Oleh
: Runik Sri Astuti
Dusun Pucukan, Kelurahan Gebang,
Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, adalah kawasan pesisir yang
terisolasi. Anak-anak di daerah itu sulit mengakses pendidikan.
Dengan modal terbatas, Suhartatik (31)
menjalankan pendidikan untuk anak usia dini, mendirikan Taman Pendidikan
Qur'an, serta membantu mengajar di sekolah dasar. Semua dilakukan secara
ikhlas.
Pertengahan Agustus lalu, Suhartatik
tengah asyik mendidik anak-anak di kelas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Creative School di Dusun Pucukan. Bocah-bocah itu bertingkah lucu dan
menggemaskan, kadang merajuk tiba-tiba. Dengan sabar, dia membimbing mereka
sembari menyampaikan pelajaran lewat lagu dan permainan seru.
Seusai mengajar, Suhartatik bergegas
membersihkan ruang kelas yang masih menumpang di SDN Gebang II. Sebagai guru
tunggal sekaligus pengelola PAUD, dia mengurus semuanya: melipat meja belajar,
menggulung tikar, dan menyapu ruangan hingga bersih dari remah-remah sisa jajanan.
Seraya mengasuh putri bungsunya, Siva
(2), Suhartatik melanjutkan pekerjaan dengan memeriksa urusan administrasi SDN
Gebang II. Hari itu dia tak perlu membantu mengajar di sekolah dasar itu.
Selain jajaran guru banyak yang masuk, di sekolah juga tengah kedatangan
mahasiswa yang membantu mengajar.
"Biasanya saya membantu mengajar
murid sekolah dasar. Bahkan, kalau hari Jumat atau saat para guru mengikuti
pelatihan di kota (ibu kota kabupaten), saya mengajar sendirian," ujar
perempuan yang berstatus sukarelawan di bagian tata usaha SDN Gebang II.
Suhartatik menjadi orang terakhir yang
meninggalkan sekolah. Itu dia lakoni sejak menjadi tukang kebun sekolah pada
2007 hingga bertugas di bagian tata usaha merangkap guru bantu sekarang ini.
Dia harus membereskan kelas,
membersihkan ruang, serta mengurus administrasi murid dan guru. Rata-rata pukul
13.00, dia baru beranjak pulang ke rumahnya yang berjarak sekitar 500 meter
dari sekolah.
Saat matahari mulai condong ke barat,
Suhartatik kembali bersiap. Kali ini dia harus membimbing sekitar 27 murid yang
tengah belajar membaca Al Quran dan ilmu agama. Bekalnya tak lain pelajaran
yang diterima semasa duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah Darul Ulum, Kecamatan
Gondang, Kabupaten Mojokerto.
"Saya tak pernah bermimpi menjadi
guru. Waktu kecil dulu, cita-cita saya ingin menjadi orang yang berguna bagi
nusa dan bangsa. Sampai sekarang saya masih tak percaya bisa menjadi
guru," ujar Suhartatik yang mengawali mengajar dengan modal pendidikan
setara sekolah menengah pertama.
Titik
balik
Petualangan Suhartatik di dunia
pendidikan sejatinya tak pernah direncanakan. Lulus madrasah di kampung
halamannya di Kabupaten Mojokerto, dia langsung dinikahkan dengan Mulyono,
nelayan tradisional dari warga Dusun Pucukan. Seperti lazimnya pengantin baru,
dia menurut saat diboyong ke kampung halaman suami.
Dusun Pucukan berada di Teluk Permisan,
di pesisir utara Kabupaten Sidoarjo. Kawasan ini termasuk delta atau daratan di
antara Sungai Porong dan Sungai Kalimas yang bermuara di Selat Madura. Sebagian
besar penduduk di sini adalah nelayan atau pekerja tambak.
Awal tinggal di kampung yang terisolasi
di ujung tambak, Suhartatik hanya bisa pasrah dengan keadaan. Hingga suatu
hari, Kepala SDN II Gebang Suwarno (almarhum) datang mencari anak muda lulusan
SMA untuk membantu menjaga sekolah. Saat itu, ia tahu dirinya menjadi
satu-satunya warga Dusun Pucukan yang berpendidikan paling tinggi.
Singkat cerita, Suhartik mengambil
kesempatan itu dengan niat membantu. Ia menjadi tukang kebun dengan honor Rp
100.000 per bulan. Dia tak pernah mengeluh selama mengurus sekolah dan membantu
mengajar anak-anak. Suwarno lantas mengajaknya mendirikan PAUD setelah prihatin
melihat banyak anak kecil tidak sekolah.
Suhartatik
Lahir:
Mojokerto, 1 Agustus 1985
Suami:
Mulyono (33)
Anak:
Anis Fitria (12), Siva (2)
Pendidikan:
SDN Wonoploso, Kecamatan Gondang,
Kabupaten Mojokerto
Madrasah Tsanawiyah Darul Ulum,
Kecamatan Gondang
Pendidikan Kesetaraan Kejar Paket C di
SMEA Angkasa Kabupaten Sidoarjo
Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia
Dini Universitas Terbuka Surabaya di Sidoarjo (S-1)
Gayung bersambut. Tanpa meninggalkan
pekerjaan sebagai tukang kebun, Suhartatik menerima tawaran mengurus dan
mengajar PAUD meski tanpa imbalan. Pada 2011, dia tergerak mengambil Kejar
Paket C (setara SMA) di ibu kota Kabupaten Sidoarjo. Langkah itu ditempuh demi
meningkatkan taraf pendidikan serta menambah pengetahuan.
Pendidikan kesetaraan itu menjadi bagian
dari pusat kegiatan belajar masyarakat. Kegiatan belajar diadakan tiga kali
atau tiga hari setiap pekan, selama setahun, berlangsung dari pukul 19.00
hingga 21.00.
Di sinilah kegigihan Suhartatik diuji.
Sebab, dia harus menempuh perjalanan melalui jalan setapak pematang tambak
tanpa penerangan sejauh sekitar 20 kilometer. Jika ditempuh dengan sepeda
motor, perlu waktu 1 jam-1,5 jam. Saat hujan, jalanan becek, berlumpur, dan tak
bisa dilewati.
"Saya bersyukur suami mendukung
penuh dan bersedia mengantar ke sekolah meski capek sepulang melaut. Saat
hujan, saya harus naik perahu menyusuri sungai," ujar Suhartatik yang
membiayai pendidikannya dengan honor tukang kebun.
Rampung mengikuti Kejar Paket C, dia
termotivasi untuk melanjutkan kuliah jurusan pendidikan guru PAUD. Namun,
karena kesibukan mengajar di PAUD, mengurus SD, dan Taman Pendidikan Quran, ia
mengambil kuliah jarak jauh yang diselenggarakan universitas swasta di
Sidoarjo.
Selama kuliah, dia kerap berutang kepada
guru-guru di SDN II Gebang. Suaminya pun turut bekerja keras demi mendapatkan
tambahan biaya kuliah. Berkat kegigihan dan keuletannya, ia dapat menyelesaikan
pendidikan sarjana (S-1) selama 4,5 tahun.
Seiring dengan semakin menumpuknya
pekerjaan Suhartatik, Mulyono akhirnya turun tangan membantu mengurus sekolah.
Dia menggantikan posisi istrinya sebagai tukang kebun. Mereka pun bekerja
bahu-membahu dan berjuang bersama menghidupkan lembaga pendidikan yang menjadi
pelita bagi masyarakat pesisir di Dusun Pucukan.
Sempat
risau
Demi menjaga nyala pelita itu,
Suhartatik dan Mulyono tak pernah menghitung tenaga atau harta dan benda yang
dicurahkan. Sebaliknya, mereka mengaku bahagia di tengah kehidupan bersahaja
tanpa mengeluh. Hanya uluran bantuan yang tak mengikat yang diterimanya.
Mereka sempat risau ketika putri pertama
mereka, Anis Fitria (12), harus melanjutkan pendidikan setara SMP. Sebab,
sekolah itu bertempat di kawasan perkotaan yang berjarak puluhan kilometer dari
Dusun Pucukan.
"Bersyukur, ada yang menyekolahkan
anak saya. Bahkan, selain sekolahnya gratis, biaya hidup selama di sana juga
ditanggung. Sekarang saya merasa tenang dan bisa fokus mengembangkan pendidikan
di sini," ucap Suhartatik menahan haru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar