Senin, 14 April 2014
Oleh : Yusran Pare
Awal Maret
2014, Pemimpin Redaksi Banjarmasin Post Group, Yusran Pare melaksanakan umrah
bersama rombongan Travellindo. Ini tulisan terakhir dari catatan pribadinya
mengenai aktivitas di Makkah.
Umrah kedua dilakukan
hari berikutnya. Kali ini kami memulai dari Ji’ronah, satu diantara tempat
bersejarah letaknya di luar Kota Makkah.
Tempat ini pernah
disinggahi Rasulullah SAW bersama para pejuang Islam setelah Perang Hunain.
Sebagai penanda, didirikan masjid sekaligus sebagai tempat miqat, mengawali
ritus haji atau umrah.
Sejak awal saya sudah
berpasrah diri, mengikuti saja yang dipandukan oleh para mutawif kami, Mas Imam
dan Mas Nur. Imam, pria asal Klaten, Jateng yang keluarganya tinggal di Bogor,
Jabar. Sementara Nur berasal dari Surabaya, Jatim. Mereka amat sabar dan
melayani dan menjelaskan berbagai hal terkait kegiatan yang kami lakukan.
Seusai miqat di Masjid
Ji’ronah, kami kembali memasuki Makkah, dan memulai kembali ritual umrah. Tak
ada yang istimewa, karena cuma mengulang yang sudah kami lakukan sebelumnya.
Udara dingin menusuk, meski matahari mencorong tajam.
Alhamdulillah tujuh
putaran tawaf membuat letih. Padahal saat itu jamaah membludak, baku desak luar
biasa sampai ada seorang perempuan yang menjerit histeris karena terjepit
gelombang manusia dar segala arah.
Gelombang massa dalam
histeria transendensi terhadap Sang Khaliq, sangat terasa manakala tawaf
mendekati Hajar Aswad. Semua orang seakan tersedot kecelah kecil di sudut
Ka’bah itu, berlomba mencium atau sekadar bisa menyentuh batu yang asal-usulnya
masih terbungkus misteri ini.
Banyak orang melakukan
segala macam cara untuk mewujudkan hasratnya mencium Hajar Aswad. Mendesak,
menyikut, mendorong, kalau perlu menginjak orang lain pun tak apa. Bagi yang
kreatif, ini peluang usaha.
Beberapa orang
menyediakan dirinya menjadi pemandu untuk mencium sang batu hitam. Biasanya
dalam kelompok kecil, dua atau tiga orang. Mereka akan bertugas sebagai
penerobos jubelan manusia, membukakan jalan dan melindungi dari sisi kiri kanan
jika ada orang lain yang menyerobot. Tarifnya, minimal 150 real sekali cium.
Sebagian orang yakin,
itu batu dari surga. Sebagian lain menyatakan batu itu sejenis meteorit yang
jatuh di bumi pada ribuan tahun silam. Hajar Aswad sudah ada saat Nabi Ibrahim
membangun Kabah. Konon, semula ukurannya cukup besar, diameternya sekitar 30
sentimeter. Tapibatu ini sudah mengalami beberapa kali penjarahan, bahkan
dipecah-pecah.
Ada yang menyebutkan,
satu serpihannya disimpan di museum geologi Inggris sebagai bahan penelitian.
Situs Al Arabiya mengutip pernyataan Ahmad Moraei, professor dari Umm al-Qura
University menyatakan, yang kini tersisa di Kabah bukan batu utuh seperti saat
Nabi Ibrahim membangun Kabah, namun hanya beberapa fragmen. Dan, fragmen itu
disatukan semen.
Berbagai penelitian
dilakukan, hingga kini belum ada yang bisa mengungkap dengan jernih mengenai
batu di Rumah Allah ini. Teori Hajar Aswad adalah serpihan meteorit, terbantah
oleh fakta bahwa komposisinya sama sekali berbeda dengan komposisi aneka
meteorit yang pernah ditemukan di bumi.
Ada yang tetap pada
perkiraannya bahwa Hajar Aswad adalah batuan meteorit, namun bukan meteor yang
berasal dari tata surya kita. Bukan dari galaksi Bima sakti, melainkan dari
galaksi lain yang entah bagaimana bisa masuk ke bumi ribuan tahun silam.
Wallahu ‘alam. Yang jelas, batu itu telah menghisap umat Islam se dunia untuk
mendekatinya, mengusapnya, atau bahkan menciumnya, untuk menghirup wangi yang
abadi.
Mereka yang meyakini
teori bahwa batu ini berasal dari surge, menyatakan karena menghisap dosa-dosa
umat manusia yang setiap saat menyentuh dan menciumnya itulah, batu ini jadi
hitam legam. Semula, sebagaimana disebutkan dalam banyak riwayat, batu ini
berwarna putih, melebihi putihnya susu, kata Mas Imam.
Saya bersyukur, sambil
tetap menggandeng lengan Mas Imam, melakukan tawaf tanpa hambatan sama sekali,
bahkan terasa lapang. Tak bayak berkeringat, artinya tipis kemungkinan alergi
gatal-gatal kambuh. Jadi dengan leluasa pula kami tuntaskan tawaf, lalu
bergeser ke Shafa untuk memulai Sa’i.
Tiba-tiba saja bencana
itu datang ! Rasa gatal mulai meruap dipermukaan kulit saya. Mula-mula di
sekitar pangkal lengan, merambat ke bawah siku sampai pergelangan. Kiri, dan
kanan. Sekitar dada, punggung, pundak. Astaghfirulah !! Saya sibuk sendiri
garuk sana, gosok sini. Dalam tempo singkat bermunculan bintik-bintik kecil
dipermukaan kulit yang kena gosok atau garuk.
Masya allah, gatalnya
menggigit, panas, seperti dibalur balsam. Rasanya seluruh pori mengeluarkan
virus gatal. Saya menyelesaikan rute Marwah-Shafa sambil tak henti menggaruk
dan menggosok, sampai Mas Imam keheranan. Saya tunjukkan ‘telur ikan’ yang
tiba-tiba merata di beberapa bagian tubuh saya.
“O, nggak apa-apa Mas.
Itu karena kedinginan,” katanya sambil merogoh sesuatu ke dalam tasnya, lalu
menyerahkan sebutir pil putih dan menyuruh saya meminumnya dengan air Zamzam.
Ketikan saya Tanya, pil apakah itu ? Dia cuma bilang, “Sudah minum saja dan
jangan pikirkan lagi gatal-gatalnya.”
Sambil terus
beristighfar, mengutuki diri, mungkin saya terlalu kotor untuk jadi Tamu Allah.
Tapi karena Dia juga sesungguhnya saya bisa tiba di Tanah Haram. Ampuni hambamu
yang kotor ini Ya Allah, dalam hati saya berulang-ulang mengatakan itu sambil
mulut terus membeo ucapan-ucapan mutawif bersa’i.
Subhanallah, betul.
Serangan itu perlahan-lahan menyurut. Saat tiba kembali di hotel, saya buka
keran air dan penuhi bak pemandian dengan air panas. Muncul gagasan untuk
mencampurkan segelas Zamzam ke dalam air mandi itu, kebetulan masih ada sisa
Zamzam di botol pemberian Mas Imam.
Alhamdulillah, sampai
kembali ke tanah air, saya terbebas dari serangan gatal lagi. Apakah itu karena
khasiat pil dari mutawif, atau karena Zamzam ? Wallahu’alam.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar