La Ventre de Kandangan atau Dalam
Perut Kota Kandangan adalah judul naskah drama karya D Zauhidie, ditulis dan
digelar pada tahun 1957. Pergelaran yang dilakonkan oleh Thabrany Adzanys,
Roestam Relez, Salim Fachry, Kasful Anwar, Nurzaenah Nasution, dan Lies Mahmud
tersebut menjadi tonggak penanda berdirinya komunitas drama Pendawa Lima, satu
komunitas teater modern yang jejaknya masih membekas hingga ke masa kini.
La Ventre de Kandangan bertutur
tentang pernik kehidupan urang Kandangan diantara tabiat zaman dan tabiat kota
yang mulai berubah. Kandangan, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan, memang
kota yang tak pernah tidur. Disini sering teater total dimana pemainnya
bergerak sendiri-sendiri, lepas bebas tak berarah, namun secara ajaib dan
tertib membentuk sebuah keseluruhan yang saling mendukung dan melengkapi.
Pergelaran itu kadang penuh tengkar, kadang ricik bak alun Sungai Amandit,
kadang abstrak, kadang pula tampil dalam figur yang utuh – lengkap dengan
narasinya.
Salah satu pernik yang denyutnya
tetap berdegup kencang di dalam perut Kandangan adalah kehidupaan sastranya.
Boleh dikata di Kandanganlah dimulainya rintisan penulisan sastra (modern)
Indonesia di Kalimantan Selatan.
Paling tidak, Artum Artha, Maseri
Matali, dan Merah Danil Bangsawan merupakan bagian dari para perintis itu.
Sebuah rintisan yang jejaknya kemudian ditapaki oleh generasi berikut. Jadilah
sastra HSS sebagai sebuah denyut yang paling ajek kesinambungannya. Belum surut
generasi perintis muncul generasi penerus. Belum turun panggung generasi
penerus sudah bermunculan pula generasi penyambut estafet.
Maka ketika tonggak-tonggak
perjalanan kehidupan sastra tersebut dicoba ditandai dan direkonstruksi ke
dalam sebuah antologi, La Ventre de Kandangan dirasa tepat untuk menjadi
titelnya. Sebab di dalamnya tidak cuma terdapat tanggapan terhadap realitas
sosial politik pada sebuah era, tetapi juga sehamparan wacana yang bersintuhan
dengan arus kesadaran urang Kandangan – untuk menyebut manusia Hulu Sungai Selatan
– dalam meniku waktu. Dan jika kesadaran tersebut dianggap sebagai suatu
kemampuan manusia yang menghubungkan dunia – dalam seseorang dengan dunia – di
luar dirinya, maka pada posisi seorang pesastra kesadaran itu terefleksikan ke
dalam karya sastranya.
Sungguh sukar mematok kriteria
pesastra (Kabupaten) Hulu Sungai Selatan, terlebih jika hal itu dihubungkan
dengan soal juriat dan batas wilayah. Juriat, merupakan ihwal keturunan dari satu generasi ke generasi lain,
sementara tidak setiap rumpun keluarga mencatat dan mengingatnya dengan baik.
Batas wilayah, juga jadi hal rumit lantaran berbagai perubahan yang muncul dari
pemekaran wilayah itu sendiri. Sampai dengan tahun 1965, wilayah Afdeling Hulu
Sungai yang beribukotakan Kandangan, telah berkembang menjadi 5 kabupaten
daerah kabupaten. Bahkan jika pemekaran terakhir dimasukkan, dengan berdirinya
Kabupaten Balangan, maka wilayah Afdeling Hulu Sungai telah berkembang menjadi
6 kabupaten (Kabupaten Tabalong, Kabupaten Balangan, Kabupaten Hulu Sungai Utara,
Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten
Tapin).
Kerumitan itu akan terasa bertambah
apabila dikaitkan dengan soal-soal yang menyangkut perkawinan antar daerah,
mobilitas pekerjaan, dan arus perpindahan penduduk. Ihwal; keajekan seseorang
dalam menekuni dunia sastra juga turut menambah kerumitan.
Maka pematokan istilah pesastra HSS
dalam antologi ini, didasari pertimbangan bahwa dunia sastra HSS dihidupi oleh
pesastra yang dilahirkan di wilayah HSS (dimanapun mereka kemudian bermukim)
dan peserta yang pernah berkiprah atau bekerja di wilayah HSS (dimanapun mereka
dilahirkan). Penyederhanaan patok semacam itu, suka atau tidak suka, dirasa
merupakan langkah termudah dalam upaya mengurai sengkarut yang sudah serupa
benang kusut.
Een Eereschuld atau Hutang
Kehormatan, tulisan Th van Deventer di majalah De Gids Nomor 63 Tahun 1889,
menimbulkan gelombang tersendiri dikalangan intelektual Belanda. Tulisan itu
menekankan perlunya Pemerintah Belanda untuk membalas budi baik rakyat Hindia
Belanda yang selama berabad-abad telah mengalami berbagai penindasan dan
pengisapan, utamanya lewat penerapan sistem tanam paksa yang amat menguntungkan
Belanda. Bagi van Deventer, hal itu merupakan satu utang kehormatan yang harus
ditunaikan.
Polemik Hutang Kehormatan akhirnya
mendapat tanggapan dari Ratu Wilhelmina. Tanggal 8 September 1901, dihadapan
Parlemen Belanda, Ratu Wilhelmina mengakui adanya kewajiban etis dan tanggung
jawab moral pemerintah Belanda terhadap Hindia Belanda. Muncullah apa yang
kemudian dikenal sebagai Politik Etis. Salah satu perwujudannya adalah berupa
pendirian sekolah-sekolah di Hindia Belanda. Terlepas dari maksud terselubung
untuk mendapatkan tenaga kerja yang terdidik dan murah, pendirian
sekolah-sekolah tersebut punya pengaruh besar terhadap rakyat Hindia Belanda.
Di Kandangan juga didirikan sekolah
antara lain :
-Volkschool (Sekolah
Rakyat), dengan lama pendidikan 3 tahun, terdapat hampir di tiap desa.
-Vervolkschool
(Sambungan Volkschool), dengan lama pendidikan 2 tahun.
-Inlandseschool Door
Tweedeclaste (Sekolah Kelas Dua), dengan lama pendidikan 5 tahun, terletak di
lokasi SDN Kandangan Utara 2 sekarang, di Jalan Pahlawan.
-Holland Inlandse
School (HIS), dengan lama pendidikan 7 tahun, terletak di lokasi SDN Kandangan
Kota 1 sekarang, di Jalan Ahmad Yani.
-Meisjes Volk School
(Sekolah Dasar Khusus Putri), terletak di lokasi SMPN 5 sekarang, Jalan Pemuda
Kandangan.
-Meisjes Vervolk
School (sambungan Meisjes Volk School), terletak di lokasi SDN Kandangan Kota 2
sekarang, di Jalan Musyawarah.
-Cursus Volks
Onderwijzer / CVO (Kursus menjadi guru pada volk School) setelah orang lulus
Vervolk School, dengan lama pendidikan 2 tahun.
Selain sekolah-sekolah pemerintah
tersebut, kalangan pergerakan nasional dan organisasi sosial keagamaan juga
mendirikan beberapa sekolah, antara lain :
-Tahun 1916, Syarikat
Islam mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah di Loklua, dekat
jembatan gantung. Tahun 1928, dengan alasan tidak selayaknya sekolah berada
dekat pasar dan sungai, madrasah itu dipindahkan ke kampung Pandai. Namanya pun
berubah menjadi Madrasah Wathoniyah Diniyah Isalmiyah. Oleh masyarakat
Kandangan, madrasah tersebut dikenal dengan nama Sekolah Islam Pandai (sekarang
Madrasah Darul Ulum Kandangan).
-Tahun 1931, berdiri
Musyawaratut Thalibin. Organisasi ini mendirikan madrasah tingkat ibtidaiyah di
kampung Wasah, Padang Batung dan Angkinang.
-Tahun 1937, Parindra
mendirikan perguruan rakyat Parindra di Jalan Parindra sekarang ini. Tahun
1938, lokasi dipindahkan ke Jalan Merdeka. Masyarakat Kandangan menyebut sekolah
itu sebagai Perguruan Medan Antara.
