Senin, 29 September 2025

Asal Usul Angkinang : Kisah Lelaki Bijak yang Gemar Menginang

 Senin, 29 September 2025

Oleh : Akhmad Husaini

Pada zaman dahulu, di sebuah tanah yang subur, berdirilah pepohonan tinggi menjulang. Udara sejuk, sungai jernih, dan rawa yang luas menjadi tempat tinggal berbagai hewan. Di sanalah hidup beberapa keluarga yang sederhana. Mereka mencari ikan, memetik buah di hutan, dan mengambil apa saja yang alam berikan. Meski hidup mereka serba terbatas, suasana kampung selalu damai.

Namun, saat itu kampung mereka belum memiliki nama. Hanya sekumpulan rumah di tengah rimba, tanpa sebutan khusus.

Suatu pagi yang cerah, dari kejauhan terlihat seorang lelaki gagah berjalan sambil memikul sadapung—seikat padi yang kuning keemasan. Tubuhnya tegap, wajahnya teduh. Penduduk kampung segera menghampirinya dengan penasaran.

“Siapakah engkau, wahai orang gagah?” tanya seorang tetua kampung.

“Aku hanya seorang pengembara,” jawabnya ramah. “Aku membawa benih padi. Jika kalian berkenan, aku akan mengajarkan cara menanamnya.”

Penduduk saling berpandangan. Mereka memang sering makan umbi, buah, dan ikan, tetapi tidak tahu cara menanam padi. Dengan gembira mereka menyambut tawaran itu.

“Ajarkanlah kami, Tuan,” kata seorang pemuda. “Kami ingin belajar agar hidup kami lebih baik.”

Sejak hari itu, lelaki gagah itu mengajarkan cara membuka lahan, menebar benih, merawat tanaman, hingga panen. Setiap kali melihat bulir padi menguning, penduduk bersyukur dan memuji ilmu yang ia bawa.

“Lihatlah, tanah kita ternyata bisa memberi makan banyak orang,” ujar lelaki itu. “Jika kalian tekun, kampung ini akan makmur.”

Penduduk kagum dan semakin hormat kepadanya. Lama-kelamaan, kampung mereka ramai. Orang dari luar datang untuk tinggal karena mendengar tanahnya subur dan warganya hidup rukun.

Namun, ada satu kebiasaan yang unik dari lelaki gagah itu. Setiap sore, ia duduk di serambi rumah, mengambil sirih, pinang, dan kapur, lalu mengunyahnya dengan tenang. Warna merah sirih sering menghiasi bibirnya.

Seorang ibu bertanya dengan heran, “Tuan, apakah yang selalu engkau makan itu?”

“Ini disebut kinang,” jawabnya sambil tersenyum. “Dengan ini aku merasa segar dan bersemangat.”

Sejak itu, penduduk memberi julukan kepadanya: Hangkinang. “Hang” artinya manusia perkasa, sedangkan “Kinang” artinya kebiasaan menginang atau makan sirih. Julukan itu menjadi tanda hormat atas jasa-jasanya yang membawa ilmu dan kebaikan.

Waktu pun berlalu. Nama Hangkinang kemudian tidak hanya melekat pada sosok lelaki itu, tetapi juga pada kampung yang mereka huni. Awalnya orang menyebutnya Kampung Hangkinang, dan lambat laun berubah menjadi Angkinang.

Kini, Angkinang dikenal sebagai salah satu wilayah di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Nama itu bukan sekadar tanda tempat, tetapi juga warisan kisah tentang seorang tokoh bijak yang membawa kehidupan, harapan, dan semangat kebersamaan.

Hingga kini, orang-orang tua masih berpesan kepada anak cucunya:
“Jangan lupa asal-usulmu. Belajarlah seperti Hangkinang, yang mau berbagi ilmu dan kebaikan. Sebab, kampung ini ada karena jasa dan kebersamaan.”

Maka, legenda Angkinang pun hidup terus, turun-temurun, menjadi kebanggaan bagi masyarakatnya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menyaksikan Penampilan Sastra ASKS XXII Tahun 2025

 Kamis, 4 Desember 2025 Menyaksikan penampilan / pagelaran sastra Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) XXII Tahun 2025 di depan Aula Selida...