Senin, 24 November 2025

Pagi di Padang Batung dan Jejak Benteng Madang

 Selasa, 25 November 2025

Pagi itu, jalanan menuju Padang Batung terasa lebih lengang dibanding biasanya. Kabut tipis masih menggantung di sela-sela perbukitan, seolah enggan meninggalkan tanah Hulu Sungai Selatan yang sejak lama menjadi rumah bagi sejarah, cerita, dan kehidupan yang tenang. Saya mengendarai motor perlahan, menikmati hembusan udara yang masih menyisakan aroma lembap pepohonan pegunungan Meratus.

Beberapa tahun terakhir, rute ini bukan sekadar jalur perjalanan. Ia telah menjadi ruang renungan. Banyak perubahan yang saya lihat, sebagian tampak di permukaan, sebagian lagi hanya terasa dalam batin. Tetapi pagi itu, tujuan saya sederhana : menyusuri kembali jejak lama menuju Benteng Madang—situs sejarah yang tak hanya menjadi peninggalan masa lalu, tetapi juga penanda identitas warga sekitar.

Benteng Madang bukan sekadar tumpukan tanah atau sisa struktur. Ia adalah memori kolektif. Di sanalah sebagian dari kisah perjuangan dan pertahanan masyarakat Banjar dulu terpatri, meski tak semua bagian telah diteliti secara menyeluruh. Berjalan menuju wilayah ini, saya merasakan seolah waktu bergerak pelan. Pepohonan di kiri-kanan berdiri seperti penjaga tua yang setia. Burung-burung kecil sesekali melintas rendah, menambah suasana pagi yang hening.

Namun, di balik keheningan itu, saya tahu bahwa wilayah sekitar Padang Batung adalah ruang yang kini tidak sepenuhnya sama. Aktivitas tambang di daerah-daerah tertentu di Hulu Sungai Selatan telah memberi warna baru bagi lanskap. Tidak semuanya tampak dari jalan besar. Ada perubahan yang hanya bisa dipahami setelah berbincang dengan warga, setelah melihat dari sudut pandang yang lebih dekat, setelah merasakan ritme kehidupan desa yang perlahan menyesuaikan diri pada keadaan.

Saya pernah berdialog singkat dengan beberapa warga yang tinggal di jalur menuju Benteng Madang. Nada mereka bukan keluhan, bukan pula penolakan total. Mereka hanya bercerita—tentang suara alat berat yang kadang terdengar dari kejauhan, tentang aliran air sungai yang berubah warna di musim tertentu, tentang jalanan desa yang kadang lebih cepat rusak ketika lalu-lintas kendaraan berat meningkat. Kisah-kisah kecil, halus, tetapi nyata. Mereka tidak menyebut angka, tidak menuntut apa-apa. Mereka hanya ingin kehidupan tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Ketika saya tiba di sekitar area Benteng Madang, saya berhenti sejenak. Dari titik itu, saya melihat betapa rapuhnya hubungan antara masa lalu dan masa kini. Situs seperti ini tidak bersuara ; ia tidak meminta untuk diselamatkan. Tetapi di balik diamnya, ada pesan yang bisa kita dengarkan jika mau : bahwa sejarah dan alam sering kali menjadi saksi bisu perjalanan manusia, entah itu perjalanan pembangunan, perubahan, atau pertumbuhan ekonomi.

Saya duduk di sebuah batu besar, memandang pepohonan yang mengelilingi tempat itu. Pikiran saya melayang pada pertanyaan sederhana : apa yang bisa kita lakukan sebagai warga Hulu Sungai Selatan? Mungkin tidak banyak. Kita bukan penentu kebijakan, bukan pula pemilik modal. Tetapi kita memiliki suara, kepedulian, dan kesadaran untuk menjaga keseimbangan. Kita bisa mengamati dengan jujur, mencatat perubahan, dan merawat sejarah. Kita bisa saling mengingatkan bahwa pembangunan seharusnya tidak memutuskan hubungan manusia dengan lingkungannya.

Benteng Madang mengingatkan saya bahwa setiap jengkal tanah memiliki ceritanya. Dan jika suatu hari anak-anak kita datang ke tempat ini, saya ingin mereka tetap bisa menyaksikan keheningan yang sama, pepohonan yang sama, dan sejarah yang masih dapat disentuh, bukan hanya dibaca.

Perjalanan pagi itu menanamkan kembali keyakinan bahwa kepedulian tidak harus diwujudkan dengan suara keras. Ia bisa lahir dari langkah perlahan, dari pengamatan jujur, dari keinginan sederhana untuk menjaga apa yang masih tersisa. Dan mungkin, melalui tulisan-tulisan sederhana seperti ini, saya berharap ada sedikit ruang untuk mengingatkan diri sendiri—dan siapa pun yang membacanya—bahwa tanah Hulu Sungai Selatan bukan hanya tempat tinggal, tapi juga warisan yang harus dirawat.

Ketika motor butut saya melaju kembali ke arah Angkinang Selatan, matahari mulai meninggi. Cahaya pagi memantul di pucuk-pucuk daun, seolah memberi salam perpisahan. Saya pulang dengan hati yang lebih ringan, sambil membawa harapan kecil: semoga alam, sejarah, dan kehidupan masyarakat di sekitaran Padang Batung tetap terjaga. Semoga Benteng Madang tetap berdiri sebagai penanda masa lalu sekaligus pengingat masa depan. (ahu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Khadijah Raisya Nazilla dan Uswatun Hasanah

 Kamis, 27 November 2025 Khadijah Raisya Nazilla dan Uswatun Hasanah, dua siswi Kelas VII Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 3 Hulu Sungai Se...