Senin, 08 September 2014

Kekhawatiran Warga Loksado

Selasa, 9 September 2014



            Kekayaan hayati hutan dan perkebunan Loksado ternyata masih belum dapat dinikmati maksimal oleh warganya. Buktinya, meski saat ini masyarakat di kawasan pegunungan Meratus tersebut tengah panen kemiri, atau warga setempat menyebutnya kaminting, warga tetap khawatir untung tak dapat mereka raup mengingat sistem pasar yang masih didominasi tengkulak.
            Tidak sedikit warga di Loksado sedang sibuk berkutat dengan kaminting. Hampir setiap rumah penduduk dihiasi hamparan kemiri yang dijemur. Pemandangan ini kian semarak dengan bunyi alat pemukul kemiri.
            Saat ditanya, warga menuturkan Loksado tengah panen kemiri . “Banyak sekali kemirinya. Panennya sehari bisa lebih dua karung diambil dari kebun. Mudah-mudahan harganya tidak turun,” harap Manan, seorang petani, sambil terus menggerakkkan alat pemukul untuk memisahkan buah kemiri dari kulitnya.
            Tidak jarang kekhawatiran bakal anjloknya harga komoditi ini, terlontar dari para petani. Ini membuat, hasil bumi tersebut tidak luput dari incaran para tengkulak yang merajalela. Apalagi saat ini koperasi yang diharapkan mampu menstabilkan harga, fungsi, dan keberadaannya belum dirasakan maksimal oleh warga.
            Hal yang sama sudah dirasakan untuk komoditas kayu manis. Tidak jarang para petani kayu manis Loksado menjerit karena hasil hutan ini dihargai jauh dibawah standar kelayakan. Para petani di pedalaman kerap meminta agar pemerintah setempat dapat mencari solusi agar hasil alam tersebut mampu bersaing dan kembali menuju kejayaannya sebagaimana dulu.
            Bagi warga Loksado pola hidup bertani dengan mengembangkan lingkup pertanian bersistem tradisional adalah hal yang telah dilakukan secara turun-temurun.
            Masyarakat adat Loksado dengan arif mengolah tanahnya untuk menghasilkan tanaman yang berdaya guna bagi penghidupan mereka secara materi juga untuk kelangsungan alam.
            Secara materi, tanaman kemiri jika dikembangkan mampu menghasilkan omset penjualan yang luar biasa besar. Pada satu balai adat saja ada 480 pohon dengan produksi maksimal satu pohon sebesar 100 kg.
            Sumber daya hutan non kayu yang dihasilkan alam Loksado selain mampu menghasilkan ratusan juta rupiah juga satu upaya turun-temurun menjaga kelestarian alam ini dari kehancuran.
            Disebutkan ada potensi hutan nonkayu, tanaman obat tradisional, tanaman buah lokal, tanaman anggrek, tanaman bahan baku kerajinan hasil tanaman pertanian dikelola dengan arif penuh keunikan khas masyarakat adat Dayatk Bukit Loksado.
            Dalam mengelola Sumber Daya Alam (SDA) ini, mereka membaginya dalam dua kawasan yakni kawasan produksi dan kawasan lindung yang masing-masing memiliki kode etik alam masyarakat adat karena memiliki arti penting bagi kelangsungan hidup mereka dan alamnya.
            Warga pedalaman sangat menyadari akan peran vital area ini sebagai sistem penyangga alam. Alam Loksado merupakan daerah tangkapan air yang menjadi kawasan harapan untuk daerah lain.***


Kandangan, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi AHU : Watak Simbol Intonasi Perangai Jingga

 Jumat, 22 Maret 2024 Cerita guramang alasan manis kian sinis watak simbolis kehendak penawar lara senarai kehendak intim suara nurani ego k...