Naik sepeda motor dan masih suka telat
masuk sekolah? Anda harus malu dengan Jibay. Naik turun gunung sejauh delapan
kilometer dengan berjalan kaki, gadis sembilan tahun ini selalu tiba di sekolah
sebelum lonceng berdentang.
Tidak mudah bagi anak-anak pegunungan
Meratus untuk bisa menikmati pendidikan. Jibay dari Pantai Uang Desa Datar Ajab
Kecamatan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah harus bangun tidur sebelum
matahari terbit. Sering ia tak sempat sarapan demi mengejar jam masuk sekolah.
Untuk mencapai SDN Haruyan Dayak 2 di
Kampung Cabai Desa Patikalain, siswi kelas II ini harus menempuh jarak sejauh
3,9 kilometer. Total hampir delapan kilometer pulang pergi dalam sehari.
Treknya paduan tanjakan curam dari batu
cadas, turunan licin dari tanah merah, kubangan lumpur, hutan dan jurang di
sisi kanan dan kiri jalan. Dari Pantai Uang ada belasan anak lainnya yang
mengecap pendidikan di sekolah yang sama.
Pantai Uang dan Kampung Cabai dipisahkan
gunung. Sebagai anak Meratus, Jibay dan teman-temannya 'hanya' butuh waktu
tempuh 1,5 jam. Sementara tim dari Radar Banjarmasin, harus ngos-ngosan dan
boros waktu sampai tiga jam lebih pendakian untuk mencapai Pantai Uang.
Sering bersekolah tanpa uang saku, Jibay
biasanya hanya ditemani botol air minum. Beserta baju ganti agar seragam merah
putihnya tak cepat kotor dan masih bisa dipakai keesokan harinya. Kaki Jibay
hanya beralas sendal jepit super tipis. Sedikit lebih beruntung dari
teman-temannya yang bertelanjang kaki. Sepatu adalah barang mewah.
Seragam sekolah Jibay juga tak bisa
disebut layak. Risleting belakang roknya sudah rusak dan dibiarkan menganga.
"Jibay menonjol di pelajaran matematika. Anaknya memang pendiam,"
kata guru honorer yang juga Wali Kelas II, Mardi, Kamis (08/12/2016).
Jibay juga terbilang rajin. Semester
lalu, tercatat hanya enam hari dia absen, itu pun lantaran sakit. "Kalau
terus begini, semester nanti dia bisa masuk rangking tiga besar,"
tambahnya yakin.
Benar saja, Jibay luar biasa pendiam dan
pemalu. Kalimatnya irit dan selalu menunduk saat ditatap orang asing. Ia
mengaku senang bersekolah karena punya banyak teman. "Senang bisa membaca,
menulis, berhitung, dan main-main sama kawan," ujarnya. Ditanya cita-cita,
jawabnya kelak ingin menjadi seorang guru.
Sementara itu, sang ayah Kurdi
menceritakan tak pernah ada paksaan dari keluarga. "Dia sendiri yang ingin
bersekolah. Walau kadang ia tampak sangat kelelahan sepulang sekolah, tapi
semangatnya tinggi," ujarnya.
Kurdi berumur 34 tahun, sedangkan istrinya
Sabrah berumur 25 tahun. Jibay adalah anak sulung, adiknya baru berumur empat
tahun. Tiga saudara lainnya sudah meninggal dunia selagi kecil.
Sebagai petani, ia berharap besar bisa
meluluskan keinginan putrinya untuk terus bersekolah.
"Jujur, kemampuan kami terbatas.
Untuk SMP harus ke Hantakan, SMA terdekat berada di Pagat. Semoga nantinya ada
jalan keluar," harapnya. Jarak SMP dan SMA dari Pantai Uang berkali-kali
lipat dari SD Jibay sekarang.
Kurdi dan Sabrah hanyalah tamatan SD.
Seperti kebanyakan orang tua, keduanya mengharapkan masa depan yang lebih baik
untuk buah hatinya. Yang membuat keduanya geram, beberapa kali setiba Jibay di
sekolah, malah terpaksa berbalik pulang. Lantaran kelas yang libur mendadak
karena gurunya tak datang mengajar.
Jibay hanya satu contoh kecil. Masih ada
18 anak lainnya dari Pantai Uang yang setiap harinya bermandi keringat demi
bersekolah.
Melihat kondisi anak-anak Pantai Uang yang sering tak sempat sarapan. Para guru berinisiatif membuat acara masak-masak setiap hari Senin.
Anak-anak diminta membawa beras dari
rumah untuk ditanak menjadi nasi. Sementara lauknya sumbangan seorang donatur
asal Barabai yang prihatin melihat kondisi mereka.***
Sumber
: Radar Banjarmasin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar