Jumat, 16 Mei 2014

Makam Terkurung Ditengah Pasar

Sabtu, 17 Mei 2014

Yang aneh, makam Habib Husin ‘terkurung’ dalam Kantin Batu Pasar Kandangan. Makan Husin merupakan satu-satunya makam yang ada di dalam bangunan pasar zaman Belanda itu. Pada pusara berupa marmer putih ada tulisan namanya dan tahun meninggalnya: 1893.
Sebagian badan makam itu diambil oleh pemilik kios untuk menaruh barang dagangan berupa sandal dan sepatu. Ada bunga setaman yang telah kering dan kain kuning bekas orang berziarah.
“Sadang maalih-alih kada bisa,” ujar seorang pedagang. Maksudnya, sudah beberapa kali dicoba untuk memindah makam itu ke tempat lain, tapi selalu gagal.
“Dulu, kalau talingkangi muak darah (Kalau ada yang melangkahi makam muntah darah, red),” ujar Jumri, pedagang di sana sejak 25 tahun silam.
Menurut informasi yang diperoleh penulis, tadinya di lokasi bangunan pasar ini terdapat masjid dan tempat pemakaman umum. Pemerintah Belanda kemudian membangun pasar modern di Kandangan (yang kini merupakan satu-satunya sisa peninggalan Belanda yang masih utuh di wilayah Hulu Sungai. Sempat terbakar, tapi fondasi lantai dan dinding masih utuh, red). Masjid baru sebagai pengganti dibangun di Jalan Mayjen Soetoyo S (Teluk Masjid) pada tahun 1906 (sayang bangunan masjid bersejarah inipun kini telah ‘hilang’ dalam renovasi sejak tahun 2005). Makam-makam tua digusur dan dipindah ke alkah lain. Hanya makam Habib Husin yang bertahan tak bisa dipindah!
“Menurut cerita, dulu di sana hutan, banyak kubur. Belanda kada kawa maalih (memindah),” ujar Habib Ahmad bin Ali AlKaff, 70, warga Jalan R Soeprapto, Sabtu.
“Kami tidak jelas siapa sesungguhnya beliau. Ada informasi, Habib Husin orangtua dari habib-habib yang bermakam di Lumpangi. Abah pernah berkata (Habib Husin) datuku,” ungkap Ahmad.
Yang dimaksud Ahmad para habib di Desa Lumpangi, Kecamatan Loksado adalah 3 orang yang dikenal dengan nama Abubakar, Ahmad dan Muhammad. Ketiganya berfam Assegaf. “Haulnya tiap buka haji dua hari (dua hari setelah Idul Adha, red),” ujar dia.
Menurut kisahnya, habib di Lumpangi ini datang dari Banjar berjalan kaki demi syiar Islam. “Kalau mau ziarah datanglah ke Balai Ulin, Lumpangi. Banyak habib bermakam di sana,” ujar Abah Ijai, 60, warga Simpang Pantai Langsat, Kecamatan Loksado ketika ditemui di Kantin Batu Pasar Kandangan. Kampung Lumpangi berjarak sekitar 25 Km dari Kandangan.
Abah Ijai mengungkapkan saat kecil ia akrab dengan seorang tokoh berkeramat (dari golongan habib) di Lumpangi yang ia kenal dengan sebutan Surgi Abah Jabis. Waktu kecil ia sering menginjak badan belakang habib untuk tindakan pemijatan.
“Sidin (beliau) pasaknya Lumpangi. Sidin kuat menyelam setengah hari di liang dewata (teluk). Saat muncul sudah membawa ikan jelawat,” kata Abah Ijai tentang habib yang memiliki jenggot panjang sampai sedada itu.
Ia mengenang, saat tinggal di Hilir Muhara Hatip, Surgi Abah Jabis memiliki pohon durian. Saat durian itu jatuh dari pohonnya, buahnya diambil masyarakat tanpa seizin pemiliknya. “Sidin hanya berkata: ayuha bukan rezeki kita. Berulang kali itu terjadi (mengambil tanpa minta izin pemiliknya), suatu hari pohon durian itu disambar petir dan mati. Mungkin sidin kesal,” ujar Abah Ijai.
Kelebihan lainnya, kata dia, orang yang jalan berselisihan dekat dengan tubuh Abah Jabis akan jatuh terpelanting. Abah Ijai tidak tahu kenapa, ia hanya menduga itu mungkin kehebatan ilmu Surgi Abah Jabis.
Abah Jabis bermakam di Pamatang Gadung, Kandangan berdekatan dengan cucunya, Ayip Ja’far. “Cucu-cucu sidin lainnya seperti Ma Ifah Sa’diyah, Balikpapan dan Ma Ifah Rohayah, Pelaihari sudah meninggal dunia semua,” kata Abah Ijai.
Hubungan antara habib yang tinggal di Loksado dan di pusat kota terbangun dengan indah, saat orang-orang Loksado selalu menginap di rumah Habib Hasan bin Thahir Alaydrus ketika mereka ada keperluan pergi ke Kandangan.
“Rumah Habib Hasan selalu terbuka untuk orang-orang gunung. Kalau mereka datang ke Kandangan dari Loksado, pasti bermalam karena dulu belum ada kendaraan seperti sekarang. Mungkin ini karena hubungan baik dan ada hubungan keluarga dengan habib-habib di Lumpangi,” kata Ahmad AlKaff yang rumahnya bertetangga dengan Habib Hasan.
Habib Hasan (1880-1968) digelari Habib Ingut karena memiliki kumis yang melintang. Ia tinggal di depan terminal taksi jurusan Kandangan-Banjarmasin. Hasan yang merupakan cucu Pangeran Syarif Ali Alaydrus, penguasa Sebamban, sangat dihormati dan dicintai oleh masyarakat Kandangan.
Jika Habib Hasan pergi ke pasar, para pedagang malah berebut menghadiahinya dengan berbagai macam oleh-oleh. Dari buah-buahan, sayur-mayur hingga beragam benda lainnya. (bersambung) ali

Sumber : al gembira.blog.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jalani Hidup Apa Adanya

 Jumat, 31 Januari 2025 Jalani hidup ini apa adanya, dengan penuh ketulusan dan keriangan. Insya Allah hidupmu akan tenang, aman, damai, dan...