Ali
Alaydrus, penguasa Sebamban, sangat dihormati dan dicintai oleh
masyarakat Kandangan.
Jika Habib Hasan pergi ke pasar, para pedagang malah berebut
menghadiahinya dengan berbagai macam oleh-oleh. Dari buah-buahan,
sayur-mayur hingga beragam benda lainnya. (bersambung) ali
Sumber : al gembira.blog.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar