Jumat, 13 Februari 2015

Catatan Pembuka

Sabtu, 14 Februari 2015


            La Ventre de Kandangan atau Dalam Perut Kota Kandangan adalah judul naskah drama karya D Zauhidie, ditulis dan digelar pada tahun 1957. Pergelaran yang dilakonkan oleh Thabrany Adzanys, Roestam Relez, Salim Fachry, Kasful Anwar, Nurzaenah Nasution, dan Lies Mahmud tersebut menjadi tonggak penanda berdirinya komunitas drama Pendawa Lima, satu komunitas teater modern yang jejaknya masih membekas hingga ke masa kini.

            La Ventre de Kandangan bertutur tentang pernik kehidupan urang Kandangan diantara tabiat zaman dan tabiat kota yang mulai berubah. Kandangan, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan, memang kota yang tak pernah tidur. Disini sering teater total dimana pemainnya bergerak sendiri-sendiri, lepas bebas tak berarah, namun secara ajaib dan tertib membentuk sebuah keseluruhan yang saling mendukung dan melengkapi. Pergelaran itu kadang penuh tengkar, kadang ricik bak alun Sungai Amandit, kadang abstrak, kadang pula tampil dalam figur yang utuh – lengkap dengan narasinya.

            Salah satu pernik yang denyutnya tetap berdegup kencang di dalam perut Kandangan adalah kehidupaan sastranya. Boleh dikata di Kandanganlah dimulainya rintisan penulisan sastra (modern) Indonesia di Kalimantan Selatan.

            Paling tidak, Artum Artha, Maseri Matali, dan Merah Danil Bangsawan merupakan bagian dari para perintis itu. Sebuah rintisan yang jejaknya kemudian ditapaki oleh generasi berikut. Jadilah sastra HSS sebagai sebuah denyut yang paling ajek kesinambungannya. Belum surut generasi perintis muncul generasi penerus. Belum turun panggung generasi penerus sudah bermunculan pula generasi penyambut estafet.

            Maka ketika tonggak-tonggak perjalanan kehidupan sastra tersebut dicoba ditandai dan direkonstruksi ke dalam sebuah antologi, La Ventre de Kandangan dirasa tepat untuk menjadi titelnya. Sebab di dalamnya tidak cuma terdapat tanggapan terhadap realitas sosial politik pada sebuah era, tetapi juga sehamparan wacana yang bersintuhan dengan arus kesadaran urang Kandangan – untuk menyebut manusia Hulu Sungai Selatan – dalam meniku waktu. Dan jika kesadaran tersebut dianggap sebagai suatu kemampuan manusia yang menghubungkan dunia – dalam seseorang dengan dunia – di luar dirinya, maka pada posisi seorang pesastra kesadaran itu terefleksikan ke dalam karya sastranya.

            Sungguh sukar mematok kriteria pesastra (Kabupaten) Hulu Sungai Selatan, terlebih jika hal itu dihubungkan dengan soal juriat dan batas wilayah. Juriat, merupakan ihwal keturunan  dari satu generasi ke generasi lain, sementara tidak setiap rumpun keluarga mencatat dan mengingatnya dengan baik. Batas wilayah, juga jadi hal rumit lantaran berbagai perubahan yang muncul dari pemekaran wilayah itu sendiri. Sampai dengan tahun 1965, wilayah Afdeling Hulu Sungai yang beribukotakan Kandangan, telah berkembang menjadi 5 kabupaten daerah kabupaten. Bahkan jika pemekaran terakhir dimasukkan, dengan berdirinya Kabupaten Balangan, maka wilayah Afdeling Hulu Sungai telah berkembang menjadi 6 kabupaten (Kabupaten Tabalong, Kabupaten Balangan, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten Tapin).

            Kerumitan itu akan terasa bertambah apabila dikaitkan dengan soal-soal yang menyangkut perkawinan antar daerah, mobilitas pekerjaan, dan arus perpindahan penduduk. Ihwal; keajekan seseorang dalam menekuni dunia sastra juga turut menambah kerumitan.

            Maka pematokan istilah pesastra HSS dalam antologi ini, didasari pertimbangan bahwa dunia sastra HSS dihidupi oleh pesastra yang dilahirkan di wilayah HSS (dimanapun mereka kemudian bermukim) dan peserta yang pernah berkiprah atau bekerja di wilayah HSS (dimanapun mereka dilahirkan). Penyederhanaan patok semacam itu, suka atau tidak suka, dirasa merupakan langkah termudah dalam upaya mengurai sengkarut yang sudah serupa benang kusut.

            Een Eereschuld atau Hutang Kehormatan, tulisan Th van Deventer di majalah De Gids Nomor 63 Tahun 1889, menimbulkan gelombang tersendiri dikalangan intelektual Belanda. Tulisan itu menekankan perlunya Pemerintah Belanda untuk membalas budi baik rakyat Hindia Belanda yang selama berabad-abad telah mengalami berbagai penindasan dan pengisapan, utamanya lewat penerapan sistem tanam paksa yang amat menguntungkan Belanda. Bagi van Deventer, hal itu merupakan satu utang kehormatan yang harus ditunaikan.

            Polemik Hutang Kehormatan akhirnya mendapat tanggapan dari Ratu Wilhelmina. Tanggal 8 September 1901, dihadapan Parlemen Belanda, Ratu Wilhelmina mengakui adanya kewajiban etis dan tanggung jawab moral pemerintah Belanda terhadap Hindia Belanda. Muncullah apa yang kemudian dikenal sebagai Politik Etis. Salah satu perwujudannya adalah berupa pendirian sekolah-sekolah di Hindia Belanda. Terlepas dari maksud terselubung untuk mendapatkan tenaga kerja yang terdidik dan murah, pendirian sekolah-sekolah tersebut punya pengaruh besar terhadap rakyat Hindia Belanda.       

            Di Kandangan juga didirikan sekolah antara lain :

-Volkschool (Sekolah Rakyat), dengan lama pendidikan 3 tahun, terdapat hampir di tiap desa.

-Vervolkschool (Sambungan Volkschool), dengan lama pendidikan 2 tahun.

-Inlandseschool Door Tweedeclaste (Sekolah Kelas Dua), dengan lama pendidikan 5 tahun, terletak di lokasi SDN Kandangan Utara 2 sekarang, di Jalan Pahlawan.

-Holland Inlandse School (HIS), dengan lama pendidikan 7 tahun, terletak di lokasi SDN Kandangan Kota 1 sekarang, di Jalan Ahmad Yani.

-Meisjes Volk School (Sekolah Dasar Khusus Putri), terletak di lokasi SMPN 5 sekarang, Jalan Pemuda Kandangan.

-Meisjes Vervolk School (sambungan Meisjes Volk School), terletak di lokasi SDN Kandangan Kota 2 sekarang, di Jalan Musyawarah.

-Cursus Volks Onderwijzer / CVO (Kursus menjadi guru pada volk School) setelah orang lulus Vervolk School, dengan lama pendidikan 2 tahun.

            Selain sekolah-sekolah pemerintah tersebut, kalangan pergerakan nasional dan organisasi sosial keagamaan juga mendirikan beberapa sekolah, antara lain :

-Tahun 1916, Syarikat Islam mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah di Loklua, dekat jembatan gantung. Tahun 1928, dengan alasan tidak selayaknya sekolah berada dekat pasar dan sungai, madrasah itu dipindahkan ke kampung Pandai. Namanya pun berubah menjadi Madrasah Wathoniyah Diniyah Isalmiyah. Oleh masyarakat Kandangan, madrasah tersebut dikenal dengan nama Sekolah Islam Pandai (sekarang Madrasah Darul Ulum Kandangan).

-Tahun 1931, berdiri Musyawaratut Thalibin. Organisasi ini mendirikan madrasah tingkat ibtidaiyah di kampung Wasah, Padang Batung dan Angkinang.

-Tahun 1937, Parindra mendirikan perguruan rakyat Parindra di Jalan Parindra sekarang ini. Tahun 1938, lokasi dipindahkan ke Jalan Merdeka. Masyarakat Kandangan menyebut sekolah itu sebagai Perguruan Medan Antara.

            Kemampuan baca-tulis aksara latin yang didapat dari sekolah-sekolah, ditambah persintuhan dengan sastra lisan dan sastra tulis yang menggunakan huruf Arab Melayu, menjadi modal bagi kiprah para pesastra HSS generasi awal. Kehadiran buku-buku terbitan Balai Pustaka serta penerbit swasta lainnya juga turut mempengaruhi. Hal lain yang menjadi pemacu dan pemicu adalah terbitnya beberapa koran dan majalah di Kandangan.

            Tahun 1943, Haspan Hadna menerbitkan majalah Purnama Raya. Majalah yang sifatnya hiburan ini menjadi kawah Candradimuka bagi kalangan pesastra generasi awal. Tapi pemerintah Jepang menjadi amat gerah. Bunken Kanrikan Kandangan kemudian menitahkan agar Purnama Raya dimatikan. Sebagai gantinya, tahun 1944, diterbitkan surat kabar Borneo Shimbun edisi Kandangan. Surat kabar yang bermarkas di Toko Ang Kim Can di kawasan Pasar Kandangan (sekarang kompleks bangunan BRI Unit Pasar Kandangan dan BPD) ini Pimpinan Umumnya Merah Ardansyah, dengan Dewan Redaksi Ahmad Basuni, Haspan Hadna, Merah Danil Bangsawan, Asyikin Noor Zuhry, dan Adonis Samad. Borneo Shimbun edisi Kandangan inilah surat kabar di Kalimantan yang pertama kali dengan berani memuat berita kemerdekaan Indonesia, lengkap dengan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Pembukaan UUD 1945, pada halaman depan edisi 20 Agustus 1945.

            Kepemilikan Borneo Shimbun diambil alih oleh Pemerintah NICA / Belanda. Asisten Residen Hoogenber dan Kiai Besar Merah Nadalsayah untuk mengelola penerbitan surat kabar di Kandangan. Haspan dan Danil sempat menolak, namun atas saran 2 orang tokoh nasionalis Kandangan, Zafry Zamzam dan M Rusli, tawaran kemudian diterima. Terbitlah surat kabar tengah mingguan Sinar Hulu Sungai. Pemimpin Umum dipegang Merah Danil Bangsawan. Haspan Hadna sebagai Pemimpin Redaksi.

            Tanggal 17 Agustus 1946, Zafry Zamzam menerbitkan majalah Republik. Tasmiah nama dan penerbitan nomor perdananya yang sengaja diterbitkan pada ulang tahun pertama RI itu telah mengindikasi corak dan arahnya. Lewat tulisan-tulisannya Zafry Zamzam dengan menggunakan nama samaran Isyah menggelorakan nasionalisme dikalangan anak negeri. Akibatnya, Desember 1948, Republik diberedel, Zafry Zamzam menjadi penghuni bilik penjara selama 3 tahun.

            Tanggal 1 Oktober 1946, terbit pula sebuah surat kabar bernama Kalimantan Berjuang, dengan Pemimpin Umum Abdul Jabar dan Pemimpin Redaksi Haspan Hadna. Bulan Februari 1947, surat kabar yang berkantor di Jalan Musyawarah ini dipindahkan penerbitannya dari Kandangan ke Banjarmasin.

            Tahun 1947, muncul sebuah majalah bulanan yang mengkhususkan diri pada bidang seni budaya, Piala namanya. Majalah yang kemudian berubah menjadi majalah mingguan ini dikelola oleh Maseri Matali, SM Darul, dan Masdan Rozhany. Tirasnya sebelum dimatikan sempat mencapai 500 eksemplar.

            Tanggal 3 Februari 1947, terbit majalah Pedoman Putri, dipimpin oleh Rohayah Batun, Maserah, Siti Rupsinah, dan Siti Maslara. Khusus untuk anak-anak, Rohayah Batun juga menerbitkan majalah Suluh. Situasi Kandangan yang kian memanas membuat kedua majalah itu berakhir di tahun 1949.

            Tahun 1948, Mohammad Arsyad menerbitkan majalah bulanan Madjlis. Kendati lebih berorientasi kepada bidang keagamaan, namun karya sastra tak pula dilupakan. Maklum saja Mohammad Arsyad adalah juga seorang pesastra.

            Tahun 1949, Artum Artha dan Masdan Rozhany menerbitkan Jantung Indonesia. Edisi perdananya sudah mendapat peringatan keras dari Pemerintah Belanda karena memuat cerpen Gara-Gara si Rambut Panjang di Munggu Raya karya Masdan Rozhany.

            Publikasi karya pesastra HSS ternyata juga merambah media massa luar daerah. Di Jakarta, antara lain pada majalah Panji Pustaka, Mimbar Indonesia, Siasat / Gelanggang, Zenith, Indonesia, Konfrontasi, dan Kisah. Di Surabaya pada majalah Terang Bulan. Di Medan pada majalah Waktu, Pancawarna, dan Lukisan Pujangga. Di Yogyakarta pada majalah Budaya dan Gajahmada. Ekspansi semacam ini kian marak setelah masa pengakuan kedaulatan RI. Terlebih ketika di Kandangan tak muncul lagi penerbitan lantaran para tokoh persnya ramai-ramai hijrah ke Banjarmasin.

            Tahun 1953, RRI Banjarmasin menggagas satu acara Untaian Mutiara Seputar Ilmu dan Seni. Disitu tidak cuma dideklamasikan sajak-sajak yang dikirm oleh para pesastra dari berbagai pelosok Kalimantan Selatan, tetapi juga diikuti oleh pembahasan karya-karya tersebut. Kemudahan mengakses media tersebut membuat Untaian Mutiara menjadi salah satu acara favorit para pesastra dalam mengirim karyanya.

            Tahun 1954, muncul majalah Pahatan yang diterbitkan oleh Ikatan Pencinta Seni Sastra Indonesia Banjarmasin. Media lain yang menjadi ajang publikasi karya adalah majalah Bandarmasih, yang diterbitkan oleh Perwakilan Jawatan Kebudayaan Kalimantan Selatan ; Suara Kalimantan , Indonesia Merdeka, dan Kalimantan Berjuang / Indonesia Berjuang.

            Kebangkitan generasi muda di tahun 1966, memunculkan Koran Mimbar Mahasiswa. Konflik internal diantara pengelola koran itu kemudian melahirkan koran Media Masyarakat dan Banjarmasin Post. Ruang kebudayaan Dian di Media Masyarakat dan Persfektif di Banjarmasin Post, menjadi lahan lain bagi publikasi karya pesastra. Ditambah dengan Upaya / Utama, Dinamika, serta Gawi Manuntung.

            Tahun 1971, berdiri Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Selatan. Seksi sastra pada Dewan Kesenian itu menerbitkan sebuah majalah bulanan dan menghidupkan lagi nama Bandarmasih.

            Kemunculan generasi berikut dari pesastra HSS juga dipicu oleh hadirnya ruang kebudayaan Banjarmasin Post yang berganti nama menjadi Dahaga. Uniknya, Dahaga yang diasuh oleh Trio Tanah Huma (D Zauhidie, Yustan Aziddin, dan Hijaz Yamani) ini muncul setiap hari, hal yang barangkali satu-satunya terjadi di sebuah koran Indonesia. Pemunculan Dahaga setiap hari bertahan beberapa tahun. Dalam tenggang waktu itu, ia telah melahirkan dan mematangkan para pesastra, utamanya mereka yang berkiprah mulai akhir tahun 1970-an dan 1980-an. Penyair Kalimantan Selatan yang diundang ke Forum Puisi Indonesia 87 (Ajamuddin Tifani, Maman S Tawie, Micky Hidayat, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, Tajuddin Noor Ganie, Ahmad Fahrawi, dan Burhanuddin Soebely) dan Forum Penyair Indonesia Abad 21 (Ajamuddin Tifani dan Jamal T Suryanata) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, merupakan produk dari Dahaga ini.

            Tahun 2002, di Kandangan sempat terbit Tabloid Budaya Gerbang, dengan Pimpinan Umumnya Rahmady Radiany. Ajang publikasi karya sastra lainnya kemudian diramaikan oleh koran Radar Banjarmasin, Kalimatan Post, dan Barito Post.

            Media diluar daerah yang banyak menampung karya pesastra HSS adalah Pelopor, Masa Kini, Berita Nasional, Minggu Pagi, Basis, semuanya di Yogyakarta. Berita Buana, Pelita, Suara Karya, Abadi, Swadesi, Terbit, Republika, Majalah Horison, Femina, Top, Hai, Zaman, Annida, Amanah, Kartini, Sarinah, di Jakarta. Jawa Pos dan Surya di Surabaya.

            Kesusastraan Indonesia tidak bernama kesusastraan Indonesia tanpa adanya karya seniman Kalsel. Karena seniman Kalsel juga ikut membentuk historisnya kesusastraan Indonesia itu. Hal ini tidak bisa dianulir siapa pun. Begitu bunyi salah satu surat terbuka D Zauhidie kepada Hijaz Yamani yang dimuat di Majalah  Kebudayaan Bandarmasih, No 1 Tahun I, September 1971.

            Disitu tersirat bahwa seniman Kalsel, termasuk pesastra HSS, telah turut membentuk keberadaan dan perjalanan sastra Indonesia, memperkaya khazanah sastra Indonesia.

            Artum Artha dan Maseri Matali ikut merintis kelahiran dan perjalanan sastra Indonesia di Kalimantan Selatan pada tahun 1937, pada masa sebelum perang, disuatu masa yang dalam sejarah kesusastraan Indonesia di buku ajar sekolah disebut sebagai periode atau Angkatan Pujangga Baru. Rintisan itu diikuti oleh Merah Danil Bangsawan dan Hassan Basry. Maseri Matali melangkah lebih jauh dengan mengirimkan karyanya ke media di luar Kalimantan. Artum pun tak mau ketinggalan, mengirimkan karyanya ke majalah Terang Bulan di Surabaya, yang waktu itu pemimpin redaksinya Gusti Mayur.

            Dalam waktu singkat, jejak mereka disusul oleh Haspan Hadna, Ahmad Basuni, Zafry Zamzam, Abdul Jabar, Muhammad Arsyad,  SM Darul, Gusti Abdurrahman, Gusti Abdul Malik Thaha, Gusti Maswan, Kasypul Anwar, HMAS Amandit, Masdan Rozhany, dan Zafury Zumry.

            Rintisan dan perjalanan mereka berlangsung di suatu lahan berbatu rajang, masa dimana moncong senjata dan bilik penjara selalu mengintai. Mereka mencoba menyiasatinya dengan menggunakan nama samaran, bahkan satu orang bisa menggunakan berbagai nama samaran. Tapi hal itu kadang tidak cukup untuk menjadi benteng. Maseri Matali harus sembunyi-sembunyi, diantara waktu Maghrib dan Isya, memasukkan karyanya ke Kantor Pos. Hassan Basry kendati telah menggunakan nama Hiba Budi saat menerbitkan romannya Amanat Ibu, diburu Pemerintah Belanda sehingga harus melarikan diri ke Jawa Timur. Beberapa koran kena bredel atau mendapat peringatan keras karena memuat karya sastra yang dinilai agigatif anti-Belanda, sebagaimana yang dialami Masdan Rozhany dengan majalah Pawana di Rantau dan Surat Kabar Jantung Indonesia. Aktivitas di dunia politik menjadi ihwal tambahan yang membuat mereka harus masuk penjara, sebagaimana yang dialami Arthum Artha, Merah Danil Bangsawan, dan Haspan Hadna. Bahkan Zafry Zamzam beberap kali menjadi penghuni bilik berjeruji itu.

            Konsekuensi lain dari masa itu adalah tidak menyimpan arsip karya. Larangan Pemerintah Belanda yang disertai ancaman hukuman bagi siapa saja yang kedapatan menyimpan Amanat Ibu sedikit banyak memunculkan anggapan bahwa menyimpan karya sastra diluar yang direstui pemerintah dapat dijadikan alat bukti pengantar orang ke penjara. Akibatnya dokumentasi karya sastra di masa itu hampir tak bisa lagi didapati. Setelah pengakuan kedaulatan RI, HSS menjadi lahan subur bagi kehidupan sastra. Apalagi dunia kesenian HSS demikian marak. Setiap malam Minggu berlangsung pergelaran kesenian, baik itu seni musik, tari, teater, deklamasi sajak, maupun pameran lukisan. Pergelaran yang berlangsung di Balai Rakyat (sekarang Gedung Rakat Mupakat 17 Mei), Bioskop Puri (sekarang Markas Kodim Kandangan) dan halaman Markas Corps Polisi Militer / CPM (sekarang bangunan rumah dinas pemerintah Kabupaten HSS, disebelah markas Kodim) menjadikan Kandangan dijuluki orang sebagai kota budaya, Yogyanya Kalimantan Selatan.

            Pada kurun waktu ini dunia sastra tidak cuma diramaikan oleh mereka yang bermukim di HSS tetapi juga oleh orang kelahiran Kandangan yang bermukim di daerah lain.

            Muncullah Darmansyah Zauhidie, Yustan Aziddin, M Zaini Iderak, Salim Fachry, A Thabrany Adzanys, Eza Thabry Husano, Isnoor Eddy, M Syarkawi Mar’ie, M Muchtar AS, Gafuri Arsyad, dan Bachtar Suryani.

            Tahun 1960-an, dunia sastra diramaikan oleh kehadiran Murjani Bawy, A Rasyidi Umar, A Roeslan Barkahy, dan Djarani EM. Pada periode ini, M Hasfiani Sahasby yang ikut mewarnai dunia kesenian HSS di tahun 1980-an, dan A Dimyatie Risma yang sempat bekerja di Nagara, sudah pula mulai menulis di kota tempat mereka bermukim, Banjarbaru dan Marabahan.

            Tahun 1970-an melahirkan banyak nama pesastra, baik mereka yang merupakan kelahiran HSS maupun yang pernah berkiprah di dunia kesenian HSS, seperti Ibramsyah Amandit, Maskuni, Suriansyah Ramlie, Hanna, Amansyah Noor, Hamberan Syahbana, S Surya, M Syaifullah Baseri, Syarkian Noor Hadie, Ahmad Syarmidin, Ahmad Fahrawi, Burhanuddin Soebely, Iwan Yusie, dan Muhammad Radi.

            Tahun 1980-an, muncul Miziansyah J, Dewa Pahuluan, Aspian Noor, Supian Noor, Gazali Rahman, Jamal T Suryanata, Hardianyah Asmail, Zulkipli Musaba, Fajar Gemilang, dan Zainal Arifin.

            Kelahiran pesastra HSS tidak cuma terhenti sampai disitu. Tahun 1990-an muncul Aan Maulana Bandara, Suryani Giri, dan Aliman Syahrani. Sementara pada generasi terkini, tahun 2000-an, tampil M Fuad Rahman, Imraatul Jannah, dan Joni Wijaya.

            Dari sekiann banyak nama, dalam rentang waktu lebih dari setengah abad, wanita pesastra agaknya masih dalam hitungan jari tangan. Sempat memang muncul beberapa nama, seperti Rosidah Syahrul, Erni Yulia, Ida Nurlaily, Rasidah, Lina Agustin S Rifani, dan Sri Hartatai Amin, namun menghilang dalam perjalanan waktu. Yang mulai menggeliat tinggal Imraatul Jannah. Pergaulannya dengan Komunitas Kilang Sastra Batu Karaha, Banjarbaru, kian mengasah potensi yang dipupuknya sejak bersekolah di Kandangan.

            Kita berharap saja tradisi sastra HSS akan tetap menegaskan keberadaannya seperti jompak kali Amandit yang terus mengalir. Mengalir. Mengikut waktu.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hujan Deras di Desa Angkinang Selatan Senin Siang

 Jumat, 29 November 2024 Beginilah suasana saat hujan deras turun di sekitaran rumah saya, yang ada di RT 1 Desa Angkinang Selatan, Kecamata...