Senin, 03 Oktober 2016

Bela Buruh Migran Sampai ke New York

Senin, 3 Oktober 2016


Oleh : Anita Yossihara & Kris Razianto Mada



Eni Lestari Andayani Adi menjadi sorotan dunia saat berpidato di depan 193 pemimpin negara di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, pertengahan September lalu. Perempuan asal Kediri, Jawa Timur, itu mewakili 224 juta pekerja migran di seluruh dunia.



Eni adalah pekerja rumah tangga (PRT) pertama yang berpidato di forum utama Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Pengungsi dan Pekerja Migran. Kepada para pemimpin dunia, ia menyampaikan pengalaman, pandangan, serta harapannya mengenai penanganan pekerja migran.



Setelah berpidato, Senin (19/09/2016) itu, Eni pun menjadi incaran banyak pihak. Selain meladeni permintaan wawancara berbagai media massa, ia juga memenuhi undangan sejumlah lembaga dan tokoh, termasuk Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang memimpin delegasi Indonesia di forum itu.



Eni sampai di podium Sidang Umum PBB setelah 16 tahun memperjuangkan hak pekerja migran. Ia membentuk Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) di Hongkong tahun 2000 dan memimpinnya hingga tahun 2011.



Ia juga turut merintis aliansi organisasi-organisasi pekerja migran sedunia atau International Migrants Alliance (IMA) dan terpilih menjadi ketuanya pada kongres pertama di Hongkong tahun 2008. Posisi itu diembannya hingga sekarang.



Melalui IMA, Eni mengadvokasi semua pekerja migran di seluruh dunia, termasuk para pekerja level manajerial atau profesional. Aliansi ini mendorong Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 189 Tahun 2011 tentang Pekerja Rumah Tangga serta aktif dalam proses legislasi terkait pekerja migran.



Saat berpidato di PBB, Eni menyampaikan penghargaan atas kesempatan berbicara mewakili pekerja migran. Selama ini, isu-isu pekerja migran dibahas tanpa melibatkan mereka.



Para pekerja migran sebenarnya tidak pernah membayangkan mengadu nasib di luar negeri. Mereka menempuh jalan sulit karena terdesak kebutuhan serta berharap membangun kehidupan lebih layak. Namun, tidak sedikit dari mereka yang terjerat utang, diperdagangkan, bahkan diperbudak.



”Hak-hak dasar kami diingkari. Kami rentan mendapatkan kekerasan, bahkan banyak yang hilang dan mati,” kata Eni.



Untuk itulah, ia meminta agar pekerja migran dipandang sebagai manusia yang bermartabat dan setara dengan manusia lain. Semua pihak harus menjamin pemenuhan hak-hak dasar mereka.



Legislasi Indonesia

Eni mengkhawatirkan nasib pekerja migran Indonesia. Pemerintah kita belum melibatkan mereka dalam proses legislasi. Peraturan terkait pekerja migran kerap merugikannya.



Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) hanya mengatur penempatan tenaga kerja. Perlindungannya masih minim.



”Penempatan itu sangat saklekoleh PJTKI (penyalur jasa TKI). Dan apakah melalui PJTKI itu hak kami terlindungi? Ternyata tidak!” kata Eni saat ditemui di sebuah hotel di New York sehari setelah pidatonya.



Ia mencontohkan pengalamannya sendiri saat bekerja di Hongkong tahun 1999. Kendati disalurkan PJTKI, ternyata ia termasuk TKI ilegal, bahkan dibayar di bawah standar.



UU Nomor 39 Tahun 2004 cenderung hanya mewakili kepentingan bisnis PJTKI. Hak-hak para pekerja migran justru kurang dilindungi.



Kondisi itu terjadi karena tidak sedikit anggota legislatif penyusun UU itu menjadi bagian dari perusahaan penyalur TKI. Aturannya pun kental kepentingan bisnis penyalur, bahkan seakan melegalkan perdagangan manusia.



Pekerja migran harus melewati rantai panjang sebelum berangkat ke luar negeri. Biaya persiapannya juga besar. ”Orang bekerja ke luar negeri karena tidak punya penghasilan di kampungnya. Ini malah diminta bayar macam-macam,” katanya.



Dalam catatan Kompas, Ketua Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) Nusron Wahid pernah mengungkapkan kerumitan proses pemberangkatan TKI. Mereka harus melewati 22 pintu dan membayar biaya besar.



Eni Lestari Andayani

Lahir:

Kediri, Jawa Timur

Hobi:

Membaca, olahraga

Pekerjaan:

Pekerja rumah tangga di Hongkong (1999-sekarang)

Organisasi:

Ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di Hongkong (tahun 2000-2011)

Ketua International Migrants Alliance tahun 2008-sekarang



”Karena prosesnya mahal dan rumit, banyak orang berangkat secara ilegal. Di Malaysia dan Singapura, mudah sekali menemukan TKI ilegal. Masuk dengan visa pelancong, tetapi malah bekerja,” tutur Eni. Kondisi itu sangat rawan dan jutaan pekerja migran selalu ketakutan.



Tiadanya kepastian hukum untuk pekerja migran memicu soal ini. Di banyak negara, pekerja migran dianggap masalah. Padahal, perekonomian sejumlah negara justru bergerak karena pekerja migran.



Eni bersama IMA berusaha keras mendorong perlindungan hukum bagi pekerja migran serta menyadarkan mereka akan hak-haknya. Itu pekerjaan berat.



Hingga hampir dua dekade lalu, banyak TKI di Hongkong takut untuk sekadar bertanya apa hak mereka. Eni dan rekan-rekannya memanfaatkan Minggu pagi di Taman Victoria, waktu dan tempat libur mayoritas TKI di negeri itu, untuk membangkitkan keberanian mereka.



”Butuh tiga tahun, setiap Minggu pagi, untuk menghapus ketakutan itu Belum sampai tahap mengajak kawan-kawan tahu apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan haknya,” katanya.



Mayoritas TKI di sejumlah negara tidak tahu apa hak mereka. Di tempat pelatihan dan penampungan, mereka hanya diajarkan menggunakan aneka alat rumah tangga. ”Tidak ada pelajaran tentang hukum, kebudayaan masyarakat di negara tujuan, apalagi soal hak-hak pekerja. Padahal, itu semua dibutuhkan agar tidak ada perampasan hak,” ujarnya.



Pengalaman pribadi

Eni lahir dari keluarga pekerja migran. Beberapa paman dan sepupunya jadi pekerja migran, sebagian ilegal. Hingga kini, ia masih menjadi PRT di Hongkong.



Eni terpaksa berangkat ke Hongkong karena ingin mendapatkan uang untuk kuliah. Namun, apa yang dia hadapi justru jauh dari bayangan itu.



Sejak melamar ke PJTKI, ia harus tinggal di penampungan selama lima bulan. Tidak ada pelatihan. Para calon TKI justru diperlakukan tidak manusiawi, tidur di kasur gulung tipis, dan dilarang berkomunikasi dengan siapa pun, termasuk keluarga.



”Kami semua tidak berdaya. Paspor kami ditahan agen. Saat meminta pulang, saya malah diminta bayar denda Rp 2 juta,” ujarnya.



Setelah diberangkatkan ke Hongkong, Eni disalurkan secara ilegal oleh PJTKI kepada seorang majikan. Majikan itu memperlakukannya dengan tidak manusiawi. Atas saran PJTKI, ia dibayar di bawah standar gaji PRT di negeri itu.



Banyak pula larangan, seperti tidak boleh menggunakan mesin cuci, alat pel, hingga dilarang libur selama empat bulan. Peralatan makan untuk Eni pun dipisah dengan peralatan makan keluarga majikan.



Perlakuan diskriminatif itu membuat Eni kabur setelah tujuh bulan bekerja. Namun, saat minta paspornya kepada pihak PJTKI, ia malah mendapat kekerasan. Untung saja ada teman dan polisi yang menyelamatkannya. Perempuan berperawakan kecil itu kemudian ditempatkan di penampungan bernama Bethune House.



Selama lima bulan di sana, ia tidak mendapatkan gaji, tetapi mengambil banyak pelajaran. Ia bertemu dengan banyak buruh migran dari sejumlah negara dan mulai menyadari pentingnya memperjuangkan hak-hak pekerja migran. Ia juga belajar mengadvokasi para pekerja migran yang bermasalah.



Eni getol memperjuangkan hak-hak pekerja migran. Partisipasinya di organisasi migran internasional merupakan jembatan untuk memperbaiki pengaturan pekerja migran di Indonesia.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rusdianyah Bersiap Mengikuti Kejuaraan Atletik di Kandangan

 Sabtu, 27 September 2025 Rusdiansyah, siswa Kelas IX Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 3 Hulu Sungai Selatan (HSS), bersiap mengikuti Kejua...