Oleh : Sainul Hermawan
Puisi adalah buah dari petualangan
imajinasi dari negeri-negeri yang jauh sampai negeri sendiri dan diri sendiri.
Keluasan wilayah itu memustahilkan kita untuk membicarakannya dalam satu
pemahaman umum. Oleh karena itu, secara khusus, tulisan ini akan fokus pada tema yang telah dipilih.
Implikasinya, sebagian besar atau kecil puisi dalam kumpulan ini diabaikan.
Dengan demikian, ada ruang terbuka bagi pembaca lain untuk ikut serta
membicarakannya. Lebih dari itu, tema yang sedang dibicarakan tentu masih pula
bisa diperdalam karena mungkin saja ulasan ini hanyalah buah dari satu
kemungkinan peta persepsi subjektif yang meragukan.
Membandingkan antara karya yang satu
dengan yang lain memiliki manfaat untuk mengetahui kualitas karya. Antologi Puisi Aruh
Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) X Tahun 2013
merupakan objek kajian yang menarik untuk dibandingkan. Perbandingan ini akan
dibatasi pada puisi yang bicara
tentang Tuhan, Indonesia, dan wilayah-wilayah di Kalimantan Selatan. Dengan demikian kita akan bersentuhan dengan isu-isu
religiusitas, nasionalisme, dan regionalisme. Dalam batasan ini, tentu akan banyak puisi yang terlewati. Biarlah pembaca lain yang menunaikan tugas itu dan
berbagi gagasan setelah itu.
Tentang Tuhan
Karena Cinta (22) Amri Sihanang
menggambarkan aku lirik yang galau. Mengapa hidup yang dijalani dengan memupuk
cinta dan rindu kepada Tuhan merasa kebahagiaannya tak tersentuh oleh Tuhan ? Sementara Padaku, Ada Pasang Surut
Gerhana (29) Arief Rahman Heriansyah seperti berdialog dengan sajak-sajak lain
dalam buku ini. Baginya sajak yang merindukan Tuhan tampak jadi sajak-sajak
picisan. Termasuk sajaknya sendiri yang logikanya kacau pada bait-bait terakhir. Sajak picisan itu bisa kita
maknai sebagai sajak-sajak yang dangkal, berakrobat dengan kata-kata, dan tak
mampu meninggalkan hikmah yang bisa mengisi ingatan jangka panjang. Sajak Cinta
yang Hakiki (189) Rizki Safari, misalnya, cenderung bisa dikelompokkan dalam puisi picisan. Tuhan dibawa
dalam urusan pribadi yang tak punya implikasi sosial yang luas.
Asep Fauzi Sastra menghadirkan Tuhan
melalui air hujan. Sajak Akulah Hujan (36) tak menunjukan aspek-aspek baru dari
air hujan sebagaimana yang telah banyak diketahui, bahwa air hujan membawa
manfaat dan mudharat. Ketiadaan pemahaman baru tentang air Tuhan juga menjadi
ciri kepicisannya.
Untunglah ada sajak Dua Jari di Bawah
Susu (79) Hajiriansyah yang secara dramatis menghadirkan Tuhan melalui indra yang tak lazim : mata hati. Mata hati yang seharusnya melihat, diberi nilai rasa
yang lebih dengan memberikan fungsi pendengaran kepada mata. Orang-orang yang belajar teater sudah biasa
dengan latihan seperti ini : menyimak dengan mata, bukanlah pekerjaan mudah karena ketika
ia melihat wujud Tuhan hanya dari namanya, ia sekaligus mendengar suara-Nya.
Suara itu kemudian ia terjemahkan ke dalam jejak pengalaman bertemu buaya,
bertemu tapah, dan lain-lain. Inilah salah satu sajak tentang Tuhan yang mempesona
dan terbebas dari label Arief tentang sajak picisan. Tuhan hadir dalam
kedalaman, bukan di permukaan yang
klise.
Jika Hajriansyah membawa Tuhan dengan
idiom-idiom pengalaman budaya lokal, sajak Pintu (93) Ibramsyah Amandit menghadirkan Tuhan dengan pengetahuan agamanya. Sajak ini harus dibaca
berdampingan dengan ayat-ayat yang
menjadi hipogramnya jika kita ingin memasuki maknanya yang telatif utuh. Sebagai
penyair yang secara sadar berusaha menghindari kata Allah, kehadiran diksi itu
dalam sajak ini menjadi semacam ganjalan puisitas sehingga sajak ini terkesan
kurang ikhlas memilih diksi itu.
Berbeda dari semua sajak diatas,
Julmani atau Zoel Kanwa (penulis novel Tuhanku Kekasihku) menghadirkan Tuhan
dengan nada ateistik. Sajak Puisi Tak Bisa Mati (107) menyindir puisi-puisi
yang membawa-bawa nama Tuhan dengan cita rasa yang dangkal. Puisi semacam itu
langsung mampus begitu selesai ditulis oleh penyairnya. Ia menyerukan untuk
berjihad, mencipta puisi yang mampu menggetarkan hati, membuat lawan-lawan yang
membaca ciut nyalinya. Namun kata sapih dalam salah satu lariknya sungguh salah
pakai : Lahirkan lagi puisi dari hatimu / Sapih dengan darah-segarmu. Dalam
KBBI, sapih berarti mengentikan anak menyusu dari ibunya, atau mengakhiri
periode menyusu. Sapih dengan tentu berbeda dari sapih dari. Frase sapih dengan
sulit dimaknai atau maknanya tak bisa dijangkau.
Sajak Rumah Lautku (176)
Oka Miharzha S menghadirkan serpihan senyum Tuhan diantara serpihan-serpihan
larik yang tidak terhubung secara logis. Mungkin karena si aku hanya
mampir sebentar ke sebuah pantai yang luas,
lantas muncul emosi sesaat dan merumuskan rumah dengan segera. Tuhan dalam
sajak ini benar-benar jadi serpihan.
Lebih rumit lagi, ketika Samsuni
Sarman membawa Tuhan ke dalam sajak Ruang Gratifikasi (200). Logikanya aneh :
maka koruptor diziarahi, dan Tuhan menyelamatkan dosanya. Jika benar demikian, di negeri lupa daratan, Tuhan telah menjadi pendukung koruptor.
Tentang Indonesia
Bagaimana Indonesia dipuisikan oleh publik ASKS tahun ini ? A Rahman Al Hakim membuka pembicaraan tentang
Indonesia dalam sajak Indonesia Pilu (3). Sajak bergaya syair
atau sastra lama ini hanya melihat sisi suram Indonesia. Pun tak ada diksi yang
benar-benar segar ketika Bambang Eka
Prasetya dalam sajaknya Ijinkan
Aku Menjadi (45) bicara tentang bagaimana kelahiran Indonesia. Ia mengoposisikan Indonesia yang terjajah dengan penyair yang
merdeka. Tetapi mengapa, untuk menjadi
penyair lagi, ketika Indonesia tetap
terjajah kok perlu minta izin. Izin kepada siapa ? Kepada penjajah ?
Hendra Royadi dalam sajak Indonesia (87) mencitrakan manusia di
dalamnya bahkan lebih buruk daripada setan. Indonesia telah keruh dan jenuh. Kesegaran alamiah telah lama hilang. Penjabaran
detilnya bisa dibaca dalam sajak
Menanti Keadilan di Negeriku Indonesia (111-112) Jumadi Khairi Fitri, sajak Nyanyian Dusun Terluka (148) Mariyana, dan sajak Insan Pribumi (191-192) Rizki
Safari.
Untunglah Zulfaisal Putera menyuguhkan sajak indah tentang Indonesia yang tak indah dalam sajak
Indonesia Tanah Air Jelaga (220-221) yang
merupakan parodi situasi dari
lagu Indonesia Pusaka. Kepada sajaknya,
sajak-sajak lain perlu melihat arti memilih dan memilah diksi untuk menyajikan emosi secara ritmis tanpa kehilangan keutuhan narasi.
Zulfaisal menunjukkan kekuatan pendekatan intertekstual untuk menyuguhkan situas Indonesia.
Dalam gaya yang lain, Zulkifli Musaba,
mengajak kita ber Indonesia dengan
ikhlas, dalam sajak Sudah Ikhlas Kita Ber Indonesia (223-224).
Sajak ini merinci konsekuensi jika kita ikhlas ber-Indonesia. Puisi yang terlampau berat pada
pesan dan tidak memberikan peluang kepada pembacanya untuk penasaran karena prinsip-prinsip
ketaklangsungan puisi lenyap dari puisi semacam ini.
Tentang Kalsel
Bagaimana Tadarus
Rembulan mengangkat isu-isu Kalimantan Selatan ? Beberapa kota atau kabupaten
atau bagiannya menjadi tema puisi ASKS X. Banjarbaru ada dalam sajak Aan
Setiawan, Kincir Senja di Jantung Kota (5). Tema sajak ini terlalu sempit,
terpesona pada punahnya sebuah kincir angin di kotanya. Akhmad Husaini, penyair
Kandangan, dalam Simfoni Banjarbaru, dengan susah payah menangkap kesedihan
Banjarbaru dalam rangkaian larik-larik yang tidak utuh. Cintaku di Banjarbaru
(84) tampak kesulitan mengungkapkan rasa cinta yang indah karena kota ini belum
mampu ditangkap
secara utuh. Puisi tentang Mingguraya Ogi F Nuzuli menunjukan kematangan
sendiri dalam memaknai kenangan. Pada tiga bait ia paparkan kenangannya dan
pada bait terakhir ia menunjukkan sikap terbuka pada kenangan lain tentang kota
ini. Puisi yang jelas tetapi menyimpan sikap bijak pada kenyataan. Ogi tampak
ingin melawan dengan puisi pihak-pihak yang ingin memprovokasi. Artinya, bagi Ogi pun kini Banjarbaru
berada dalam situasi perang dalam sekam. Berbeda bagi Radius, Mingguraya (164)
adalah kenangan yang lain, yang dipahaminya bukan bagian dari kau lirik yang
pernah hadir di sana. Waktu pada akhirnya akan mengubah Mingguraya.
Abdurrahman El Husaini dalam Cacapan
Kabut (11) membongkar dusta citra-citra kemakmuran di banuanya : Banjar. Udara di
Kesultanan Banjar humap, sungainya kering. Secara tak langsung sajak ini
menyangkal sebutan umum bahwa Banjar itu negeri seribu sungai dalam kesadaran
tentang sungai yang benar-benar segar. Sungai yang sengsara di Banjar juga
dikuatkan dalam Seloka Tangisan Kali Martapura (173) karya Rezqie M Al Fajar.
Ekspresi heroik untuk menggugat
keadaan Kalimantan yang rusak dapat kita baca dalam Kalimantan, Biarkan Kami
yang Bicara karya Ali Syamsudin Arsi. Kalimantan rusak karena kita tak peduli,
pendatang dan Jakarta pun tak perduli. Puisi ini terlalu percaya diri dan
berpretensi bahwa kamilah yang menyuarakan perlawanan itu. Siapakah kami itu ?
Apakah kami itu kita dan juga mereka ? Puisi ini jelas, tapi sekaligus kabur
dalam pengertian, sajak ini tak memiliki jejak historis perlawanan sebagaimana
sajak Amiri Baraka, Chairil Anwar, Widji Tukul, atau Emha Ainun Nadjib sebagai
bagian dari gerakan aktivis. Meskipun demikian, ia bisa jadi bagian dari puisi
pergerakan kelak. Dibanding puisi sejenis lain, ia memiliki unsur bunyi yang
menarik, terutama jika dibacakan oleh ASA sendiri. Tinggal menunggu sambutan
pembaca. Berbeda dari puisi diatas : puisi ASA Hutan Kalimantan dengan lembut
menggemakan kecemasan hilangnya ingatan tentang hutan Kalimantan pada generasi
masa depan. Kedua sajak diatas jadi satu rangkaian dengan sajak berikutnya,
Kembali Kepada Daun di Hutan. Dengan ketiga sajak itu, ASA seperti mencoba
membuat trilogi puisi.
Tiga puisi Adjim Arijadi tampak
mempertegas arti logo ASKS. Sajak pertama mengekspresikan kegeraman terhadap
peran kaum cerdik pandai di negerinya. Sajak kedua Pasar Terapung (56) bicara
soal ironi pasar itu sebagai ikon pariwisata. Sajak ketiga mengeksplorasi
religiusitas.
Fahmi Wahid pun mengungkapkan
kegalauannya atas lenyapnya beberapa seni tradisi dari Banua dalam sajak
Maafkan Jika Aku (58). Pun dalam sajak Kusaksikan, Fahmi meradang atas rusaknya
lingkungan di Kalsel.
Dalam dua sajak tentang Rantau
(90-91), tempat eksplorasi batubara, karya Jamal T Suryanata, mencoba
mengekspresikan kemunafikan manusia dari sudut pandangan orang-orang yang
digilas sejarah yang berserakan dan mereka berusaha merajutnya. Kemarahan dalam
dua puisi itu tak kehilangan keindahan liriknya. Begitu pula Jhon FS Pane
(94-95) pun gelisah dengan implikasi globalisasi yang menggerus tradisi lama.
Sebagai bagian dari Indonesia yang gandrung kebebasan, orang-orang di kotanya
(mungkin di Kotabaru) merayakan kehancuran.
Simpulan
Puisi memerlukan kesadaran
proksimitas. Tema yang dekat dengan persoalan aktual pembaca jauh lebih
bermakna daripada puisi yang mengusung tema antah berantah. Keantahberantahan
puisi pun bisa bersumber dari estetika personal yang tidak terkoneksi dengan
baik dengan personal historis, kultural, dan sosial. Lebih dari sekadar
kemampuan untuk terkoneksi dengan tiga hal itu, kesadaran untuk menguasai
piranti puitika akan membuat sajak perlawanan tetap terbaca dalam nada
perlawanan yang lembut yang menjaga kualitas lirisnya. Dulce et utile kata
Horace : mendidik pembaca harus dilakukan dengan keindahan logika. Meskipun
puisi identik dengan ekspresi rasa, ia perlu punya logika yang dibalut dengan
metafora dan gaya bahasa.
Dalam hal tema, puisi yang
diperbandingkan ini merupakan monumen perasaan bahwa Indonesia masih
bermasalah. Sastrawan perlu
lebih jeli meneropong tema-tema yang tidak umum dalam mengekspresikan masalah
Indonesia. Bagaimana hubungan beberapa tema tersebut dengan tema yang sama
dalam antologi puisi ASKS sebelumnya ? Topik ini bisa dibicarakan lebih jauh di
ASKS selanjutnya atau saat ini sehingga publik ASKS memahami sejarah puisi yang
lahir melalui ASKS.
Antologi ASKS yang akan datang perlu
menguatkan fungsi kuratorial sehingga antologi benar-benar menjadi monumen
pencapaian dalam berpuisi. Sistematika isi buku pun perlu dibagi menjadi
beberapa kelompok tema sehingga memudahkan pembaca dalam mencari tema kesukaan
mereka. Perkembangan tema puisi dari ASKS I sampai X perlu dilihat kembali
secara intrinsik maupun ekstrinsik. Pilihan tema penulis itu menunjukkan
tingkatan estetiknya. Puisi yang matang tak bekutat pada persoalan diri sendiri
semata yang sepele, tetapi mampu mengkoneksikan dengan isu-isu sosial dan
budaya.***
Loktabat
Utara, 12/10/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar