Rabu, 08 Oktober 2014

Cara Praktis Bertanam di Gunung

Rabu, 8 Oktober 2014


            Bagi warga Dayak yang bermukim di lereng Pegunungan Meratus, tepatnya di kawasan Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), proses pembakaran lahan hingga akhirnya bisa ditanami adalah merupakan adat dan budaya mereka, yang sudah dilakukan turun temurun sejak puluhan tahun silam.
            Para peladang di kawasan Kecamatan Loksado mengatakan, cara seperti ini, selain untuk mempercepat proses penanaman, juga tanah pasca pembakaran dianggap lebih baik untuk ditanami dan mengurangi biaya produksi dibanding menggunakan herbisida atau pengunaan obat standar pertanian.
            Udin, Pambakal Kamawakan, Kecamatan Loksado, mengatakan proses berladang yang dilakukan warga mereka adalah cara yang praktis dan aman serta sudah menjadi kebiasaan turun-temurun warga mereka.
            “ Untuk proses awal, kami menebas dulu lahan yang akan kami tanam, jika lahan yang kami buka sekitar 1 hektare lebih, butuh waktu seminggu untuk siap ditanami jika dikerjakan beramai-ramai,” ujar dia.
            Proses awal adalah memangkas semak, memotong batang kayu pohon dan membuat pembatas yang lebarnya 5 meter di sekeliling lahan dengan cara menggali tanah sedalam 0,5-1 meter agar api tidak menjalar ke lahan saat dilakukan pembakaran. Selain dibikin pembatas, warga biasanya menggunakan buluh atau batang bambu besar yang sudah diisi air yang diletakkan di sekeliling batas lahan.
            Usai membersihkan semak, ranting dan batang pohon dikumpulkan untuk dikeringkan selama 3 hari dan selanjutnya baru dilakukan pembakaran. “ Warga kami menganggapnya cara ini paling aman dan praktis serta tidak banyak mengeluarkan biaya, dibanding kami harus membeli obat-obatan pertanian seperti herbisida yang tidak sebanding dengan produksi yang kami hasilkan,” ujarnya.
            Ladang berpindah yang dilakukan adalah sistem buka tutup. Artinya tahun ini lahan yang dibuka untuk berkebun dan bertani adalah lahan yang setahun atau dua tahun lalu yang sudah pernah ditanami. “ Kami buka kembali dan begitu seterusnya hingga tahun-tahun berikutnya sampai akhirnya kami kembali lagi ke lahan yang dulu sudah pernah digarap,” ujar Udin.
            Fatimatuzzahra, Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) HSS, mengatakan  merubah pemikiran atau kebiasaan warga yang bercocok tanam di lereng-lereng Pegunungan Meratus, dengan cara pembakaran tidak bisa langsung dilarang supaya mereka tidak membakarnya. “Karena ini menyangkut masalah adat dan budaya mereka,” ujar Fatimatuzzahra.
            Menurutnya, Dishut HSS melakukan sosialisasi kepada petani dengan melakukan Bimbingan Teknis (Bimtek). “ Yang sedang kami upayakan adalah RHL yakni pengetahuan tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta demplot konservasi,” ujarnya. (ony)

Sumber : Banjarmasin Post, Rabu, 8 Oktober 2014, Halaman 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi AHU : Watak Simbol Intonasi Perangai Jingga

 Jumat, 22 Maret 2024 Cerita guramang alasan manis kian sinis watak simbolis kehendak penawar lara senarai kehendak intim suara nurani ego k...