Rabu, 14 Desember 2016

Menengok Potret Pendidikan Anak Meratus

Kamis, 15 Desember 2016




Naik sepeda motor dan masih suka telat masuk sekolah? Anda harus malu dengan Jibay. Naik turun gunung sejauh delapan kilometer dengan berjalan kaki, gadis sembilan tahun ini selalu tiba di sekolah sebelum lonceng berdentang.

Tidak mudah bagi anak-anak pegunungan Meratus untuk bisa menikmati pendidikan. Jibay dari Pantai Uang Desa Datar Ajab Kecamatan Hantakan Kabupaten Hulu Sungai Tengah harus bangun tidur sebelum matahari terbit. Sering ia tak sempat sarapan demi mengejar jam masuk sekolah.

Untuk mencapai SDN Haruyan Dayak 2 di Kampung Cabai Desa Patikalain, siswi kelas II ini harus menempuh jarak sejauh 3,9 kilometer. Total hampir delapan kilometer pulang pergi dalam sehari.

Treknya paduan tanjakan curam dari batu cadas, turunan licin dari tanah merah, kubangan lumpur, hutan dan jurang di sisi kanan dan kiri jalan. Dari Pantai Uang ada belasan anak lainnya yang mengecap pendidikan di sekolah yang sama.

Pantai Uang dan Kampung Cabai dipisahkan gunung. Sebagai anak Meratus, Jibay dan teman-temannya 'hanya' butuh waktu tempuh 1,5 jam. Sementara tim dari Radar Banjarmasin, harus ngos-ngosan dan boros waktu sampai tiga jam lebih pendakian untuk mencapai Pantai Uang.

Sering bersekolah tanpa uang saku, Jibay biasanya hanya ditemani botol air minum. Beserta baju ganti agar seragam merah putihnya tak cepat kotor dan masih bisa dipakai keesokan harinya. Kaki Jibay hanya beralas sendal jepit super tipis. Sedikit lebih beruntung dari teman-temannya yang bertelanjang kaki. Sepatu adalah barang mewah.

Seragam sekolah Jibay juga tak bisa disebut layak. Risleting belakang roknya sudah rusak dan dibiarkan menganga. "Jibay menonjol di pelajaran matematika. Anaknya memang pendiam," kata guru honorer yang juga Wali Kelas II, Mardi, Kamis (08/12/2016).

Jibay juga terbilang rajin. Semester lalu, tercatat hanya enam hari dia absen, itu pun lantaran sakit. "Kalau terus begini, semester nanti dia bisa masuk rangking tiga besar," tambahnya yakin.

Benar saja, Jibay luar biasa pendiam dan pemalu. Kalimatnya irit dan selalu menunduk saat ditatap orang asing. Ia mengaku senang bersekolah karena punya banyak teman. "Senang bisa membaca, menulis, berhitung, dan main-main sama kawan," ujarnya. Ditanya cita-cita, jawabnya kelak ingin menjadi seorang guru.

Sementara itu, sang ayah Kurdi menceritakan tak pernah ada paksaan dari keluarga. "Dia sendiri yang ingin bersekolah. Walau kadang ia tampak sangat kelelahan sepulang sekolah, tapi semangatnya tinggi," ujarnya.

Kurdi berumur 34 tahun, sedangkan istrinya Sabrah berumur 25 tahun. Jibay adalah anak sulung, adiknya baru berumur empat tahun. Tiga saudara lainnya sudah meninggal dunia selagi kecil.
Sebagai petani, ia berharap besar bisa meluluskan keinginan putrinya untuk terus bersekolah.

"Jujur, kemampuan kami terbatas. Untuk SMP harus ke Hantakan, SMA terdekat berada di Pagat. Semoga nantinya ada jalan keluar," harapnya. Jarak SMP dan SMA dari Pantai Uang berkali-kali lipat dari SD Jibay sekarang.

Kurdi dan Sabrah hanyalah tamatan SD. Seperti kebanyakan orang tua, keduanya mengharapkan masa depan yang lebih baik untuk buah hatinya. Yang membuat keduanya geram, beberapa kali setiba Jibay di sekolah, malah terpaksa berbalik pulang. Lantaran kelas yang libur mendadak karena gurunya tak datang mengajar.

Jibay hanya satu contoh kecil. Masih ada 18 anak lainnya dari Pantai Uang yang setiap harinya bermandi keringat demi bersekolah.
 
Melihat kondisi anak-anak Pantai Uang yang sering tak sempat sarapan. Para guru berinisiatif membuat acara masak-masak setiap hari Senin.

Anak-anak diminta membawa beras dari rumah untuk ditanak menjadi nasi. Sementara lauknya sumbangan seorang donatur asal Barabai yang prihatin melihat kondisi mereka.***

Sumber : Radar Banjarmasin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jembatan Kayu Ulin di RT 4 Desa Angkinang Selatan

 Jumat, 22 Agustus 2025 Melihat lebih dekat jembatan kayu ulin yang ada di sekitaran RT 4 Desa Angkinang Selatan, Kecamatan Angkinang, Kabup...