Kemampuan baca-tulis aksara latin
yang didapat dari sekolah-sekolah, ditambah persintuhan dengan sastra lisan dan
sastra tulis yang menggunakan huruf Arab Melayu, menjadi modal bagi kiprah para
pesastra HSS generasi awal. Kehadiran buku-buku terbitan Balai Pustaka serta
penerbit swasta lainnya juga turut mempengaruhi. Hal lain yang menjadi pemacu
dan pemicu adalah terbitnya beberapa koran dan majalah di Kandangan.
Tahun 1943, Haspan Hadna menerbitkan
majalah Purnama Raya. Majalah yang sifatnya hiburan ini menjadi kawah
Candradimuka bagi kalangan pesastra generasi awal. Tapi pemerintah Jepang menjadi
amat gerah. Bunken Kanrikan Kandangan kemudian menitahkan agar Purnama Raya
dimatikan. Sebagai gantinya, tahun 1944, diterbitkan surat kabar Borneo Shimbun
edisi Kandangan. Surat kabar yang bermarkas di Toko Ang Kim Can di kawasan Pasar
Kandangan (sekarang kompleks bangunan BRI Unit Pasar Kandangan dan BPD) ini Pimpinan
Umumnya Merah Ardansyah, dengan Dewan Redaksi Ahmad Basuni, Haspan Hadna, Merah
Danil Bangsawan, Asyikin Noor Zuhry, dan Adonis Samad. Borneo Shimbun edisi
Kandangan inilah surat kabar di Kalimantan yang pertama kali dengan berani
memuat berita kemerdekaan Indonesia, lengkap dengan Teks Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia dan Pembukaan UUD 1945, pada halaman depan edisi 20 Agustus 1945.
Kepemilikan Borneo Shimbun diambil
alih oleh Pemerintah NICA / Belanda. Asisten Residen Hoogenber dan Kiai Besar
Merah Nadalsayah untuk mengelola penerbitan surat kabar di Kandangan. Haspan
dan Danil sempat menolak, namun atas saran 2 orang tokoh nasionalis Kandangan,
Zafry Zamzam dan M Rusli, tawaran kemudian diterima. Terbitlah surat kabar
tengah mingguan Sinar Hulu Sungai. Pemimpin Umum dipegang Merah Danil Bangsawan.
Haspan Hadna sebagai Pemimpin Redaksi.
Tanggal 17 Agustus 1946, Zafry
Zamzam menerbitkan majalah Republik. Tasmiah nama dan penerbitan nomor
perdananya yang sengaja diterbitkan pada ulang tahun pertama RI itu telah
mengindikasi corak dan arahnya. Lewat tulisan-tulisannya Zafry Zamzam dengan
menggunakan nama samaran Isyah menggelorakan nasionalisme dikalangan anak negeri.
Akibatnya, Desember 1948, Republik diberedel, Zafry Zamzam menjadi penghuni
bilik penjara selama 3 tahun.
Tanggal 1 Oktober 1946, terbit pula
sebuah surat kabar bernama Kalimantan Berjuang, dengan Pemimpin Umum Abdul
Jabar dan Pemimpin Redaksi Haspan Hadna. Bulan Februari 1947, surat kabar yang
berkantor di Jalan Musyawarah ini dipindahkan penerbitannya dari Kandangan ke
Banjarmasin.
Tahun 1947, muncul sebuah majalah
bulanan yang mengkhususkan diri pada bidang seni budaya, Piala namanya. Majalah
yang kemudian berubah menjadi majalah mingguan ini dikelola oleh Maseri Matali,
SM Darul, dan Masdan Rozhany. Tirasnya sebelum dimatikan sempat mencapai 500
eksemplar.
Tanggal 3 Februari 1947, terbit
majalah Pedoman Putri, dipimpin oleh Rohayah Batun, Maserah, Siti Rupsinah, dan
Siti Maslara. Khusus untuk anak-anak, Rohayah Batun juga menerbitkan majalah Suluh.
Situasi Kandangan yang kian memanas membuat kedua majalah itu berakhir di tahun
1949.
Tahun 1948, Mohammad Arsyad
menerbitkan majalah bulanan Madjlis. Kendati lebih berorientasi kepada bidang
keagamaan, namun karya sastra tak pula dilupakan. Maklum saja Mohammad Arsyad
adalah juga seorang pesastra.
Tahun 1949, Artum Artha dan Masdan
Rozhany menerbitkan Jantung Indonesia. Edisi perdananya sudah mendapat
peringatan keras dari Pemerintah Belanda karena memuat cerpen Gara-Gara si
Rambut Panjang di Munggu Raya karya Masdan Rozhany.
Publikasi karya pesastra HSS
ternyata juga merambah media massa luar daerah. Di Jakarta, antara lain pada
majalah Panji Pustaka, Mimbar Indonesia, Siasat / Gelanggang, Zenith,
Indonesia, Konfrontasi, dan Kisah. Di Surabaya pada majalah Terang Bulan. Di
Medan pada majalah Waktu, Pancawarna, dan Lukisan Pujangga. Di Yogyakarta pada
majalah Budaya dan Gajahmada. Ekspansi semacam ini kian marak setelah masa
pengakuan kedaulatan RI. Terlebih ketika di Kandangan tak muncul lagi penerbitan
lantaran para tokoh persnya ramai-ramai hijrah ke Banjarmasin.
Tahun 1953, RRI Banjarmasin menggagas
satu acara Untaian Mutiara Seputar Ilmu dan Seni. Disitu tidak cuma
dideklamasikan sajak-sajak yang dikirm oleh para pesastra dari berbagai pelosok
Kalimantan Selatan, tetapi juga diikuti oleh pembahasan karya-karya tersebut.
Kemudahan mengakses media tersebut membuat Untaian Mutiara menjadi salah satu acara
favorit para pesastra dalam mengirim karyanya.
Tahun 1954, muncul majalah Pahatan
yang diterbitkan oleh Ikatan Pencinta Seni Sastra Indonesia Banjarmasin. Media
lain yang menjadi ajang publikasi karya adalah majalah Bandarmasih, yang
diterbitkan oleh Perwakilan Jawatan Kebudayaan Kalimantan Selatan ; Suara
Kalimantan , Indonesia Merdeka, dan Kalimantan Berjuang / Indonesia Berjuang.
Kebangkitan generasi muda di tahun
1966, memunculkan Koran Mimbar Mahasiswa. Konflik internal diantara pengelola
koran itu kemudian melahirkan koran Media Masyarakat dan Banjarmasin Post.
Ruang kebudayaan Dian di Media Masyarakat dan Persfektif di Banjarmasin Post,
menjadi lahan lain bagi publikasi karya pesastra. Ditambah dengan Upaya /
Utama, Dinamika, serta Gawi Manuntung.
Tahun 1971, berdiri Dewan Kesenian
Daerah Kalimantan Selatan. Seksi sastra pada Dewan Kesenian itu menerbitkan
sebuah majalah bulanan dan menghidupkan lagi nama Bandarmasih.
Kemunculan generasi berikut dari pesastra
HSS juga dipicu oleh hadirnya ruang kebudayaan Banjarmasin Post yang berganti
nama menjadi Dahaga. Uniknya, Dahaga yang diasuh oleh Trio Tanah Huma (D
Zauhidie, Yustan Aziddin, dan Hijaz Yamani) ini muncul setiap hari, hal yang
barangkali satu-satunya terjadi di sebuah koran Indonesia. Pemunculan Dahaga
setiap hari bertahan beberapa tahun. Dalam tenggang waktu itu, ia telah
melahirkan dan mematangkan para pesastra, utamanya mereka yang berkiprah mulai
akhir tahun 1970-an dan 1980-an. Penyair Kalimantan Selatan yang diundang ke
Forum Puisi Indonesia 87 (Ajamuddin Tifani, Maman S Tawie, Micky Hidayat,
Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, Tajuddin Noor Ganie, Ahmad
Fahrawi, dan Burhanuddin Soebely) dan Forum Penyair Indonesia Abad 21
(Ajamuddin Tifani dan Jamal T Suryanata) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, merupakan
produk dari Dahaga ini.
Tahun 2002, di Kandangan sempat terbit
Tabloid Budaya Gerbang, dengan Pimpinan Umumnya Rahmady Radiany. Ajang
publikasi karya sastra lainnya kemudian diramaikan oleh koran Radar Banjarmasin,
Kalimatan Post, dan Barito Post.
Media diluar daerah yang banyak
menampung karya pesastra HSS adalah Pelopor, Masa Kini, Berita Nasional, Minggu
Pagi, Basis, semuanya di Yogyakarta. Berita Buana, Pelita, Suara Karya, Abadi,
Swadesi, Terbit, Republika, Majalah Horison, Femina, Top, Hai, Zaman, Annida,
Amanah, Kartini, Sarinah, di Jakarta. Jawa Pos dan Surya di Surabaya.
Kesusastraan Indonesia tidak bernama
kesusastraan Indonesia tanpa adanya karya seniman Kalsel. Karena seniman Kalsel
juga ikut membentuk historisnya kesusastraan Indonesia itu. Hal ini tidak bisa
dianulir siapa pun. Begitu bunyi salah satu surat terbuka D Zauhidie kepada
Hijaz Yamani yang dimuat di Majalah
Kebudayaan Bandarmasih, No 1 Tahun I, September 1971.
Disitu tersirat bahwa seniman
Kalsel, termasuk pesastra HSS, telah turut membentuk keberadaan dan perjalanan
sastra Indonesia, memperkaya khazanah sastra Indonesia.
Artum Artha dan Maseri Matali ikut
merintis kelahiran dan perjalanan sastra Indonesia di Kalimantan Selatan pada
tahun 1937, pada masa sebelum perang, disuatu masa yang dalam sejarah kesusastraan
Indonesia di buku ajar sekolah disebut sebagai periode atau Angkatan Pujangga Baru.
Rintisan itu diikuti oleh Merah Danil Bangsawan dan Hassan Basry. Maseri Matali
melangkah lebih jauh dengan mengirimkan karyanya ke media di luar Kalimantan.
Artum pun tak mau ketinggalan, mengirimkan karyanya ke majalah Terang Bulan di
Surabaya, yang waktu itu pemimpin redaksinya Gusti Mayur.
Dalam waktu singkat, jejak mereka
disusul oleh Haspan Hadna, Ahmad Basuni, Zafry Zamzam, Abdul Jabar, Muhammad
Arsyad, SM Darul, Gusti Abdurrahman,
Gusti Abdul Malik Thaha, Gusti Maswan, Kasypul Anwar, HMAS Amandit, Masdan
Rozhany, dan Zafury Zumry.
Rintisan dan perjalanan mereka berlangsung
di suatu lahan berbatu rajang, masa dimana moncong senjata dan bilik penjara
selalu mengintai. Mereka mencoba menyiasatinya dengan menggunakan nama samaran,
bahkan satu orang bisa menggunakan berbagai nama samaran. Tapi hal itu kadang
tidak cukup untuk menjadi benteng. Maseri Matali harus sembunyi-sembunyi,
diantara waktu Maghrib dan Isya, memasukkan karyanya ke Kantor Pos. Hassan
Basry kendati telah menggunakan nama Hiba Budi saat menerbitkan romannya Amanat
Ibu, diburu Pemerintah Belanda sehingga harus melarikan diri ke Jawa Timur.
Beberapa koran kena bredel atau mendapat peringatan keras karena memuat karya
sastra yang dinilai agigatif anti-Belanda, sebagaimana yang dialami Masdan
Rozhany dengan majalah Pawana di Rantau dan Surat Kabar Jantung Indonesia.
Aktivitas di dunia politik menjadi ihwal tambahan yang membuat mereka harus
masuk penjara, sebagaimana yang dialami Arthum Artha, Merah Danil Bangsawan,
dan Haspan Hadna. Bahkan Zafry Zamzam beberap kali menjadi penghuni bilik
berjeruji itu.
Konsekuensi lain dari masa itu
adalah tidak menyimpan arsip karya. Larangan Pemerintah Belanda yang disertai
ancaman hukuman bagi siapa saja yang kedapatan menyimpan Amanat Ibu sedikit
banyak memunculkan anggapan bahwa menyimpan karya sastra diluar yang direstui
pemerintah dapat dijadikan alat bukti pengantar orang ke penjara. Akibatnya
dokumentasi karya sastra di masa itu hampir tak bisa lagi didapati. Setelah
pengakuan kedaulatan RI, HSS menjadi lahan subur bagi kehidupan sastra. Apalagi
dunia kesenian HSS demikian marak. Setiap malam Minggu berlangsung pergelaran
kesenian, baik itu seni musik, tari, teater, deklamasi sajak, maupun pameran
lukisan. Pergelaran yang berlangsung di Balai Rakyat (sekarang Gedung Rakat
Mupakat 17 Mei), Bioskop Puri (sekarang Markas Kodim Kandangan) dan halaman
Markas Corps Polisi Militer / CPM (sekarang bangunan rumah dinas pemerintah
Kabupaten HSS, disebelah markas Kodim) menjadikan Kandangan dijuluki orang
sebagai kota budaya, Yogyanya Kalimantan Selatan.
Pada kurun waktu ini dunia sastra
tidak cuma diramaikan oleh mereka yang bermukim di HSS tetapi juga oleh orang
kelahiran Kandangan yang bermukim di daerah lain.
Muncullah Darmansyah Zauhidie,
Yustan Aziddin, M Zaini Iderak, Salim Fachry, A Thabrany Adzanys, Eza Thabry
Husano, Isnoor Eddy, M Syarkawi Mar’ie, M Muchtar AS, Gafuri Arsyad, dan
Bachtar Suryani.
Tahun 1960-an, dunia sastra diramaikan
oleh kehadiran Murjani Bawy, A Rasyidi Umar, A Roeslan Barkahy, dan Djarani EM.
Pada periode ini, M Hasfiani Sahasby yang ikut mewarnai dunia kesenian HSS di
tahun 1980-an, dan A Dimyatie Risma yang sempat bekerja di Nagara, sudah pula
mulai menulis di kota tempat mereka bermukim, Banjarbaru dan Marabahan.
Tahun 1970-an melahirkan banyak nama
pesastra, baik mereka yang merupakan kelahiran HSS maupun yang pernah berkiprah
di dunia kesenian HSS, seperti Ibramsyah Amandit, Maskuni, Suriansyah Ramlie,
Hanna, Amansyah Noor, Hamberan Syahbana, S Surya, M Syaifullah Baseri, Syarkian
Noor Hadie, Ahmad Syarmidin, Ahmad Fahrawi, Burhanuddin Soebely, Iwan Yusie,
dan Muhammad Radi.
Tahun 1980-an, muncul Miziansyah J,
Dewa Pahuluan, Aspian Noor, Supian Noor, Gazali Rahman, Jamal T Suryanata,
Hardianyah Asmail, Zulkipli Musaba, Fajar Gemilang, dan Zainal Arifin.
Kelahiran pesastra HSS tidak cuma
terhenti sampai disitu. Tahun 1990-an muncul Aan Maulana Bandara, Suryani Giri,
dan Aliman Syahrani. Sementara pada generasi terkini, tahun 2000-an, tampil M
Fuad Rahman, Imraatul Jannah, dan Joni Wijaya.
Dari sekiann banyak nama, dalam
rentang waktu lebih dari setengah abad, wanita pesastra agaknya masih dalam
hitungan jari tangan. Sempat memang muncul beberapa nama, seperti Rosidah
Syahrul, Erni Yulia, Ida Nurlaily, Rasidah, Lina Agustin S Rifani, dan Sri
Hartatai Amin, namun menghilang dalam perjalanan waktu. Yang mulai menggeliat
tinggal Imraatul Jannah. Pergaulannya dengan Komunitas Kilang Sastra Batu
Karaha, Banjarbaru, kian mengasah potensi yang dipupuknya sejak bersekolah di
Kandangan.
Kita berharap saja tradisi sastra
HSS akan tetap menegaskan keberadaannya seperti jompak kali Amandit yang terus
mengalir. Mengalir. Mengikut waktu.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar