Bagi warga Dayak yang bermukim di
lereng Pegunungan Meratus, tepatnya di kawasan Kecamatan Loksado, Kabupaten
Hulu Sungai Selatan (HSS), proses pembakaran lahan hingga akhirnya bisa
ditanami adalah merupakan adat dan budaya mereka, yang sudah dilakukan turun
temurun sejak puluhan tahun silam.
Para peladang di kawasan Kecamatan
Loksado mengatakan, cara seperti ini, selain untuk mempercepat proses
penanaman, juga tanah pasca pembakaran dianggap lebih baik untuk ditanami dan
mengurangi biaya produksi dibanding menggunakan herbisida atau pengunaan obat
standar pertanian.
Udin, Pambakal Kamawakan, Kecamatan
Loksado, mengatakan proses berladang yang dilakukan warga mereka adalah cara
yang praktis dan aman serta sudah menjadi kebiasaan turun-temurun warga mereka.
“ Untuk proses awal, kami menebas
dulu lahan yang akan kami tanam, jika lahan yang kami buka sekitar 1 hektare
lebih, butuh waktu seminggu untuk siap ditanami jika dikerjakan beramai-ramai,”
ujar dia.
Proses awal adalah memangkas semak,
memotong batang kayu pohon dan membuat pembatas yang lebarnya 5 meter di sekeliling
lahan dengan cara menggali tanah sedalam 0,5-1 meter agar api tidak menjalar ke
lahan saat dilakukan pembakaran. Selain dibikin pembatas, warga biasanya menggunakan
buluh atau batang bambu besar yang sudah diisi air yang diletakkan di
sekeliling batas lahan.
Usai membersihkan semak, ranting dan
batang pohon dikumpulkan untuk dikeringkan selama 3 hari dan selanjutnya baru
dilakukan pembakaran. “ Warga kami menganggapnya cara ini paling aman dan
praktis serta tidak banyak mengeluarkan biaya, dibanding kami harus membeli
obat-obatan pertanian seperti herbisida yang tidak sebanding dengan produksi
yang kami hasilkan,” ujarnya.
Ladang berpindah yang dilakukan
adalah sistem buka tutup. Artinya tahun ini lahan yang dibuka untuk berkebun
dan bertani adalah lahan yang setahun atau dua tahun lalu yang sudah pernah
ditanami. “ Kami buka kembali dan begitu seterusnya hingga tahun-tahun berikutnya
sampai akhirnya kami kembali lagi ke lahan yang dulu sudah pernah digarap,”
ujar Udin.
Fatimatuzzahra, Kepala Dinas Kehutanan
(Dishut) HSS, mengatakan merubah pemikiran
atau kebiasaan warga yang bercocok tanam di lereng-lereng Pegunungan Meratus,
dengan cara pembakaran tidak bisa langsung dilarang supaya mereka tidak
membakarnya. “Karena ini menyangkut masalah adat dan budaya mereka,” ujar
Fatimatuzzahra.
Menurutnya, Dishut HSS melakukan
sosialisasi kepada petani dengan melakukan Bimbingan Teknis (Bimtek). “ Yang
sedang kami upayakan adalah RHL yakni pengetahuan tentang Rehabilitasi Hutan
dan Lahan serta demplot konservasi,” ujarnya. (ony)
Sumber : Banjarmasin Post, Rabu, 8 Oktober 2014,
Halaman 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar