Sabtu, 11 Oktober 2025
Di tengah derasnya arus dunia digital, kini bukan hanya artis atau selebritas yang meramaikan jagat media sosial.
Dari sebuah desa di Pulau Jawa, muncul sosok kepala desa yang menarik perhatian publik karena gaya komunikasinya yang unik, energik, dan penuh semangat di dunia maya.
Melalui platform seperti TikTok dan Instagram, sang kepala desa kerap menampilkan dirinya dalam berbagai kegiatan pemerintahan dan sosial : memperbaiki jalan desa, memantau pembangunan, hingga bergurau bersama warganya.
Semua disajikan dengan gaya santai dan jenaka, jauh dari kesan birokrat kaku yang biasanya kita bayangkan.
Selama ini, figur kepala desa sering digambarkan sebagai sosok formal yang bekerja di balik meja dan menghadiri rapat-rapat resmi.
Namun, kepala desa dari pulau Jawa ini mematahkan pola lama. Ia menggunakan media sosial untuk menjembatani komunikasi antara pemerintah desa dan masyarakatnya.
Setiap unggahan bukan sekadar hiburan, melainkan juga bentuk laporan kinerja. Ia menampilkan transparansi pembangunan, mengabarkan kemajuan desa, sekaligus mengajak warga untuk terlibat.
Cara komunikasinya yang ringan dan menghibur menjadikan pesan pembangunan terasa lebih dekat — terutama bagi generasi muda yang biasanya jauh dari urusan pemerintahan desa.
Barangkali, inilah wajah baru desa digital yang sesungguhnya: desa yang mampu berbicara dengan bahasa zamannya.
Namun, di balik apresiasi yang luas, muncul pula perdebatan : “Apakah pantas seorang kepala desa tampil terlalu santai atau membuat konten lucu di media sosial?” Pertanyaan ini wajar.
Sebab kepala desa bukan hanya figur publik, tapi juga pemegang amanah masyarakat dan simbol pemerintahan di tingkat paling bawah.
Sebagai pejabat publik, ia terikat oleh kode etik jabatan, yang menuntut kesopanan, integritas, dan menjaga wibawa pemerintahan.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tidak melarang kepala desa aktif di media sosial. Namun, setiap tindakan harus tetap berpijak pada kepatutan, moralitas, dan tanggung jawab publik.
Dengan kata lain, gaya nyentrik boleh, asal tidak melanggar batas etika, hukum, dan kepentingan masyarakat. Fenomena ini menggambarkan tantangan baru dalam kepemimpinan di era digital.
Di satu sisi, masyarakat ingin pemimpin yang dekat, sederhana, dan apa adanya. Namun di sisi lain, ada harapan agar wibawa dan martabat jabatan tetap terjaga.
Popularitas tidak boleh menenggelamkan profesionalitas. Kepala desa adalah pelayan masyarakat (public servant), bukan sekadar public figure. Kehadirannya di media sosial seharusnya menjadi sarana untuk melayani, bukan semata untuk tampil menarik di layar.
Jika ditinjau secara positif, gaya kepemimpinan seperti ini sebenarnya menandai lahirnya generasi baru kepala desa — yang adaptif, komunikatif, dan kreatif.
Selama media sosial digunakan untuk : Menyampaikan program dan kebijakan desa, Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, Menggerakkan gotong royong dan semangat warga, maka keberadaannya justru memperkuat kepercayaan publik.
Inilah bentuk digital leadership di akar rumput: pemimpin yang memahami zaman, memanfaatkan teknologi, namun tetap berpijak pada nilai-nilai moral dan pengabdian.
Kepala desa bukan hanya pejabat administratif, tetapi juga wajah masyarakat yang dipimpinnya. Setiap perilaku — baik di ruang publik maupun dunia maya — adalah cermin dari nilai, budaya, dan kepribadian sebuah desa.
Sang kepala desa dari Pulau Jawa itu mungkin tampil dengan gaya berbeda, tapi mungkin pula justru di sanalah letak daya tariknya : berani menembus sekat lama.
Menampilkan wajah pemerintahan yang lebih manusiawi, terbuka, dan dekat dengan rakyatnya. Yang terpenting, bukan bagaimana ia tampil, tetapi apa manfaat yang ia bawa bagi masyarakatnya.
Jika gaya unik itu membuat warga lebih semangat bergotong royong dan mencintai desanya, bukankah itu sebuah bentuk pengabdian juga. (ahu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar