Kamis, 09 April 2015

Tuhan, Indonesia, dan Kalimantan Selatan (Tadarus Rembulan dalam Kajian Perbandingan)

Jum'at, 10 April 2015


Oleh : Sainul Hermawan

            Puisi adalah buah dari petualangan imajinasi dari negeri-negeri yang jauh sampai negeri sendiri dan diri sendiri. Keluasan wilayah itu memustahilkan kita untuk membicarakannya dalam satu pemahaman umum. Oleh karena itu, secara khusus, tulisan ini akan fokus pada tema yang telah dipilih. Implikasinya, sebagian besar atau kecil puisi dalam kumpulan ini diabaikan. Dengan demikian, ada ruang terbuka bagi pembaca lain untuk ikut serta membicarakannya. Lebih dari itu, tema yang sedang dibicarakan tentu masih pula bisa diperdalam karena mungkin saja ulasan ini hanyalah buah dari satu kemungkinan peta persepsi subjektif yang meragukan.
            Membandingkan antara karya yang satu dengan yang lain memiliki manfaat untuk mengetahui kualitas karya. Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) X Tahun 2013 merupakan objek kajian yang menarik untuk dibandingkan. Perbandingan ini akan dibatasi pada puisi yang bicara tentang Tuhan, Indonesia, dan wilayah-wilayah di Kalimantan Selatan. Dengan demikian kita akan bersentuhan dengan isu-isu religiusitas, nasionalisme, dan regionalisme. Dalam batasan ini, tentu akan banyak puisi yang terlewati. Biarlah pembaca lain yang menunaikan tugas itu dan berbagi gagasan setelah itu.

Tentang Tuhan
            Karena Cinta (22) Amri Sihanang menggambarkan aku lirik yang galau. Mengapa hidup yang dijalani dengan memupuk cinta dan rindu kepada Tuhan merasa kebahagiaannya tak tersentuh oleh Tuhan ? Sementara Padaku, Ada Pasang Surut Gerhana (29) Arief Rahman Heriansyah seperti berdialog dengan sajak-sajak lain dalam buku ini. Baginya sajak yang merindukan Tuhan tampak jadi sajak-sajak picisan. Termasuk sajaknya sendiri yang logikanya kacau pada bait-bait terakhir. Sajak picisan itu bisa kita maknai sebagai sajak-sajak yang dangkal, berakrobat dengan kata-kata, dan tak mampu meninggalkan hikmah yang bisa mengisi ingatan jangka panjang. Sajak Cinta yang Hakiki (189) Rizki Safari, misalnya, cenderung bisa dikelompokkan dalam puisi picisan. Tuhan dibawa dalam urusan pribadi yang tak punya implikasi sosial yang luas.
            Asep Fauzi Sastra menghadirkan Tuhan melalui air hujan. Sajak Akulah Hujan (36) tak menunjukan aspek-aspek baru dari air hujan sebagaimana yang telah banyak diketahui, bahwa air hujan membawa manfaat dan mudharat. Ketiadaan pemahaman baru tentang air Tuhan juga menjadi ciri kepicisannya.
            Untunglah ada sajak Dua Jari di Bawah Susu (79) Hajiriansyah yang secara dramatis menghadirkan Tuhan melalui indra yang tak lazim : mata hati. Mata hati yang seharusnya melihat, diberi nilai rasa yang lebih dengan memberikan fungsi pendengaran kepada mata. Orang-orang yang belajar teater sudah biasa dengan latihan seperti ini : menyimak dengan mata, bukanlah pekerjaan mudah karena ketika ia melihat wujud Tuhan hanya dari namanya, ia sekaligus mendengar suara-Nya. Suara itu kemudian ia terjemahkan ke dalam jejak pengalaman bertemu buaya, bertemu tapah, dan lain-lain. Inilah salah satu sajak tentang Tuhan yang mempesona dan terbebas dari label Arief tentang sajak picisan. Tuhan hadir dalam kedalaman, bukan di permukaan yang klise.
            Jika Hajriansyah membawa Tuhan dengan idiom-idiom pengalaman budaya lokal, sajak Pintu (93) Ibramsyah Amandit menghadirkan Tuhan dengan pengetahuan agamanya. Sajak ini harus dibaca berdampingan dengan ayat-ayat yang menjadi hipogramnya jika kita ingin memasuki maknanya yang telatif utuh. Sebagai penyair yang secara sadar berusaha menghindari kata Allah, kehadiran diksi itu dalam sajak ini menjadi semacam ganjalan puisitas sehingga sajak ini terkesan kurang ikhlas memilih diksi itu.
            Berbeda dari semua sajak diatas, Julmani atau Zoel Kanwa (penulis novel Tuhanku Kekasihku) menghadirkan Tuhan dengan nada ateistik. Sajak Puisi Tak Bisa Mati (107) menyindir puisi-puisi yang membawa-bawa nama Tuhan dengan cita rasa yang dangkal. Puisi semacam itu langsung mampus begitu selesai ditulis oleh penyairnya. Ia menyerukan untuk berjihad, mencipta puisi yang mampu menggetarkan hati, membuat lawan-lawan yang membaca ciut nyalinya. Namun kata sapih dalam salah satu lariknya sungguh salah pakai : Lahirkan lagi puisi dari hatimu / Sapih dengan darah-segarmu. Dalam KBBI, sapih berarti mengentikan anak menyusu dari ibunya, atau mengakhiri periode menyusu. Sapih dengan tentu berbeda dari sapih dari. Frase sapih dengan sulit dimaknai atau maknanya tak bisa dijangkau.
            Sajak Rumah Lautku (176) Oka Miharzha S menghadirkan serpihan senyum Tuhan diantara serpihan-serpihan larik yang tidak terhubung secara logis. Mungkin karena si aku hanya
mampir sebentar ke sebuah pantai yang luas, lantas muncul emosi sesaat dan merumuskan rumah dengan segera. Tuhan dalam sajak ini benar-benar jadi serpihan.
            Lebih rumit lagi, ketika Samsuni Sarman membawa Tuhan ke dalam sajak Ruang Gratifikasi (200). Logikanya aneh : maka koruptor diziarahi, dan Tuhan menyelamatkan dosanya. Jika benar demikian, di negeri lupa daratan, Tuhan telah menjadi pendukung koruptor.

Tentang Indonesia
            Bagaimana Indonesia dipuisikan oleh publik ASKS tahun ini ? A Rahman Al Hakim membuka pembicaraan tentang Indonesia dalam sajak Indonesia Pilu (3). Sajak bergaya syair atau sastra lama ini hanya melihat sisi suram Indonesia. Pun tak ada diksi yang benar-benar segar ketika Bambang Eka Prasetya dalam sajaknya Ijinkan Aku Menjadi (45) bicara tentang bagaimana kelahiran Indonesia. Ia mengoposisikan Indonesia yang terjajah dengan penyair yang merdeka. Tetapi mengapa, untuk menjadi penyair lagi, ketika Indonesia tetap terjajah kok perlu minta izin. Izin kepada siapa ? Kepada penjajah ?
            Hendra Royadi dalam sajak Indonesia (87) mencitrakan manusia di dalamnya bahkan lebih buruk daripada setan. Indonesia telah keruh dan jenuh. Kesegaran alamiah telah lama hilang. Penjabaran detilnya bisa dibaca dalam sajak Menanti Keadilan di Negeriku Indonesia (111-112) Jumadi Khairi Fitri, sajak Nyanyian Dusun Terluka (148) Mariyana, dan sajak Insan Pribumi (191-192) Rizki Safari.
            Untunglah Zulfaisal Putera menyuguhkan sajak indah tentang Indonesia yang tak indah dalam sajak Indonesia Tanah Air Jelaga (220-221) yang merupakan parodi situasi dari lagu Indonesia Pusaka. Kepada sajaknya, sajak-sajak lain perlu melihat arti memilih dan memilah diksi untuk menyajikan emosi secara ritmis tanpa kehilangan keutuhan narasi. Zulfaisal menunjukkan kekuatan pendekatan intertekstual untuk menyuguhkan situas Indonesia.
            Dalam gaya yang lain, Zulkifli Musaba, mengajak kita ber Indonesia dengan ikhlas, dalam sajak Sudah Ikhlas Kita Ber Indonesia (223-224). Sajak ini merinci konsekuensi jika kita ikhlas ber-Indonesia. Puisi yang terlampau berat pada pesan dan tidak memberikan peluang kepada pembacanya untuk penasaran karena prinsip-prinsip ketaklangsungan puisi lenyap dari puisi semacam ini.

Tentang Kalsel
            Bagaimana Tadarus Rembulan mengangkat isu-isu Kalimantan Selatan ? Beberapa kota atau kabupaten atau bagiannya menjadi tema puisi ASKS X. Banjarbaru ada dalam sajak Aan Setiawan, Kincir Senja di Jantung Kota (5). Tema sajak ini terlalu sempit, terpesona pada punahnya sebuah kincir angin di kotanya. Akhmad Husaini, penyair Kandangan, dalam Simfoni Banjarbaru, dengan susah payah menangkap kesedihan Banjarbaru dalam rangkaian larik-larik yang tidak utuh. Cintaku di Banjarbaru (84) tampak kesulitan mengungkapkan rasa cinta yang indah karena kota ini belum mampu ditangkap secara utuh. Puisi tentang Mingguraya Ogi F Nuzuli menunjukan kematangan sendiri dalam memaknai kenangan. Pada tiga bait ia paparkan kenangannya dan pada bait terakhir ia menunjukkan sikap terbuka pada kenangan lain tentang kota ini. Puisi yang jelas tetapi menyimpan sikap bijak pada kenyataan. Ogi tampak ingin melawan dengan puisi pihak-pihak yang ingin memprovokasi. Artinya, bagi Ogi pun kini Banjarbaru berada dalam situasi perang dalam sekam. Berbeda bagi Radius, Mingguraya (164) adalah kenangan yang lain, yang dipahaminya bukan bagian dari kau lirik yang pernah hadir di sana. Waktu pada akhirnya akan mengubah Mingguraya.
            Abdurrahman El Husaini dalam Cacapan Kabut (11) membongkar dusta citra-citra kemakmuran di banuanya : Banjar. Udara di Kesultanan Banjar humap, sungainya kering. Secara tak langsung sajak ini menyangkal sebutan umum bahwa Banjar itu negeri seribu sungai dalam kesadaran tentang sungai yang benar-benar segar. Sungai yang sengsara di Banjar juga dikuatkan dalam Seloka Tangisan Kali Martapura (173) karya Rezqie M Al Fajar.
            Ekspresi heroik untuk menggugat keadaan Kalimantan yang rusak dapat kita baca dalam Kalimantan, Biarkan Kami yang Bicara karya Ali Syamsudin Arsi. Kalimantan rusak karena kita tak peduli, pendatang dan Jakarta pun tak perduli. Puisi ini terlalu percaya diri dan berpretensi bahwa kamilah yang menyuarakan perlawanan itu. Siapakah kami itu ? Apakah kami itu kita dan juga mereka ? Puisi ini jelas, tapi sekaligus kabur dalam pengertian, sajak ini tak memiliki jejak historis perlawanan sebagaimana sajak Amiri Baraka, Chairil Anwar, Widji Tukul, atau Emha Ainun Nadjib sebagai bagian dari gerakan aktivis. Meskipun demikian, ia bisa jadi bagian dari puisi pergerakan kelak. Dibanding puisi sejenis lain, ia memiliki unsur bunyi yang menarik, terutama jika dibacakan oleh ASA sendiri. Tinggal menunggu sambutan pembaca. Berbeda dari puisi diatas : puisi ASA Hutan Kalimantan dengan lembut menggemakan kecemasan hilangnya ingatan tentang hutan Kalimantan pada generasi masa depan. Kedua sajak diatas jadi satu rangkaian dengan sajak berikutnya, Kembali Kepada Daun di Hutan. Dengan ketiga sajak itu, ASA seperti mencoba membuat trilogi puisi.
            Tiga puisi Adjim Arijadi tampak mempertegas arti logo ASKS. Sajak pertama mengekspresikan kegeraman terhadap peran kaum cerdik pandai di negerinya. Sajak kedua Pasar Terapung (56) bicara soal ironi pasar itu sebagai ikon pariwisata. Sajak ketiga mengeksplorasi religiusitas.
            Fahmi Wahid pun mengungkapkan kegalauannya atas lenyapnya beberapa seni tradisi dari Banua dalam sajak Maafkan Jika Aku (58). Pun dalam sajak Kusaksikan, Fahmi meradang atas rusaknya lingkungan di Kalsel.
            Dalam dua sajak tentang Rantau (90-91), tempat eksplorasi batubara, karya Jamal T Suryanata, mencoba mengekspresikan kemunafikan manusia dari sudut pandangan orang-orang yang digilas sejarah yang berserakan dan mereka berusaha merajutnya. Kemarahan dalam dua puisi itu tak kehilangan keindahan liriknya. Begitu pula Jhon FS Pane (94-95) pun gelisah dengan implikasi globalisasi yang menggerus tradisi lama. Sebagai bagian dari Indonesia yang gandrung kebebasan, orang-orang di kotanya (mungkin di Kotabaru) merayakan kehancuran.

Simpulan

            Puisi memerlukan kesadaran proksimitas. Tema yang dekat dengan persoalan aktual pembaca jauh lebih bermakna daripada puisi yang mengusung tema antah berantah. Keantahberantahan puisi pun bisa bersumber dari estetika personal yang tidak terkoneksi dengan baik dengan personal historis, kultural, dan sosial. Lebih dari sekadar kemampuan untuk terkoneksi dengan tiga hal itu, kesadaran untuk menguasai piranti puitika akan membuat sajak perlawanan tetap terbaca dalam nada perlawanan yang lembut yang menjaga kualitas lirisnya. Dulce et utile kata Horace : mendidik pembaca harus dilakukan dengan keindahan logika. Meskipun puisi identik dengan ekspresi rasa, ia perlu punya logika yang dibalut dengan metafora dan gaya bahasa.
            Dalam hal tema, puisi yang diperbandingkan ini merupakan monumen perasaan bahwa Indonesia masih bermasalah. Sastrawan perlu lebih jeli meneropong tema-tema yang tidak umum dalam mengekspresikan masalah Indonesia. Bagaimana hubungan beberapa tema tersebut dengan tema yang sama dalam antologi puisi ASKS sebelumnya ? Topik ini bisa dibicarakan lebih jauh di ASKS selanjutnya atau saat ini sehingga publik ASKS memahami sejarah puisi yang lahir melalui ASKS.
            Antologi ASKS yang akan datang perlu menguatkan fungsi kuratorial sehingga antologi benar-benar menjadi monumen pencapaian dalam berpuisi. Sistematika isi buku pun perlu dibagi menjadi beberapa kelompok tema sehingga memudahkan pembaca dalam mencari tema kesukaan mereka. Perkembangan tema puisi dari ASKS I sampai X perlu dilihat kembali secara intrinsik maupun ekstrinsik. Pilihan tema penulis itu menunjukkan tingkatan estetiknya. Puisi yang matang tak bekutat pada persoalan diri sendiri semata yang sepele, tetapi mampu mengkoneksikan dengan isu-isu sosial dan budaya.***


Loktabat Utara, 12/10/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi AHU : Watak Simbol Intonasi Perangai Jingga

 Jumat, 22 Maret 2024 Cerita guramang alasan manis kian sinis watak simbolis kehendak penawar lara senarai kehendak intim suara nurani ego k...