( Ulasan
Terhadap Antologi Puisi Penyair Kalimantan Selatan Tadarus Rembulan
Dibalik
Cahaya Imajinasi )
Oleh : Mariana Lewier
Pengantar
Membaca puisi-puisi dalam kumpulan
puisi Tadarus Rembulan membuat saya serasa bermandikan cahaya imajinasi. Pijar
yang menerangi mata hati dan mata pikir memberi suatu perjumpaan
yang tak urung membuat saya harus terpekur beberapa saat sebelum beranjak dari satu puisi ke puisi berikutnya.
Memang ini bukanlah pengalaman pertama saya membaca sebuah kumpulan puisi,
khususnya yang berisi tulisan banyak penyair. Namun, setiap pengalaman membaca
sebuah kumpulan puisi
senantiasa menjadi suatu
santapan jiwa yang menggairahkan. Kali ini, santapan yang saya nikmati lebih
menggairahkan karena dibarengi suatu tujuan mengulasnya. Ibarat wisata kuliner,
santapan berupa Tadarus Rembulan
menjadi suatu pengalaman wisata sastra yang mempesona.
Pesona yang kita peroleh saat
membaca puisi bukanlah pesona fisikal melainkan pesona logika beradu
dengan pesona rasa. Saya jadi teringat kepada catatan Donny Gahral Adian, dosen
Departemen Filsafat FIB UI, dalam buku Rona Budaya : Festschrift untuk Sapardi
Djoko Damono (2010) yang menunjukkan bagaimana puisi bermain di ruang antara keasingan dan keakraban, dan hanya
para penyairlah yang mampu membawa kita kepada terang dengan mengingatkan kita yang alpa akan kodrat
sesungguhnya hal ihwal, serta membuat kita bisa melihat sekali lagi pesona
kemungkinan-kemungkinan dunia sesungguhnya. Berhadapan dengan kumpulan puisi
Tadarus Rembulan membawa kita untuk menengok pesona kemungkinan dunia
Kalimantan Selatan, baik secara lokal maupun dalam bingkai keindonesiaan.
Dunia puisi bekerja dengan
imajinasi. Heidegger menyatakan bahwa bahasa puisi memiliki daya untuk
menyingkap dunia sehingga dikatakan bahwa bahasa puitis adalah tempat
bersemayam kenyataan. Para penyair sendiri adaah sosok yang membangun dan
merawat sangkar-sangkar kenyataan. Seperti apakah sangkar kenyataan yang dirawat oleh teman-teman
penyair Kalimantan Selatan ? Tadarus Rembulan memberi ruang kemungkinan untuk menjawab pertanyaan
ini.
Tentu dalam kesempatan ini, rentang
daya jangkau saya tidak menjelajahi semua ruang kemungkinan yang terbentang dalam 225 puisi hasil karya 80
penyair yang termuat dalam Tadarus Rembulan. Oleh karena itu, sesuai judul ulasan
saya Di Balik Cahaya Imajinasi : Ketika Kata-Kata Menembus Nurani dan Naluri
Kemanusiaan, izinkanlah saya untuk
mencoba mengulasnya dari
sisi ruang / latar kenyataan dan gaya pengungkapan. Ruang / latar kenyataan
merupakan sumber imajinasi sekaligus landasan pijak bagi penyair untuk memposisikan diri. Dalam Tadarus
Rembulan, latar yang banyak dipilih oleh penyair adalah latar berwajah lokal (Kalimantan) dan latar berwajah
nasional (Indonesia). Hal ini
lebih condong ke arah isi puisi
berselaras dengan aspek pesan
dan makna puisi. Selanjutnya, gaya pengungkapan
yang terlihat dalam deretan baris dan bait puisi-puisi dalam Tadarus Rembulan menarik perhatian saya karena begitu variatif dan
menyemburatkan geliat puitika yang lincah menjelajahi lintasan sejarah perpuisian Indonesia. Ibarat cahaya rembulan yang
mampu menerangi gelapnya malam, sibakan imajinasi para penyair ini kiranya
dapat memasuki sangkar kenyataan tempat kita berpijak dan bilik kemanusiaan tempat hati kita terpikat.
Menyoal Kalimantan, Menggugat
Indonesia
Puisi-puisi yang termuat dalam
kumpulan puisi ini merupakan hasil karya sekumpulan penyair dari Kalimantan
Selatan. Boleh dikatakan bahwa secara lokal, inilah ekspresi seni yang mewakili gejolak pikir dan rasa masyarakat Kalimantan, tetapi secara nasional inilah wujud
keterpanggilan sebagai insan Indonesia yang mampu mengkritisi wajah negerinya.
Dua puisi Ali Syamsudin Arsi yang
berjudul Kalimantan, Biarkan Kami Bicara dan Hutan Kalimantan berisi suara hati penyair
tentang ketidakadilan yang terjadi pada masyarakat asli Kalimantan karena masih
terkunci oleh kebodohan diri sendiri. Masih dilena dan kungkung oleh buai morgana. Sehingga terkalahkan
oleh para pendatang yang lebih maju. Ujung Monas yang tajam menghunjam menjadi
lambang kekuasaan pusat yang membuat
hutan-hutan di Kalimantan kerontang
bahkan lenyap tanpa cerita. Pada akhir puisi Kalimantan, Biarkan Kami yang
Bicara, Ali meneriakkan seruan keprihatinan :
…………………..
Kalimantan, biarkan kami yang bicara
bicara di
antara debu dan degub jantung berpacu
berharap yang
lain bicara, tak ada suara, dan sungguh, tak ada suara
Kalimantan,
biarkan kami yang bicara
bicara dengan
senyum terkunci
ketidakadilan
itu tetap saja ada disini
Seruan keprihatinan, kegalauan,
ketidaknyamanan, atau pun kegelisahan terhadap kondisi daerah atau situasi lokal (Kalimantan, Kalimantan Selatan)
juga disuarakan oleh beberapa
penyair lainnya, misalnya
Abdurrahman El Husaini (Cacapan Kabut), Asep Fauzi Sastra (Sajak Seekor
Kunang-Kunang), DMA H Adjim Arijadi (Pasar Terapung), Fahmi Wahid (Kusaksikan), Hadani Had
(Mantra Perang Badik), Jhon FS Pane (Perayaan dari Atas Bebukitan), Rezqie
Muhammad Al Fajar (Lalaya, Mayang Baurai, dan Seloka Tangisan Kali Martapura),
Rizki Safari (Insan Pribumi), Rosiana Puteri (Dua Kematian), Zulfaisal Putera
(Seekor Burung dan Sebongkah Batu), dan Zulkifli Musaba (Sebuah Pelajaran).
Alam Kalimantan yang tak semurni dan sehijau dulu menjadi kerisauan hati para
penyair yang peka terhadap setiap perusakan dan penghancuran alam. Selain itu,
hiruk-pikuk modernisasi pun melanda kota masuk sampai ke perkampungan sehingga
menggeser nilai-nilai yang diwariskan para pendahulu / nenek moyang seperti
tergambar dalam puisi Kusaksikan (Fahmi Wahid) berikut ini.
Kusaksikan gerbang ini mulai bopeng
menyisakan busuk bawa peradaban
menyayat tanah
pematang disisinya untuk lintasan jejak
mesin berkaki empat
dan tegaknya sarang-sarang baru
Kusaksikan
di taman kota sayup-sayup terdengar
bisik canda
rayu remaja
dibuai asmara
jalan hitam
sehitam malam
etalase
menganga hingga larut malam
perempuan-perempuan
binal menjajakan birahi
di tanah
leluhurku
Banuaku
Namun, tidak semua puisi yang
berlatar kenyataan kehidupan di Kalimantan bernada keprihatinan dan kegelisahan. Beberapa
puisi memotret alam dan masyarakat Kalimantan dalam pesona harmoni alam dan kenikmatan hidup yang
damai. Mas Alkalani Muchtar menguraikan keindahan alam gunung, lembah, danau,
sungai yang mencipta suasana lingkungan yang bersih dan sehat dalam puisinya
Lembah Hijau. Kehidupan kota yang menyenangkan juga tergambar dalanm puisi Cintaku di Banjarbaru karya Iberamsyah
Barbary berikut ini.
Cintaku
Banjarbaru
Di
kota ini kita mencari cinta
merajut
harapan, untuk selembar kehidupan
menebar wacana,
ikhtiar mengurai mayang
warna kotaku,
harumnya impian
Di
kota ini kita menahan kasih
merangkai sayang, memetik buah
Banjarbaru
kotaku bertabur harap
bangunlah tidur,
dari mimpi lelap mendekap
Rumah
bubungan tinggi, berteduh harap
ditengadah, wadah
menanak janji yang telah diucapkan
bicaralah yang
santun dalam titah
sejuta harapan,
sejuta berkah
Banjarbaru
untuk semua orang
datang dan pergi karena cinta
tumbuh di hati
dikenang sayang
cinta kami bertaut, rasa sudah berbunga
HUT Banjarbaru 2012
Menjadi bagian dari warga Indonesia adalah suatu pergulatan sekaligus kesadaran nurani para
penyair Kalimantan (baca : Indonesia) untuk memotret dari
berbagai sudut kenyataan : baik atau buruk ; benar atau salah. Dan inilah beberapa hasil jepretan
pengalaman beberapa penyair dalam Tadarus Rembulan yang mempertanyakan, mengkritisi,
dan mengungkit perjalanan sejarah bangsa Indonesia. A Rahman Al Hakim
(Indonesia Pilu), Hendra Royadi (Indonesia), Jumadi Khairi Fitri (Menanti
Keadilan di Negeriku Indonesia), MS Sailillah (Burung Kemerdekaan), Mariyana
(Nyanyian Dusun Terluka), Ogi Fajar Nuzuli (Terbakar dan Membakar Kotaku), dan
Zulfaisal Putera (Indonesia Tanah Air Jelaga), dan Zulkifli Musaba (Sudah Ikhlas
Kita Ber Indonseia). Diantara puisi-puisi tersebut, hanya puisi Zulkifli Musaba yang tidak bernada
prihatin atas situasi bangsa Indonesia. Zulkifli berusaha mengajak pembaca
merenungi kembali sengatan ke Indonesiaan melalui pikiran dan tindakan positif
demi keutuhan dan kebersamaan hidup bangsa Indonesia. Sementara itu, kenyataan
pahit dan pilu seputar derita rakyat, korupsi, kesewenangan wakil rakyat,
bencana dan ketidakadilan dinyatakan dengan keras dan penuh keputusasaan oleh A
Rahman Al Hakim, MS Sailillah, Mariyana, Ogi Fajar Nuzuli, dan Zulfaisal Putra.
Sikap kritis para penyair tentang ke
Indonesiaan memberi ruang makna yang memperkaya batin kita. Sebagai pembaca,
kita tidak boleh hanya terjebak pada pesona kata-kata semata, tetapi sebaiknya
mampu menyelami maksud dan pesan sang penyair. Artinya, setiap puisi pasti
memiliki muatan nilai-nilai yang baik dan memberi pencerahan bagi proses
berkehidupan sebagai masyarakat di suatu daerah dan sebagai masyarakat
Indonesia.
Varian Aku Lirik
Diantara dua jenis puisi pada
umumnya, yakni puisi lirik dan puisi naratif, tampaknya sebagian besar penyair
dalam Tadarus Rembulan lebih tertarik untuk mengembangkan jenis puisi lirik
bergaya ‘aku’. Puisi lirik menandai pengucapan dan pengandaian sang penyair
yang memposisikan diri sebagai sang aku. Perumpamaan yang diberikan kepada si
‘aku’ lirik ini begitu bervariasi : aku sebagai perahu (Bisik Perahu karya
Abdurrahman El Husaini ; Opera Laut karya Andi Jamaludin Ar Ak, Perahu karya
Fahrurraji Asmuni) ; aku sebagai perempuan (Akulah Perempuan Berambut Embun
karya Amanda Nasution, Testimoni Gadis
Tunanetra karya Aan Setiawan ; aku sebagai hujan (Akulah Hujan karya Asep Fauzi
Sastra), aku sebagai buih laut (Akulah Buih Laut), bahkan Kalsum Belgis memberi
pengandaian si ‘aku’ yang begitu beragam dalam puisinya yang berjudul Aku dan
Waktu dan Cintaku seperti tampak dalam contoh bait pertama dan kedua berikut
ini.
Akulah
nyata tepat dihadapanmu
kau
bisa menyentuh hatiku bahkan
seluruh
aliran nadiku
akulah
bening itu tak berkeruh tak bergelombang
akulah
seluruh kesedihanmu dalam
isak
tawa manakala kau cemburu
Aku
selembar hati yang telah kau nafkahi
dengan
kasihmu
akulah
pijar nyala panas mengaliri
syaraf-syaraf
kaku menegang
akulah
pahit menuai kalimat yang kadang
kau
jadikan aliran sungai di sudut matamu
akulah
bara yang selalu membakar jiwamu
dalam
amarah di tingkat emosi
Gaya berpuisi ‘aku’ lirik mampu
menyuarakan suasana hati sampai ke dalam pikir dan rasa. Terlebih dalam
puisi-puisi bertema cinta. Si ‘aku’ yang bahagia dan dimabuk cinta dalam puisi
Aku Umpamakan Pagi Ini Menjadi Embun Genit yang Mencubit karya Andi Sahludin
dan Romansa Pasir Putih karya M Johansyah dapat menjadi contoh betapa kuatnya
perasaan cinta si ‘aku’ lirik. Sebaliknya puisi karya Fahrurraji Asmuni berjudul
Elegi Sebuah Luka mengungkapkan bagaimana pedihnya akhir sebuah percintaan yang
berujung perpisahan. Sementara itu, masih tetap dalam urusan cinta, ungkapan
religiusitas kepasrahan dan kerinduan si ‘aku’ lirik kepada Tuhan menyuara
diantara puisi-puisi Tadarus Rembulan. Misalnya dalam kutipan puisi Padaku, Ada
Pasang Surut Gerhana karya Arief Rahman Heriansyah berikut ini.
Padaku,
Ada Pasang Surut Gerhana
Tuhan
dalam diri-Mu
kutemukan sajak maha cinta
yang melebihi
syair-syair para pujangga di dunia
bukan untuk
bermain mata, mengurai tangis
namun ada
kejauhan yang menjelma
pada lembah
historis padang sahara
Tuhan,
kukirimkan sepucuk kecil surat cinta
pada-Mu, lalu
kertas itu berubah menjadi
daun kering,
sekering ranting bambu kuning
di tanah
Loksado, tanah berjuta mimpi
Simponi,
Ya Ilahi mana titik terang
yang mungkin
semua makhluk bernyawa
merupakan akan
segala hal lupa-lupa
dan terkoyak
dari nafsu adalah dunia
Yang
padaku ada pasang surut gerhana
atau hanya
roman sajak-sajak picisan
kelu segaris
biru mengukir rindu Tuhan
Penutup
Sebenarnya, tanpa sengaja,
penyusunan daftar isi secara alfabetis telah membentuk awal dan akhir yang
tepat. Puisi pertama Niscaya Perwujudan karya A Rahman Al Hakim secara
filosofis hendak menyatakan penciptaan mula-mula, sang Adam sebagai manusia
pertama, tidaklah dapat disandingkan dengan kemuliaan Sang Pencipta. Segala
sesuatu yang ada di dunia ini saling melengkapi. Jika dikaitkan dengan
keberadaan puisi-puisi yang tersaji dalam Tadarus Rembulan, penciptaannya tetap
dalam kesadaran kemahakuasaan Sang Pencipta Sejati, yang menganugerahi talenta
menjadi seorang penyair. Benang merah yang saling berhubungan antarpuisi
menandai pemaknaan yang saling melengkapi.
Puisi terakhir Sebuah Pelajaran
karya Zulkifli Musaba menjadi penutup yang memberi pesan positif tentang tindak
nan melengkapi ketiadaan budi pekerti dengan harapan : ../supaya bumi ini tetap
menjadi persinggahan yang / menyejukkan. Ketika kata-kata mampu menembus nurani
dan naluri akan terbentuk sikap yang mau belajar dari pengalaman sepahit
apapun. Semoga puisi tetap bercahaya !
Depok -
Banjarbaru, September – Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar