Kekayaan hayati hutan dan perkebunan
Loksado ternyata masih belum dapat dinikmati maksimal oleh warganya. Buktinya,
meski saat ini masyarakat di kawasan pegunungan Meratus tersebut tengah panen
kemiri, atau warga setempat menyebutnya kaminting, warga tetap khawatir untung
tak dapat mereka raup mengingat sistem pasar yang masih didominasi tengkulak.
Tidak sedikit warga di Loksado
sedang sibuk berkutat dengan kaminting. Hampir setiap rumah penduduk dihiasi
hamparan kemiri yang dijemur. Pemandangan ini kian semarak dengan bunyi alat
pemukul kemiri.
Saat ditanya, warga menuturkan
Loksado tengah panen kemiri . “Banyak sekali kemirinya. Panennya sehari bisa
lebih dua karung diambil dari kebun. Mudah-mudahan harganya tidak turun,” harap
Manan, seorang petani, sambil terus menggerakkkan alat pemukul untuk memisahkan
buah kemiri dari kulitnya.
Tidak jarang kekhawatiran bakal
anjloknya harga komoditi ini, terlontar dari para petani. Ini membuat, hasil
bumi tersebut tidak luput dari incaran para tengkulak yang merajalela. Apalagi
saat ini koperasi yang diharapkan mampu menstabilkan harga, fungsi, dan keberadaannya
belum dirasakan maksimal oleh warga.
Hal yang sama sudah dirasakan untuk komoditas
kayu manis. Tidak jarang para petani kayu manis Loksado menjerit karena hasil
hutan ini dihargai jauh dibawah standar kelayakan. Para petani di pedalaman
kerap meminta agar pemerintah setempat dapat mencari solusi agar hasil alam
tersebut mampu bersaing dan kembali menuju kejayaannya sebagaimana dulu.
Bagi warga Loksado pola hidup
bertani dengan mengembangkan lingkup pertanian bersistem tradisional adalah hal
yang telah dilakukan secara turun-temurun.
Masyarakat adat Loksado dengan arif
mengolah tanahnya untuk menghasilkan tanaman yang berdaya guna bagi penghidupan
mereka secara materi juga untuk kelangsungan alam.
Secara materi, tanaman kemiri jika
dikembangkan mampu menghasilkan omset penjualan yang luar biasa besar. Pada
satu balai adat saja ada 480 pohon dengan produksi maksimal satu pohon sebesar
100 kg.
Sumber daya hutan non kayu yang dihasilkan
alam Loksado selain mampu menghasilkan ratusan juta rupiah juga satu upaya
turun-temurun menjaga kelestarian alam ini dari kehancuran.
Disebutkan ada potensi hutan nonkayu,
tanaman obat tradisional, tanaman buah lokal, tanaman anggrek, tanaman bahan
baku kerajinan hasil tanaman pertanian dikelola dengan arif penuh keunikan khas
masyarakat adat Dayatk Bukit Loksado.
Dalam mengelola Sumber Daya Alam (SDA)
ini, mereka membaginya dalam dua kawasan yakni kawasan produksi dan kawasan
lindung yang masing-masing memiliki kode etik alam masyarakat adat karena
memiliki arti penting bagi kelangsungan hidup mereka dan alamnya.
Warga pedalaman sangat menyadari
akan peran vital area ini sebagai sistem penyangga alam. Alam Loksado merupakan
daerah tangkapan air yang menjadi kawasan harapan untuk daerah lain.***
Kandangan, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar