Jumat, 10 April 2015

Ketika Kata-Kata Menembus Nurani dan Naluri Kemanusiaan

Sabtu, 11 April 2015


( Ulasan Terhadap Antologi Puisi Penyair Kalimantan Selatan Tadarus Rembulan
  Dibalik Cahaya Imajinasi )


Oleh : Mariana Lewier


Pengantar

            Membaca puisi-puisi dalam kumpulan puisi Tadarus Rembulan membuat saya serasa bermandikan cahaya imajinasi. Pijar yang menerangi mata hati dan mata pikir memberi suatu perjumpaan yang tak urung membuat saya harus terpekur beberapa saat sebelum beranjak dari satu puisi ke puisi berikutnya. Memang ini bukanlah pengalaman pertama saya membaca sebuah kumpulan puisi, khususnya yang berisi tulisan banyak penyair. Namun, setiap pengalaman membaca sebuah kumpulan puisi senantiasa menjadi suatu santapan jiwa yang menggairahkan. Kali ini, santapan yang saya nikmati lebih menggairahkan karena dibarengi suatu tujuan mengulasnya. Ibarat wisata kuliner, santapan berupa Tadarus Rembulan menjadi suatu pengalaman wisata sastra yang mempesona.
            Pesona yang kita peroleh saat membaca puisi bukanlah pesona fisikal melainkan pesona logika beradu dengan pesona rasa. Saya jadi teringat kepada catatan Donny Gahral Adian, dosen Departemen Filsafat FIB UI, dalam buku Rona Budaya : Festschrift untuk Sapardi Djoko Damono (2010) yang menunjukkan bagaimana puisi bermain di ruang antara keasingan dan keakraban, dan hanya para penyairlah yang mampu membawa kita kepada terang dengan mengingatkan kita yang alpa akan kodrat sesungguhnya hal ihwal, serta membuat kita bisa melihat sekali lagi pesona kemungkinan-kemungkinan dunia sesungguhnya. Berhadapan dengan kumpulan puisi Tadarus Rembulan membawa kita untuk menengok pesona kemungkinan dunia Kalimantan Selatan, baik secara lokal maupun dalam bingkai keindonesiaan.
            Dunia puisi bekerja dengan imajinasi. Heidegger menyatakan bahwa bahasa puisi memiliki daya untuk menyingkap dunia sehingga dikatakan bahwa bahasa puitis adalah tempat bersemayam kenyataan. Para penyair sendiri adaah sosok yang membangun dan merawat sangkar-sangkar kenyataan. Seperti apakah sangkar kenyataan yang dirawat oleh teman-teman penyair Kalimantan Selatan ? Tadarus Rembulan memberi ruang kemungkinan untuk menjawab pertanyaan ini.
            Tentu dalam kesempatan ini, rentang daya jangkau saya tidak menjelajahi semua ruang kemungkinan yang terbentang dalam 225 puisi hasil karya 80 penyair yang termuat dalam Tadarus Rembulan. Oleh karena itu, sesuai judul ulasan saya Di Balik Cahaya Imajinasi : Ketika Kata-Kata Menembus Nurani dan Naluri Kemanusiaan, izinkanlah saya untuk mencoba mengulasnya dari sisi ruang / latar kenyataan dan gaya pengungkapan. Ruang / latar kenyataan merupakan sumber imajinasi  sekaligus landasan pijak bagi penyair untuk memposisikan diri. Dalam Tadarus Rembulan, latar yang banyak dipilih oleh penyair adalah latar berwajah lokal (Kalimantan) dan latar berwajah nasional (Indonesia). Hal ini lebih condong ke arah isi puisi berselaras dengan aspek pesan dan makna puisi. Selanjutnya, gaya pengungkapan yang terlihat dalam deretan baris dan bait puisi-puisi dalam Tadarus Rembulan menarik  perhatian saya karena begitu variatif dan menyemburatkan geliat puitika yang lincah menjelajahi lintasan sejarah perpuisian Indonesia. Ibarat cahaya rembulan yang mampu menerangi gelapnya malam, sibakan imajinasi para penyair ini kiranya dapat memasuki sangkar kenyataan tempat kita berpijak dan bilik kemanusiaan tempat hati kita terpikat.

Menyoal Kalimantan, Menggugat Indonesia
            Puisi-puisi yang termuat dalam kumpulan puisi ini merupakan hasil karya sekumpulan penyair dari Kalimantan Selatan. Boleh dikatakan bahwa secara lokal, inilah ekspresi seni yang mewakili gejolak pikir dan rasa masyarakat Kalimantan, tetapi secara nasional inilah wujud keterpanggilan sebagai insan Indonesia yang mampu mengkritisi wajah negerinya.
            Dua puisi Ali Syamsudin Arsi yang berjudul Kalimantan, Biarkan Kami Bicara dan Hutan Kalimantan berisi suara hati penyair tentang ketidakadilan yang terjadi pada masyarakat asli Kalimantan karena masih terkunci oleh kebodohan diri sendiri. Masih dilena dan kungkung oleh buai morgana. Sehingga terkalahkan oleh para pendatang yang lebih maju. Ujung Monas yang tajam menghunjam menjadi lambang kekuasaan pusat yang membuat hutan-hutan di Kalimantan kerontang bahkan lenyap tanpa cerita. Pada akhir puisi Kalimantan, Biarkan Kami yang Bicara, Ali meneriakkan seruan keprihatinan :
…………………..
Kalimantan, biarkan kami yang bicara
bicara di antara debu dan degub jantung berpacu
berharap yang lain bicara, tak ada suara, dan sungguh, tak ada suara
Kalimantan, biarkan kami yang bicara
bicara dengan senyum terkunci
ketidakadilan itu tetap saja ada disini

            Seruan keprihatinan, kegalauan, ketidaknyamanan, atau pun kegelisahan terhadap kondisi daerah atau situasi lokal (Kalimantan, Kalimantan Selatan) juga disuarakan oleh beberapa penyair lainnya, misalnya Abdurrahman El Husaini (Cacapan Kabut), Asep Fauzi Sastra (Sajak Seekor Kunang-Kunang), DMA H Adjim Arijadi (Pasar Terapung), Fahmi Wahid (Kusaksikan), Hadani Had (Mantra Perang Badik), Jhon FS Pane (Perayaan dari Atas Bebukitan), Rezqie Muhammad Al Fajar (Lalaya, Mayang Baurai, dan Seloka Tangisan Kali Martapura), Rizki Safari (Insan Pribumi), Rosiana Puteri (Dua Kematian), Zulfaisal Putera (Seekor Burung dan Sebongkah Batu), dan Zulkifli Musaba (Sebuah Pelajaran). Alam Kalimantan yang tak semurni dan sehijau dulu menjadi kerisauan hati para penyair yang peka terhadap setiap perusakan dan penghancuran alam. Selain itu, hiruk-pikuk modernisasi pun melanda kota masuk sampai ke perkampungan sehingga menggeser nilai-nilai yang diwariskan para pendahulu / nenek moyang seperti tergambar dalam puisi Kusaksikan (Fahmi Wahid) berikut ini.

Kusaksikan gerbang ini mulai bopeng
menyisakan busuk bawa peradaban
menyayat tanah pematang disisinya untuk lintasan jejak
mesin berkaki empat dan tegaknya sarang-sarang baru

Kusaksikan di taman kota sayup-sayup terdengar bisik canda
rayu remaja dibuai asmara
jalan hitam sehitam malam
etalase menganga hingga larut malam
perempuan-perempuan binal menjajakan birahi
di tanah leluhurku
Banuaku

            Namun, tidak semua puisi yang berlatar kenyataan kehidupan di Kalimantan bernada keprihatinan dan kegelisahan. Beberapa puisi memotret alam dan masyarakat Kalimantan dalam pesona harmoni alam dan kenikmatan hidup yang damai. Mas Alkalani Muchtar menguraikan keindahan alam gunung, lembah, danau, sungai yang mencipta suasana lingkungan yang bersih dan sehat dalam puisinya Lembah Hijau. Kehidupan kota yang menyenangkan juga tergambar dalanm puisi Cintaku di Banjarbaru karya Iberamsyah Barbary berikut ini.

Cintaku Banjarbaru

Di kota ini kita mencari cinta
merajut harapan, untuk selembar kehidupan
menebar wacana, ikhtiar mengurai mayang
warna kotaku, harumnya impian

Di kota ini kita menahan kasih
merangkai sayang, memetik buah
Banjarbaru kotaku bertabur harap
bangunlah tidur, dari mimpi lelap mendekap

Rumah bubungan tinggi, berteduh harap
ditengadah, wadah menanak janji yang telah diucapkan
bicaralah yang santun dalam titah
sejuta harapan, sejuta berkah

Banjarbaru untuk semua orang
datang dan pergi karena cinta
tumbuh di hati dikenang sayang
cinta kami bertaut, rasa sudah berbunga

HUT Banjarbaru 2012

            Menjadi bagian dari warga Indonesia adalah suatu pergulatan sekaligus kesadaran nurani para penyair Kalimantan (baca : Indonesia) untuk memotret dari berbagai sudut kenyataan : baik atau buruk ; benar atau salah. Dan inilah beberapa hasil jepretan pengalaman beberapa penyair dalam Tadarus Rembulan yang mempertanyakan, mengkritisi, dan mengungkit perjalanan sejarah bangsa Indonesia. A Rahman Al Hakim (Indonesia Pilu), Hendra Royadi (Indonesia), Jumadi Khairi Fitri (Menanti Keadilan di Negeriku Indonesia), MS Sailillah (Burung Kemerdekaan), Mariyana (Nyanyian Dusun Terluka), Ogi Fajar Nuzuli (Terbakar dan Membakar Kotaku), dan Zulfaisal Putera (Indonesia Tanah Air Jelaga), dan Zulkifli Musaba (Sudah Ikhlas Kita Ber Indonseia). Diantara puisi-puisi tersebut, hanya puisi Zulkifli Musaba yang tidak bernada prihatin atas situasi bangsa Indonesia. Zulkifli berusaha mengajak pembaca merenungi kembali sengatan ke Indonesiaan melalui pikiran dan tindakan positif demi keutuhan dan kebersamaan hidup bangsa Indonesia. Sementara itu, kenyataan pahit dan pilu seputar derita rakyat, korupsi, kesewenangan wakil rakyat, bencana dan ketidakadilan dinyatakan dengan keras dan penuh keputusasaan oleh A Rahman Al Hakim, MS Sailillah, Mariyana, Ogi Fajar Nuzuli, dan Zulfaisal Putra.
            Sikap kritis para penyair tentang ke Indonesiaan memberi ruang makna yang memperkaya batin kita. Sebagai pembaca, kita tidak boleh hanya terjebak pada pesona kata-kata semata, tetapi sebaiknya mampu menyelami maksud dan pesan sang penyair. Artinya, setiap puisi pasti memiliki muatan nilai-nilai yang baik dan memberi pencerahan bagi proses berkehidupan sebagai masyarakat di suatu daerah dan sebagai masyarakat Indonesia.

Varian Aku Lirik
            Diantara dua jenis puisi pada umumnya, yakni puisi lirik dan puisi naratif, tampaknya sebagian besar penyair dalam Tadarus Rembulan lebih tertarik untuk mengembangkan jenis puisi lirik bergaya ‘aku’. Puisi lirik menandai pengucapan dan pengandaian sang penyair yang memposisikan diri sebagai sang aku. Perumpamaan yang diberikan kepada si ‘aku’ lirik ini begitu bervariasi : aku sebagai perahu (Bisik Perahu karya Abdurrahman El Husaini ; Opera Laut karya Andi Jamaludin Ar Ak, Perahu karya Fahrurraji Asmuni) ; aku sebagai perempuan (Akulah Perempuan Berambut Embun karya Amanda Nasution,  Testimoni Gadis Tunanetra karya Aan Setiawan ; aku sebagai hujan (Akulah Hujan karya Asep Fauzi Sastra), aku sebagai buih laut (Akulah Buih Laut), bahkan Kalsum Belgis memberi pengandaian si ‘aku’ yang begitu beragam dalam puisinya yang berjudul Aku dan Waktu dan Cintaku seperti tampak dalam contoh bait pertama dan kedua berikut ini.

Akulah nyata tepat dihadapanmu
kau bisa menyentuh hatiku bahkan
seluruh aliran nadiku
akulah bening itu tak berkeruh tak bergelombang
akulah seluruh kesedihanmu dalam
isak tawa manakala kau cemburu

Aku selembar hati yang telah kau nafkahi
dengan kasihmu
akulah pijar nyala panas mengaliri
syaraf-syaraf kaku menegang
akulah pahit menuai kalimat yang kadang
kau jadikan aliran sungai di sudut matamu
akulah bara yang selalu membakar jiwamu
dalam amarah di tingkat emosi

            Gaya berpuisi ‘aku’ lirik mampu menyuarakan suasana hati sampai ke dalam pikir dan rasa. Terlebih dalam puisi-puisi bertema cinta. Si ‘aku’ yang bahagia dan dimabuk cinta dalam puisi Aku Umpamakan Pagi Ini Menjadi Embun Genit yang Mencubit karya Andi Sahludin dan Romansa Pasir Putih karya M Johansyah dapat menjadi contoh betapa kuatnya perasaan cinta si ‘aku’ lirik. Sebaliknya puisi karya Fahrurraji Asmuni berjudul Elegi Sebuah Luka mengungkapkan bagaimana pedihnya akhir sebuah percintaan yang berujung perpisahan. Sementara itu, masih tetap dalam urusan cinta, ungkapan religiusitas kepasrahan dan kerinduan si ‘aku’ lirik kepada Tuhan menyuara diantara puisi-puisi Tadarus Rembulan. Misalnya dalam kutipan puisi Padaku, Ada Pasang Surut Gerhana karya Arief Rahman Heriansyah berikut ini.

Padaku, Ada Pasang Surut Gerhana

Tuhan
dalam diri-Mu kutemukan sajak maha cinta
yang melebihi syair-syair para pujangga di dunia
bukan untuk bermain mata, mengurai tangis
namun ada kejauhan yang menjelma
pada lembah historis padang sahara

Tuhan, kukirimkan sepucuk kecil surat cinta
pada-Mu, lalu kertas itu berubah menjadi
daun kering, sekering ranting bambu kuning
di tanah Loksado, tanah berjuta mimpi

Simponi, Ya Ilahi mana titik terang
yang mungkin semua makhluk bernyawa
merupakan akan segala hal lupa-lupa
dan terkoyak dari nafsu adalah dunia

Yang padaku ada pasang surut gerhana
atau hanya roman sajak-sajak picisan
kelu segaris biru mengukir rindu Tuhan

Penutup
            Sebenarnya, tanpa sengaja, penyusunan daftar isi secara alfabetis telah membentuk awal dan akhir yang tepat. Puisi pertama Niscaya Perwujudan karya A Rahman Al Hakim secara filosofis hendak menyatakan penciptaan mula-mula, sang Adam sebagai manusia pertama, tidaklah dapat disandingkan dengan kemuliaan Sang Pencipta. Segala sesuatu yang ada di dunia ini saling melengkapi. Jika dikaitkan dengan keberadaan puisi-puisi yang tersaji dalam Tadarus Rembulan, penciptaannya tetap dalam kesadaran kemahakuasaan Sang Pencipta Sejati, yang menganugerahi talenta menjadi seorang penyair. Benang merah yang saling berhubungan antarpuisi menandai pemaknaan yang saling melengkapi.
            Puisi terakhir Sebuah Pelajaran karya Zulkifli Musaba menjadi penutup yang memberi pesan positif tentang tindak nan melengkapi ketiadaan budi pekerti dengan harapan : ../supaya bumi ini tetap menjadi persinggahan yang / menyejukkan. Ketika kata-kata mampu menembus nurani dan naluri akan terbentuk sikap yang mau belajar dari pengalaman sepahit apapun. Semoga puisi tetap bercahaya !

Depok - Banjarbaru, September – Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi AHU : Watak Simbol Intonasi Perangai Jingga

 Jumat, 22 Maret 2024 Cerita guramang alasan manis kian sinis watak simbolis kehendak penawar lara senarai kehendak intim suara nurani ego k...